بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (29)
(Tentang Nusyrah dan Tathayyur)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi rahimahullah, yang banyak
kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Tentang
Nusyrah
Dari
Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang nusyrah,
maka Beliau bersabda, “Itu termasuk amalan setan.” (Hr. Ahmad dengan sanad yang
jayyid, dan Abu Dawud, ia berkata, “Imam Ahmad pernah ditanya tentang Nusyrah,
maka ia berkata, “Ibnu Mas’ud membenci semua itu.”)
**********
Penjelasan:
Setelah
penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi) menerangkan tentang hukum sihir dan
perdukunan, maka pada bab ini, ia menjelaskan tentang nusyrah yang terkadang
berasal dari setan dan para pesihir sehingga bertentangan dengan tauhid.
Nusyrah
adalah tindakan untuk menyembuhkan orang yang terkena sihir dengan mantera
atau jampi.
Dalam
hadits di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang
nusyrah yang biasa dilakukan kaum Jahiliyyah, dimana mereka biasa mengobati
orang yang terkena sihir dengan sihir pula dan meminta bantuan kepada setan,
maka Beliau menerangkan, bahwa itu termasuk perbuatan setan atau melalui
perantaraanya yang hukumnya syirik dan haram.
Kesimpulan:
1.
Hadits di atas menunjukkan
haramnya nusyrah ala jahiliyah.
2.
Disyariatkan bertanya
kepada para ulama tentang permasalahan yang masih musykil hukumnya agar tidak
terjatuh ke dalam sesuatu yang diharamkan.
**********
Dalam Shahih
Bukhari dari Qatadah, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnul
Musayyib, “Bagaimana jika seseorang terkena sihir atau diguna-guna sehingga
tidak dapat menggauli istrinya, lalu diobati dengan menggunakan nusyrah?” Ia
menjawab, “Tidak mengapa, karena yang mereka inginkan adalah kebaikan,
sedangkan sesuatu yang bermanfaat tidaklah dilarang.”
Diriwayatkan
dari Al Hasan, ia berkata, “Tidak ada yang dapat melepaskan pengaruh sihir
kecuali tukang sihir.”
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Nusyrah adalah penyembuhan terhadap orang
yang terkena sihir. Caranya ada dua:
Pertama, menyembuhkan dengan menggunakan sihir pula.
Ini termasuk perbuatan setan. Pendapat Al Hasan di atas termasuk kategori ini,
karena masing-masingnya baik orang yang menyembuhkan maupun yang disembuhkan
mendekatkan diri kepada setan dengan melakukan apa yang ia senangi, sehingga
perbuatan setan itu gagal memberi pengaruh kepada orang yang terkena sihir itu.
Kedua, penyembuhan
dengan menggunakan ruqyah, ayat-ayat yang isinya mengandung permintaan
perlindungan kepada Allah, juga dengan obat-obatan, dan doa-doa yang
diperbolehkan. Cara ini hukumnya boleh.”
**********
Penjelasan:
Pernyataan
Ibnul Musayyib tentang pengobatan dengan nusyrah, “Tidak mengapa, karena
yang mereka inginkan adalah kebaikan, sedangkan sesuatu yang bermanfaat
tidaklah dilarang,” maksudnya tidak mengapa jika menggunakan sesuatu yang
mubah yang maksudnya adalah kebaikan untuk menolak madharat (bahaya), seperti
meruqyahnya baik dengan nama Allah maupun firman-Nya.
Ibnul
Qayyim memberikan perincian -sebagaimana disebutkan di atas- , bahwa mengobati
orang yang terkena sihir jika menggunakan obat-obatan yang mubah dan ayat-ayat
Al Qur’an adalah perkara yang mubah, tetapi jika mengobatinya dengan sihir
pula, maka hukumnya haram.
Singkatnya,
nusyrah ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang sebagaimana penjelasan
Ibnul Qayyim di atas.
Kesimpulan:
1.
Larangan mengobati sihir
dengan sihir pula.
2.
Perbedaan antara nusyrah
yang dilarang dan nusyrah yang diperbolehkan.
**********
Bab :
Tentang Tathayyur
Firman
Allah Ta’ala,
أَلَا إِنَّمَا
طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. Al A’raaf: 131)
قَالُوا طَائِرُكُمْ
مَعَكُمْ أَئِن ذُكِّرْتُم بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ
"Kemalangan
kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu
bernasib malang)? Sebenarnya
kamu adalah kaum yang melampui batas.” (Qs. Yaasin: 19)
**********
Tathayyur atau Thiyarah
artinya merasa sial dengan sesuatu.
Oleh karena thiyarah atau tathayyur merupakan salah satu
macam syirik yang bertentangan dengan tauhid atau mengurangi kesempurnaan
tauhid, maka penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi) membuat bab tentangnya agar
kita bersikap waspada terhadap perbuatan itu.
