بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Berjamaah (4)
[Hukum-Hukum Seputar Shalat Berjamaah]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat berjamaah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Yang Berhak Menjadi Imam Dalam Shalat Berjamaah
Urutan yang lebih berhak menjadi imam adalah yang paling banyak
hapalan Al Qur’annya. Jika sama hapalannya, maka yang lebih mengetahui sunnah
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika sama pengetahuannya terhadap sunnah,
maka yang lebih dulu hijrahnya, dan jika sama hijrahnya, maka yang lebih tua
usianya.
Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ
أَحَدُهُمْ، وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ»
“Jika mereka terdiri dari tiga orang, maka hendaknya salah seorang
di antara mereka menjadi imam, dan yang lebih berhak menjadi imam adalah yang
paling banyak hapalan Al Qur’annya.” (Hr. Ahmad, Muslim, dan Nasa’i)
Maksud “Aqra” dalam hadits di atas adalah paling banyak hapalan Al
Qur’annya. Hal ini berdasarkan hadits Amr bin Salamah yang di sana disebutkan,
فَإِذَا
حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ
قُرْآنًا
“Apabila tiba waktu shalat, maka hendaknya salah seorang di antara
kamu mengumandangkan azan, dan hendaknya orang yang paling banyak hapalan Al
Qur’annya mengimami kalian.” (Hr. Bukhari)
Dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu anhu ia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ
اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ،
فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا
فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ
الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ
إِلَّا بِإِذْنِهِ»
“Hendaknya mengimami suatu kaum orang yang paling banyak
hapalannya terhadap Kitabullah. Jika mereka sama hapalannya, maka yang lebih
mengetahui Sunnah (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Jika mereka sama
dalam mengetahui sunnah, maka yang lebih dulu hijrahnya. Jika mereka sama
hijrahnya, maka yang lebih dulu masuk Islamnya. Janganlah seseorang mengimami
orang lain dalam wilayah kekuasaannya, dan jangan duduk di tempat istimewa di
rumahnya kecuali dengan izinnya.” (Al Asyaj, perawi hadits ini dalam salah satu
riwayatnya menyebutkan “Lebih tua usianya,” sebagai ganti lebih dulu masuk
Islamnya).
Dalam sebuah lafaz disebutkan,
وَلَا
يُؤَمَّنَّ الرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ
“Janganlah seseorang mengimami orang lain yang berada di tengah
keluarganya dan di wilayah kekuasaannya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, akan
tetapi lafaznya,
وَلَا
يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، وَلَا
يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Dan jangan sekali-kali seseorang mengimami
yang lain dalam wilayah kekuasaannya kecuali dengan izinnya, dan janganlah ia
duduk di tempat istimewanya kecuali dengan izinnya.”
Maksud hadits ini adalah bahwa penguasa, pemilik rumah, pemilik
dan pemimpin majlis lebih berhak menjadi imam daripada yang lain, selama salah
seorang di antara mereka belum mengizinkan kepada yang lain. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا
يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَؤُمَّ قَوْمًا
إِلَّا بِإِذْنِهِمْ
“Dan tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir mengimami suatu kaum kecuali dengan izin mereka.” (Hr. Abu Dawud, dan
dishahihkan oleh Al Albani)
Mereka yang sah menjadi imam
Anak kecil yang sudah tamyiz (mampu membedakan) sah menjadi imam,
demikian pula orang yang buta sah menjadi imam, orang yang berdiri mengimami
orang yang duduk, orang yang duduk mengimami orang yang berdiri, orang yang
shalat fardhu mengimami orang yang shalat sunah, orang yang shalat sunah
mengimami orang yang shalat fardhu, orang yang berwudhu mengimami orang yang
bertayammum, orang yang bertayammum mengimami orang yang berwudhu, musafir
mengimami orang yang mukim, orang yang mukim mengimami orang yang musafir,
orang yang kurang utama mengimami orang yang lebih utama. Mereka semua sah
menjadi imam.
Dalil terhadap semua itu adalah sebagaimana dalam keterangan
berikut:
Amr bin Salamah pernah shalat mengimami kaumnya ketika itu usianya
enam atau tujuh tahun.
Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam juga pernah mengangkat
Abdullah bin Ummi Maktum sebagai pengganti Beliau di Madinah sebanyak dua kali,
dimana ia mengimami masyarakat Madinah sedangkan dia buta matanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat sambil duduk
di belakang Abu Bakar di saat sakit menjelang wafatnya.
Beliau juga pernah shalat di rumahnya dalam keadaan duduk saat
sakit, sedangkan para makmum shalat dalam keadaan berdiri, lalu Beliau
berisyarat kepada mereka agar duduk. Selesai shalat, Beliau bersabda,
إِنَّمَا
جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ
فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا
“Imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika ia ruku, maka rukulah.
Jika ia bangun dari ruku, maka bangunlah, dan jika ia shalat dalam keadaan
duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk[i].” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Mu’adz pernah shalat Isya bersama Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, lalu ia pulang menemui kaumnya dan melakukan shalat lagi mengimami
mereka, ketika itu shalat yang ia lakukan adalah sunah, sedangkan shalat yang
dilakukan kaumnya di belakangnya adalah shalat fardhu.
Mihjan bin Al Arda’ berkata, “Aku pernah datang kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau berada di masjid, kemudian shalat
ditegakkan, lalu Beliau shalat namun aku tidak ikut shalat. Seusai shalat
Beliau bertanya, “Mengapa engkau tidak shalat?” Aku menjawab, “Wahai
Rasulullah, aku telah shalat di rumah, setelah itu aku datang menemuimu.”
Beliau pun bersabda, “Jika engkau datang (ke masjid), maka shalat bersama
mereka, dan jadikan shalat tersebut sunah.” (Hr. Ahmad, dinyatakan hasan oleh
pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam juga pernah melihat
seseorang shalat sendiri, lalu Beliau bersabda, “Adakah orang lain yang mau
bersedekah kepada orang ini, yaitu dengan melakukan shalat bersamanya?”
Amr bin Ash juga pernah shalat sebagai imam sedangkan ia bersuci
dengan bertayammum, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
membenarkannya.
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu saat tiba di Mekkah melakukan
shalat dua rakaat (mengqashar), selesai salam ia berkata, “Wahai penduduk
Mekkah! Sesungguhnya kami sedang safar, maka sempurnakanlah shalat kalian.”
Dan jika musafir shalat di belakang imam yang mukim, maka ia
mengikuti shalat bersamanya dengan sempurna (empat rakaat) meskipun mendapatkan
kurang dari satu rakaat bersamanya. Ibnu Abbas pernah ditanya, “Mengapa seorang
musafir shalat dua rakaat ketika sendiri dan empat rakaat ketika bermakmum
kepada yang mukim?” Ibnu Abbas menjawab, “Itu adalah Sunnah (Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam).” Dalam sebuah lafaz disebutkan, bahwa Musa bin
Salamah pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Kami ketika bersama kalian melakukan
shalat berjumlah empat rakaat, dan ketika pulang, maka kami shalat dengan
jumlah dua rakaat?” Ia menjawab, “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Rasulullah)
shallallahu alaihi wa salllam.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan hasan isnadnya oleh
pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Mereka yang tidak sah menjadi imam
Tidak sah orang yang berudzur[ii] mengimami orang yang
sehat, demikian pula mengimami orang yang berudzur yang mendapat udzur berbeda
dengan udzur yang menimpanya[iii] menurut jumhur
(mayoritas) para ulama. Adapun ulama madzhab Maliki berpendapat, tetap sah
orang yang berudzur menjadi imam bagi orang yang sehat namun makruh.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Ishaq, Al Auza’i,
Ibnul Mundzir, dan ulama madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa tidak boleh orang
yang mampu berdiri bermakmum mengikuti orang yang duduk karena suatu uzur,
bahkan ia seharusnya duduk juga mengikutinya berdasarkan hadits ini. Ada pula
yang berpendapat, bahwa itu mansukh.
[ii] Misalnya orang yang
tertimpa mencret, beser, atau mudah buang anging.
[iii] Misalnya orang yang
beser bermakmum kepada orang yang mudah buang anging.
0 komentar:
Posting Komentar