بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Ilmu Fiqih (2)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pengantar ilmu fiqih yang perlu kita ketahui
sebelum belajar fiqih, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
6. Madrasah Atsar (riwayat) dan Madrasah Ra’yu (Pendapat)
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, maka para
sahabat tersebar di berbagai negeri menyebarkan fiqih dan hukum-hukum syariat,
serta mengajarkan masalah agama ke tengah-tengah manusia sebagaimana yang
mereka terima dan dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Di Madinah tersebar fiqih Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar, di Mekkah
tersebar fiqih Ibnu Abbas, sedangkan di Irak tersebar fiqih Ibnu Mas’ud radhiyallahu
anhum.
Sebagian negeri mendapatkan kemulian dengan keberadaan sebagian
sahabat, namun Mekkah dan Madinah lebih unggul karena banyak para sahabat yang
tinggal di sana, sehingga banyak periwayatan dan atsar. Oleh karena itu,
penduduk Hijaz terkenal sebagai Ahli Atsar, karena banyaknya hadits pada
mereka. Berbeda dengan negeri-negeri yang lain, apalagi negeri Irak, sehingga
sedikit sekali atsar dan riwayat di sana. Kemudian ada sebagian orang bodoh di
Irak yang membuat hadits-hadits palsu untuk memperbanyak riwayat di negeri
mereka, sehingga sebagian ulama memperingatkan tentang hadits-hadits yang
datang dari Irak, terutama dari Kufah.
Imam Syafi’i rahimahullah sempat berkata, “Setiap hadits
yang datang dari Irak yang tidak memiliki asal dari Hijaz (Mekkah, Madinah,
Yamamah, dan sekitarnya), maka jangan diterima. Aku hanyalah bermaksud
menasihatimu.”
Mis’ar pernah bertanya kepada Habib bin Abi Tsabit, “Penduduk
manakah yang lebih tahu tentang Sunnah; apakah penduduk Hijaz atau Irak?” Ia
menjawab, “Bahkan penduduk Hijaz.”
Thawus berkata, “Jika orang Irak menyampaikan seratus hadits, maka
buanglah sembilan puluh sembilannya.”
Ibnul Mubarak berkata, “Hadits penduduk Madinah lebih shahih dan
isnad mereka lebih dekat.”
Al Khathib berkata, “Jalur Sunnah yang lebih shahih adalah yang
diriwayatkan oleh penduduk dua tanah suci; Mekkah dan Madinah, karena tadlis
(pengelabuan) sangat sedikit pada mereka, berdusta atau memalsukan hadits
merupakan sesuatu yang berat bagi mereka. Sedangkan penduduk Yaman memiliki
riwayat–riwayat yang jayyid (bagus) dan jalur-jalur yang shahih, namun
jumlahnya sedikit, dan rujukannya juga kepada penduduk Hijaz. Penduduk Basrah
juga memiliki hadits-hadits yang shahih dengan sanad-sanad yang jelas yang
tidak dimiliki oleh selain mereka, di samping mereka juga banyak meriwayatkan
hadits. Penduduk Kufah juga sama seperti penduduk Basrah, namun riwayat mereka
banyak rusak dan sedikit yang selamat dari cacat. Adapun hadits penduduk Syam
kebanyakan mursal dan terputus, yang bersambung adalah yang dihubungkan oleh
orang-orang tsiqah, itulah hadits shalih (baik), namun pada umumnya terkait
dengan nasihat-nasihat.” (Tadribur Rawi 1/85-86, Maktabah Syamilah)
Oleh karena sedikitnya sedikitnya riwayat dan atsar pada penduduk
Irak, maka para ulamanya banyak bersandar kepada ra’yu (pemikiran), sehingga
penduduk Irak terkenal sebagai Ahli Ra’yu. Sedangkan mereka yang tinggal di
Mekkah dan Madinah, maka fiqih mereka bersandar kepada nash, sehingga mereka
dikenal sebagai Ahlul Atsar.
Mereka yang tinggal di Irak, karena hadits-hadits yang ada pada
mereka sedikit dan tersebarnya hadits-hadits palsu, maka mereka berhati-hati
dalam menerima riwayat, dan banyak ijtihad yang mereka keluarkan serta fatwa
yang sesuai ra’yu (pendapat), sehingga terkenallah madrasah ini dengan madrasah
ra’yu.
Ketika itu ada dua jalan yang ditempuh para fuqaha (Ahli Fiqih),
yaitu:
Pertama, jalan Ahli Atsar yang
terkenal di Hijaz.
Kedua, jalan Ahli Ra’yu yang
terkenal di Irak, yakni di Kufah dan Baghdad.
Pada awalnya dua madrasah ini tidak bertentangan, bahkan saling
melengkapi, akan tetapi sangat disayangkan ketika Ahli Ra’yu tetap berpegang dengan
Ra’yunya ketika ada atsar atau nash.
