بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (31)
(Ilmu Nujum)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak
kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Tentang Ilmu Nujum (Perbintangan)
Imam Bukhari dalam Shahihnya berkata, Qatadah
berkata,
خَلَقَ اللهُ هَذِهِ النُّجُوْمَ
لِثَلاَثٍ: زِيْنَةً لِلسَّمَاءِ، وَرُجُوْماً لِلشَّيَاطِيْنِ، وَعَلاَمَاتٍ يُهْتَدَى
بِهَا. فَمَنْ تَأَوَّلَ فِيْهَا غَيْرَ ذَلِكَ أَخْطَأَ وَأَضَاعَ نَصِيْبَهُ، وَتَكَلَّفَ
مَا لاَ عِلْمَ لَهُ بِهِ
“Allah menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hal,
yaitu: sebagai hiasan langit, alat pelempar setan, dan sebagai tanda penunjuk arah. Barang siapa yang
berpendapat selain itu, maka ia telah keliru, menyia-nyiakan nasibnya, dan
membebani diri dengan sesuatu yang tidak diketahuinya.”
**********
Penjelasan:
Imam Bukhari menyebutkan riwayat di atas secara mu’allaq
(tanpa sanad) dalam kitab Bad’ul Khalqi, bab Fin Nujum hal. 614,
Cet. Baitul Afkar Ad Dauliyyah.
Oleh karena pada sebagian ilmu nujum terdapat kebatilan,
yaitu ketika mengikutsertakan selain Allah dalam pengetahuan terhadap hal yang
gaib, ketergantungan hati kepada selain Allah, menisbatkan peristiwa di alam
semesta kepada bintang-bintang, serta meramal nasib dengan bintang-bintang yang
semua itu dapat menafikan tauhid, maka Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah
membahas masalah tersebut dalam kitab Tauhidnya untuk menerangkan mana yang
terlarang pada ilmu nujum itu dan mana yang dibolehkan, agar seorang muslim
benar-benar di atas ilmu dalam masalah ini.
Tanjim atau ilmu nujum maksudnya melihat keadaan bintang untuk menentukan
peristiwa yang terjadi di bumi. Disebut juga Ilmu Ta’tsir.
Pernyataan Qatadah di atas merujuk kepada penjelasan
Allah dalam Al Qur’an tentang maksud Dia menciptakan bintang-bintang, yaitu
sebagai hiasan langit dan alat pelempar setan sebagaimana dalam surat Al Mulk
ayat 5, dan sebagai penunjuk arah sebagaimana dalam surat Al An’aam: 97.
Qatadah rahimahullah menyatakan demikian sebagai
bantahan terhadap mereka yang menyalahgunakan bintang-bintang dengan
mempergunakan untuk selain itu, seperti untuk meramal nasib, menentukan
peristiwa-peristiwa di bumi, serta menyandarkan berbagai peristiwa kepada
bintang-bintang. Mereka yang melakukan demikian sama saja telah berkata tanpa
ilmu, menghabiskan waktu mereka untuk sesuatu yang malah merugikan dirinya
sendiri, dan membebani serta menyusahkan diri sendiri. Dan seperti inilah
orang-orang yang mencari kebenaran dengan berpaling dari Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
Kesimpulan:
1.
Hikmah diciptakan bintang-bintang sebagaimana yang
ditunjukkan Al Qur’an.
2.
Bantahan terhadap mereka yang menyalahgunakan maksud
diciptakan bintang-bintang.
3.
Wajib merujuk kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya
untuk menerangkan kebenaran.
4.
Mencari kebenaran dari selain Al Qur’an dan As Sunnah
mengakibatkan penyimpangan, menyia-nyiakan waktunya, serta menyusahkan diri
sendiri.
**********
Sementara
tentang mempelajari tata letak peredaran bulan, Qatadah memakruhkannya,
sedangkan Ibnu Uyaynah tidak membolehkannya seperti yang disebutkan Harb dari
mereka berdua. Tetapi Ahmad dan Ishaq membolehkan hal itu.
**********
Penjelasan:
Qatadh
bin Di’amah adalah seorang tabi’in yang tsiqah (terpercaya), tsabt (kokoh), dan
sangat kuat hapalannya, lahir pada tahun 60 atau 61 H dalam keadaan buta dan
wafat pada tahun 117 H atau lebih di Wasith karena wabah Tha’un. Sa’id bin
Musayyib berkata, “Belum pernah datang kepadaku orang Irak yang lebih hapal
daripada Qatadah.”
