بسم
الله الرحمن الرحيم
Adab Terhadap Para Ulama
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang adab terhadap para ulama,
semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Para ulama dan para mujahid memiliki jasa yang besar terhadap
agama ini. Para ulama menjaga agama ini dengan ilmu; belajar dan mengajarkannya
sebagaimana para mujahid menjaga agama ini dengan jihad mereka agar dakwah
tidak dihalangi dan tidak ada seorang pun yang dizalimi dalam menjalankan agama
ini.
Para ulama itu terdiri dari para qari (penghapal Al Qur’an), para
fuqaha (Ahli Fiqih), para muhaddits (Ahli Hadits), dan para mufassir (Ahli
Tafsir) baik dari kalangan tabi’in maupun generasi setelah mereka yang
mengikutinya dengan baik semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena jasa mereka dalam menegakkan agama ini, maka sudah
sepatutnya kita memuliakan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا
وَ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk
golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, menyayangi yang muda, dan
tidak mengetahui hak orang berilmu di antara kami.” (Hr. Ahmad dan Hakim,
dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 5443)
Adab terhadap para
ulama
Berikut adab yang
perlu kita lakukan terhadap mereka:
1. Mencintai mereka,
memintakan ampunan dan rahmat untuk mereka, dan mengetahui keutamaan mereka, karena mereka termasuk orang-orang yang disebutkan dalam Al Qur’an,
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ
“Dan orang-orang yang
mengikuti mereka (kaum Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.”
(Qs. At Taubah: 100)
Dan termasuk dalam
sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia
adalah generasiku, kemudian setelah mereka, dan setelah mereka.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
Para qari, para
muhaddits, para fuqaha, dan para mufassir termasuk ke dalam tiga generasi utama
yang dinyatakan memiliki kebaikan dan keutamaan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memuji mereka yang memohonkan
ampunan kepada orang-orang terdahulu yang lebih dulu beriman sebagaimana
firman-Nya,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ
لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (kaum Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya
Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang." (Qs. Al Hasyr: 10)
2. Tidak menyebut mereka
kecuali yang baik, tidak mencela pernyataan dan pendapat mereka, dan mengetahui
bahwa mereka adalah mujtahid yang ikhlas, sehingga ia memiliki adab terhadap
mereka. Ia
juga mengutamakan pendapat mereka di atas pendapat yang datang setelah mereka,
dan ia tidak meninggalkan pendapat mereka kecuali karena ada firman Allah
Ta’ala, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau perkataan sahabat
radhiyallahu anhum. Ia juga mengetahui bahwa Al Ijtihad laa yunqadhu bil
ijtihad (artinya: ijtihad (pendapat) tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad),
bahkan hanya dibatalkan oleh dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
3. Menganggap bahwa kitab-kitab fiqih seperti yang disusun oleh
imam madzhab yang empat; yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah serta
pandangan mereka dalam masalah agama, fiqih, dan syariat merupakan hasil
pemahaman mereka terhadap kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, atau hasil istinbath (penggalian hukum) dari
keduanya, atau merupakan qiyas dengan keduanya ketika mereka tidak menemukan
nashnya, atau merupakan isyarat dari keduanya.
4. Menganggap bahwa berpegang dengan salah satu kitab fiqih yang
mereka susun tentang masalah fiqih dan agama adalah boleh, dan bahwa
mengamalkannya merupakan bentuk pengamalan terhadap syariat Allah Azza wa Jalla
selama tidak bertentang dengan nash yang tegas dalam Al Qur’an maupun As
Sunnah. Oleh karena itu, ia tidak meninggalkan firman Allah atau sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena pendapat seseorang; siapa pun
dia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasulnya.” (Qs. Al Hujurat: 1)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. “ (Qs. Al Hasyr: 7)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak didasari perintah
kami, maka amalan itu tertolak.” (Hr. Muslim)
Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ
حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ. أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
"Hampir
saja hujan batu dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan,
"Abu Bakar dan Umar berkata."