Ketika banyak manusia yang bersikap fanatik terhadap para ulama di
negeri mereka dan mengikuti secara berlebihan meskipun bertentangan dengan
hadits yang shahih, maka jadilah masalah ra’yu di kalangan ulama sebagai
masalah yang tercela, karena jika seorang yang termasuk Ahli ra’yu berpegang
dengan ra’yunya namun menyelisihi hadits yang datang dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka di sinilah letak tercelanya, sebagai fanatik
dan taqlid buta. Oleh karena itu, di antara ulama ada yang menyebutkan sebagian
pendapat para ulama Kufah menyelisihi beberapa hadits, misalnya dalam kitab
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah yang terdapat pembahasan tentang masalah-masalah
dimana pendapat Abu Hanifah menyelisih beberapa hadits (tidak secara sengaja),
demikian pula ada di antara ulama yang mengkritik tegas penduduk Kufah dan
ra’yunya karena menyelisihi beberapa hadits, dimana maksudnya adalah bukan
untuk merendahkan; bahkan untuk mengkritik orang-orang yang fanatik terhadap ra’yu
padahal ada atsar atau riwayat.
Padahal bagi seorang muslim ketika telah sampai kepadanya sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ia wajib mengikutinya dan
meninggalkan semua pendapat yang menyelisihinya sebagaimana yang dinyatakan
oleh para imam madzhab, dan jika tetap berpegang dengan pendapat manusia
meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka hal itu
merupakan sikap tidak beradab terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.
Oleh karena itu, para ulama dari madrasah atsar mengkritik metode
ra’yu yang berkembang di Kufah; bukan merendahkan ulama ra’yu, tetapi
memperingatkan manusia agar tidak mengikuti pendapat-pendapat jika ada atsar
atau riwayat yang menyelisihinya.
Perselisihan antara madrasah ra’yu dan atsar sampai pada batas
seperti yang dijelaskan oleh Al Khaththabi (w. 388 H) berikut,
“Aku melihat Ahli Ilmu di zaman kita ini terbagi menjadi dua
golongan, yaitu: golongan ahli hadits dan atsar, dan golongan ahli fiqih dan
nazhar (ra’yu). Padahal keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kebutuhan, serta
tidak dapat dilepaskan untuk mencapai apa yang diharapkan dan diinginkan,
karena hadits ibarat pondasi yang merupakan pokok, sedangkan fiqih ibarat
bangunan yang merupakan cabangnya. Setiap bangunan yang tidak disiapkan kaidah
dan pondasinya, maka akan roboh, dan setiap pondasi yang tidak ada bangunan dan
isinya, maka seperti tempat sunyi dan sudah roboh.”
Al Khaththabi juga menerangkan dalam mukadimah Ma’alimus Sunan
Syarh Sunan Abi Dawud, bahwa golongan Ahli hadits dan atsar dengan golongan
Ahli fiqih berada dekat berdampingan, dimana sebagian mereka butuh kepada yang
lain, tetapi mereka sebagai saudara yang saling menjauh, padahal kebenaran
menghendaki mereka saling tolong-menolong dan menguatkan, tetapi kenyataannya
tidak begitu.
Ahli hadits disibukkan oleh riwayat-riwayat, mengumpulkan
jalur-jalur, mencari yang gharib dan yang syadz yang kebanyakan maudhu (palsu)
atau maqlub (terbalik), mereka tidak memperhatikan matan, tidak memahami makna,
tidak mengeluarkan kandungan dan fiqihnya, bahkan terkadang mereka mencela para
ahli fiqih dan menganggapnya menyelisihi sunnah, namun mereka tidak menyadari
keadaan para ahli fiqih yang mendapatkan ilmu (atsar) yang terbatas.
Sedangkan Ahli fiqih, maka kebanyakan mereka tidak berdalih dengan
hadits kecuali sedikit, bahkan tidak mampu membedakan yang shahih dan yang
cacat, serta tidak peduli dengan riwayat yang sampai kepada mereka jika ternyata
sejalan dengan madzhab selain mereka, bahkan mereka menerima hadits dhaif atau
yang terputus ketika hadits itu masyhur di kalangan mereka serta sering disebutkan
tanpa meneliti lagi, padahal yang demikian adalah kekeliruan.
7. Karakteristik Fiqih Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu
Ciri Fiqih Ahli Hadits adalah sangat perhatian kepada hadits dan
atsar, lalu kepada qiyas. Mereka lebih mengutamakan hadits di atas qiyas, baik
hadits itu ahad maupun masyhur, baik terkait masalah yang sering terjadi maupun
tidak.
Ciri fiqih Ahli Ra’yu adalah perhatian terhadap hadits kurang, dan
perhatian terhadap qiyas sangat kuat. Mereka mendahulukan qiyas daripada hadits
yang diriwayatkan seorang dalam sebagian keadaan, seperti yang terkait masalah
yang sering terjadi.
Adapun ciri fiqih madzhab Zhahiri adalah perhatian hanya kepada
nash, menolak berhujjah dengan qiyas dan atsar para sahabat, serta beralih
kepada istishab (penggandengan masalah kepada hukum asalnya) terhadap hal yang
tidak ada nashnya.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Ushul min Ilmil Ushul (M. bin
Shalih Al Utsaimin), Muqaddimah fi Ilmil Fiqh (M. bin Umar Bazmul), Al
Wajiz Fi Ushulil Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), Madkhal Ilal Fiqhil
Islami (Dr. Amir bin Umar Bahjat), https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=100894 , https://islamqa.info/ar/21420 , http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=107461dll.
0 komentar:
Posting Komentar