Sufyan
bin Uyaynah adalah seorang tabi’in yang tsiqah, hafizh (kuat hapalan), dan ahli
di bidang fiqih. Lahir pada tahun 107 H. Ibnu Wahb berkata, “Aku belum pernah
melihat seorang yang lebih tahu terhadap kitabullah daripada Ibnu Uyaynah.”
Ahmad berkata, ”Aku belum pernah melihat seorang dari kalangan Ahli Fiqih yang
lebih mengetahui Al Qur’an dan Sunnah daripada beliau.”
Harb Al
Kirmani termasuk kawan Imam Ahmad.
Ahmad
bin Hanbal adalah Imam Ahlussunnah, salah satu imam madzhab yang empat,
penyusun kitab Musnad yang memuat lebih dari 26.000 hadits nabawi; beliau susun
hadits berdasarkan nama para sahabat. Lahir pada tahun 164 H dan wafat pada
tahun 241 H dalam usia 77 tahun. Saat wafat, jenazahnya dihadiri ratusan ribu
manusia. Ada yang mengatakan, yang hadir dari kalangan lelaki 100.000,
sedangkan dari kalangan wanita 60.000, dan ada pula yang mengatakan lebih dari
itu. Ketika wafat, masuk Islam puluhan ribu (kurang lebih 20.000) orang-orang
Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Ishaq
bin Rahawaih lahir pada tahun 161 H dan wafat pada tahun 238 H di Naisabur. Al
Khathib Al Baghdadi berkata tentangnya, “Berkumpul dalam dirinya hadits, fiqih,
kuatnya hapalan, kejujuran, sikap wara’, dan zuhud. Ia mengadakan rihlah
(perjalanan menuntut ilmu) ke Irak, Hijaz, Syam, dan Yaman.”
Ilmu
tentang peredaran bulan disebut Ilmu Tasyir, dimana pada setiap malam,
bulan menempati posisinya yang berjumlah 28 posisi.
Maksud penyusun
(Syaikh Muhammad At Tamimi) membawakan masalah ini adalah untuk menerangkan
khilaf (perbedaan) di antara ulama tentang hukum mempelajari peredaran bulan
atau ilmu Tasyir, yang maksudnya adalah untuk mengetahui arah kiblat, waktu
shalat, dan mengenal beberapa musim. Imam Ahmad dan Ishaq membolehkan hal ini.
Jika dalam
masalah yang dibolehkan ini terjadi perbedaan pendapat agar tidak sampai kepada
yang diharamkan, lalu bagaimana hukum mempelajari ilmu Tanjim atau ilmu
Ta’tsir (ilmu untuk menentukan peristiwa
yang terjadi di bumi dengan memperhatikan bintang) yang di dalamnya
tedapat kesesatan dan penyimpangan sebagaimana yang telah diterangkan
sebelumnya.
**********
Dari
Abu Musa radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallau alaihi wa sallam
bersabda,
ثَلَاثَةٌ
لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ خَمْرٍ، وَقَاطِعُ رَحِمٍ ، وَمُصَدِّقٌ بِالسِّحْرِ
“Ada
tiga orang yang tidak masuk surga, yaitu: pecandu minuman keras, pemutus tali
silaturrahim, dan orang yang membenarkan sihir.” (Hr. Ahmad dan Ibnu Hibban
dalam Shahihnya).
**********
Penjelasan:
Abu
Musa Al Asy’ari Abdullah bin Qais adalah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi
wa sallam yang masyhur, wafat di Kufah pada tahun 50 H.
Hadits
di atas disebutkan oleh Ahmad dalam Al Musnad no. 19569 dan Ibnu Hibban
dalam Mawariduz Zham’an no. 1380 dan 1381. Hadits ini dinyatakan hasan
lighairih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah.
Dalam
hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan tiga pelaku
maksiat yang menjadi calon penghuni neraka, yaitu pecandu minuman keras,
pemutus tali silaturrahim, dan orang yang membenarkan sihir, termasuk di
dalamnya ilmu nujum.
Kesimpulan:
1.
Haramnya ilmu nujum atau
ilmu ta’tsir, dan bahwa ia termasuk dosa besar.
2.
Haramnya meminum khamr
(arak), termasuk pula narkoba.
3.
Ancaman keras terhadap
mereka yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat dari meminum minuman
keras.
4.
Wajibnya menyambung tali
silaturrahim dan haramnya memutuskannya.
5.
Wajibnya mendustakan sihir
dengan segala macamnya.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa
alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Ruwathil
Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), dll.
0 komentar:
Posting Komentar