5. Menganggap bahwa mereka (para ulama) adalah manusia yang bisa
benar dan bisa salah. Mungkin dalam suatu masalah di antara mereka ada yang
keliru, namun tanpa kesengajaan, akan tetapi karena kelalaian atau lupa, atau
karena pengetahuannya yang terbatas. Oleh karena itu, seorang muslim tidak
ta’ashshub (fanatik) kepada pendapat salah seorang di antara mereka dan
meninggalkan pendapat yang lain, bahkan ia mengambil pendapat siapa saja di
antara mereka –apalagi yang lebih kuat alasannya-. Ia juga tidak menolak
pendapat mereka kecuali karena ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata,
إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخَالِفُ
كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتْرُكُوْا
قَوْلِيْ
"Jika
aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta'ala dan berita
dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."
Imam malik rahimahullah pernah berkata,
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Tidak
ada seorang pun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan
pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam."
Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى
أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
"Kaum
muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena
pendapat seseorang."
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
"Barang
siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia
berada di tepi jurang kebinasaan."
6. Memaafkan mereka dalam hal yang mereka perselisihkan dalam
masalah furu’ (karena dalam masalah akidah, mereka sama), dan memandang bahwa
perbedaan di antara mereka bukanlah karena kejahilan mereka dan bukan pula karena
sikap ta’ashshub dengan pendapat mereka, bahkan perbedaan itu bisa disebabkan
karena belum sampai hadits kepadanya, memandang bahwa hadits tersebut telah
dimansukh, atau karena ada hadits lain yang sampai kepadanya yang ia rajihkan,
atau ia memahami berbeda dengan yang dipahami ulama lain, karena termasuk hal
yang bisa diterima adalah terjadinya perbedaan dalam memahami kandungan lafaz.
Contoh dalam hal ini adalah apa yang dipahami Imam Syafi’i tentang
batalnya wudhu karena menyentuh wanita secara mutlak, ia memahami demikian dari
firman Allah Ta’ala,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Atau kalian menyentuh wanita.” (Qs. An Nisaa’: 43)
Beliau memahami kata menyentuh pada ayat tersebut adalah
betul-betul menyentuh, sedangkan yang lain tidak berpandangan demikian,
sehingga ia berpendapat wajibnya berwudhu karena menyentuh wanita, sedangkan
ulama yang lain berpendapat, bahwa maksud mulamasah dalam ayat tersebut
adalah jima, sehingga mereka tidak mewajibkan wudhu jika sekedar menyentuh,
bahkan ada hal lain yang terjadi yaitu kesengajaan dan merasakan kenikmatan.
Mungkin
seorang bertanya, "Mengapa Imam Syafi'i tidak menarik pemahaman itu dan
mengikuti ulama yang lain, dengan begitu tidak terjadi ikhtilaf (perbedaan)?"
Jawab, "Sesungguhnya tidak boleh selamanya bagi seseorang ketika telah
memahami sesuatu yang berasal dari Rabbnya tanpa diselingi rasa ragu, kemudian
ditinggalkannya hanya karena mengikuti sebuah pendapat atau pemahaman ulama
yang lain, sehingga ia menjadi seorang yang (lebih) mengikuti ucapan manusia;
meninggalkan firman Alllah, padahal yang demikian termasuk dosa besar di sisi
Allah Azza wa Jalla. Ya, kalau seandainya pemahamannya bertentangan dengan nash
yang sharih (tegas) dari Al Qur'an atau Sunnah, ia wajib berpegang dengan
dilalah (kandungan) yang tampak jelas dari dalil itu dan wajib meninggalkan
pendapatnya terhadap lafaz yang memang bukan merupakan nash yang sharih (tegas)
maupun zhahir (jelas). Karena kalau seandainya dilalahnya qath'i (jelas dan
tidak mengandung kemungkinan lain), niscaya tidak ada dua orang pun dari umat
ini yang berselisih, terlebih di kalangan para ulama." (Minhajul Muslim,
hal. 57).
Tingkatan manusia
Tidak
semua orang mampu menggali hukum sehingga berijtihad sendiri, karena yang
demikian dapat membuat rusaknya syari'at dan rusaknya masyarakat. Bahkan untuk
ijtihad dibutuhkan ilmu, dan dalam hal ini yang memilikinya adalah ulama.
Dengan demikian ada tiga keadaan manusia dalam masalah ini, yaitu:
1. Ulama sebagai orang yang diberi ilmu dan pemahaman oleh
Allah Ta'ala.
2. Penuntut ilmu, di mana ia memiliki ilmu namun belum begitu dalam
sebagaimana ulama.
3. Orang awam.
Ulama berhak
ijtihad, ia berhak menggali hukum dari dalil itu meskipun hasil istinbatnya
menyelisihi yang lain. Jika ijtihadnya betul, maka ia akan memperoleh dua
pahala dan jika salah maka ia memperoleh satu pahala karena niatnya mencari
yang hak setelah melalui jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul Fiqh yang
dimiliknya, pengetahuannya yang luas terhadap dalil, Qawaa'idul fiqhiyyah,
dsb). Mereka tidak bisa disalahkan jika ijtihadnya keliru, karena "Maa
'alal muhsiniin min sabiil", yakni orang yang telah bersusah payah
dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak tidaklah bisa disalahkan.
Penuntut
ilmu, ia hendaknya ittiba' (tidak asal mengikuti tanpa mengetahui dalilnya),
ia bisa berpegang dengan keumuman dalil dan kemutlakannya serta berdasarkan
dalil yang sampai, akan tetapi ia tetap harus berhati-hati, jangan lupa
bertanya kepada orang yang lebih alim agar tidak tergelincir. Dan jika
dihadapkan perbedaan para ulama, hendaknya dipilih pendapat yang yang lebih
rajih atau lebih dekat kepada kebenaran. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ
الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
“Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya…dst.”
(Terj. Qs. Az Zumar: 18)
Orang
awam, kewajibannya adalah bertanya kepada ulama yang dipandangnya berilmu,
itulah tugasnya, Allah Ta'ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(Terj. Qs. An Nahl: 43)
Pembagian
ikhtilaf
Ikhtilaf
terbagi dua:
Pertama, Ikhltilaf
Tanawwu’, yaitu ketika prakteknya berbeda-beda tetapi ada sumbernya dari
syariat, seperti perbedaan dalam qiraat, lafaz azan, doa istiftah, maka dalam
hal ini masing-masingnya adalah benar.
Kedua, Ikhtilaf Tadhaad, yaitu
perbedaan yang saling menafikan (meniadakan) pendapat yang lain, maka dalam hal
ini yang benar hanya satu saja. Oleh karena itu, dicari pendapat yang lebih
kuat, namun dengan tetap menghormati pendapat yang lain.
Perbedaan
jangan membuat berpecah belah
Perbedaan
dalam masalah furu’ jangan sampai membuat kita berpecah belah, karena kaum
salaf terdahulu pun berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak membuat mereka
berpecah belah.
Contohnya
adalah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab
dan menaruh perlengkapan perang, Jibril datang dan memberitahukan untuk tidak
menaruh perlengkapan perang, bahkan tetap dibawa untuk mendatangi Bani
Quraizhah yang berkhianat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan para sahabat untuk pergi ke Bani Quraizhah, Beliau bersabda,
«لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ
إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ»
"Jangan
ada salah seorang di antara kamu yang shalat 'Ashar kecuali setelah sampai di
Bani Quraizhah."
Dalam
memahami sabda Beliau tersebut, para sahabat berbeda pendapat. Sebagian sahabat
berpendapat bahwa maksud Beliau adalah agar mereka segera menuju Bani
Quraizhah, sehingga shalat 'Asharnya di Bani Quraizhah, sedangkan sahabat yang
lain berpendapat bahwa mereka tidak boleh shalat 'Ashar kecuali setelah tiba di
Bani Quraizhah. Akhirnya sahabat yang berpegang dengan pendapat pertama
melakukan shalat 'Ashar pada waktunya, sedangkan sahabat yang berpegang dengan pendapat
kedua, melakukannya setelah tiba di Bani Quraizhah padahal ketika itu waktu
'Ashar sudah lewat. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengingkari salah seorang pun di antara mereka.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’:
Maktabah
Syamilah versi
3.45, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Al Khilaf bainal Ulama
(Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), dll.
0 komentar:
Posting Komentar