Pada ayat pertama, Allah Ta’ala menerangkan tentang sikap
Fir’aun dan kaumnya saat ditimpakan musibah, mereka menyatakan, bahwa musibah
itu karena Nabi Musa alaihis salam dan pengikutnya, maka Allah membantah
mereka, bahwa musibah yang menimpa mereka adalah karena takdir-Nya yang Dia
tetapkan untuk mereka disebabkan kekafiran mereka. Selanjutnya Allah menerangkan
keadaan mereka, bahwa kebanyakan mereka tidak mengetahui. Kalau sekiranya
mereka mengetahui dan memahami, tentu mereka tahu bahwa risalah yang dibawa
Nabi Musa alaihis salam adalah kebaikan, keberkahan, dan keberuntungan bagi
mereka jika mereka mau beriman dan mengikutinya.
Pada ayat kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah
mereka yang mendustakan para utusan Allah yang Dia utus ke sebuah kampung, lalu
penduduknya mendapatkan musibah, kemudian mereka menyandarkan musibah itu
kepada para utusan Allah itu, maka Allah menerangkan, bahwa musibah yang
menimpa mereka itu karena mereka sendiri; karena kekafiran mereka, bukan karena
para utusan Allah itu. Padahal yang seharusnya mereka lakukan adalah menerima
nasihat para utusan Allah itu agar mereka selamat dari musibah itu, akan tetapi
mereka tetap terus bergelimang di atas maksiat sehingga mereka ditimpa
kemalangan dan musibah.
Kesimpulan:
1.
Tathayyur
merupakan perbuatan orang-orang kafir.
2.
Beriman kepada qadha dan
qadar Allah.
3.
Di antara penyebab musibah
adalah kekufuran dan kemaksiatan.
4.
Celaan terhadap kebodohan
yang menyebabkan seseorang tidak mengenal syirik, sehingga terjatuh ke
dalamnya.
5.
Wajibnya menerima nasihat,
karena menolak nasihat adalah sifat orang-orang kafir.
6.
Apa yang dibawa rasul
merupakan kebaikan dan keberkahan bagi mereka yang mau mengikutinya.
**********
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ عَدْوَى وَلاَ
طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak
ada Adwa, tidak ada Thiyarah, tidak ada Hamah, dan tidak
ada Shafar.” (Hr. Bukhari dan Muslim. Muslim menambahkan,
وَلَا نَوْءَ وَلَا غُولَ
“Tidak
ada nau’ dan tidak ada ghul.”)
**********
Penjelasan:
Adwa
maksudnya penyakit menular. Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam meniadakan anggapan kaum Jahiliyyah yang beranggapan adanya penyakit
yang menular dengan sendirinya, tanpa takdir dari Allah Azza wa Jalla.
Jika seseorang berkata, “Lalu bagaimana dengan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
وَفِرَّ مِنَ المَجْذُومِ
كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ
“Dan larilah kamu dari orang yang terkena penyakit kusta sebagaimana
kamu lari dari singa.” (HR. Bukhari)
Jawab,
“Perintah menjauhkan diri dari orang yang terkena penyakit kusta dalam hadits
di atas adalah termasuk ke dalam kaidah Saddudz Dzara’i (pencegahan dari
terjatuh ke dalam tindakan yang terlarang), yakni agar seorang yang mendekati
orang yang terkena penyakit kusta tidak beranggapan bahwa penyakit tersebut
bisa menular sendiri, akhirnya ia membenarkan anggapan kaum Jahiliyyah itu dan
jatuh ke dalam dosa, padahal tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya.
Oleh karena itu, seseorang diperintahkan menjauhi orang yang terkena penyakit
kusta agar dalam hatinya tidak ada anggapan kaum Jahiliyyah, yaitu bahwa
penyakit bisa menular sendiri.” (Lihat pula Taisir Musthalah Hadits karya
Dr. Mahmud Ath Thahhan hal. 47).
Tentang
thiyarah atau tathayyur sudah dijelaskan sebelumnya, yakni merasa sial dengan
sesuatu, baik dengan terbangnya burung, dengan nama, dengan lafaz, sosok
seseorang atau lainnya. Tidak boleh kita merasa sial dengan itu semua.
Penggunaan kata “tidak ada” lebih kuat daripada sekedar larangan.
Adapun “Hamah,”
maka maksudnya burung hantu yang dijadikan tanda kesialan atau kemalangan
oleh kaum Jahiliyyah saat mereka melihatnya.
Sedangkan
kata “Shafar,” maka maksudnya sebuah penyakit dalam perut berupa cacing besar
seperti ular yang menimpa hewan ternak dan manusia, dimana orang-orang
Jahiliyyah menganggap bahwa penyakit tersebut dapat menular, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membatalkan anggapan dan keyakinan ini.
Ada pula
di antara ulama yang menafsirkan, bahwa maksud ‘Shafar’ dalam hadits
tersebut adalah bulan Shafar. kaum Jahiliyyah merasa sial dengan bulan Shafar,
dimana mereka mengatakan, bahwa bulan tersebut adalah bulan sial, maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan anggapan ini.
Sedangkan
maksud “tidak ada nau’” adalah membatalkan anggapan kaum
Jahiliyyah yang menganggap bahwa hujan turun karena bintang ini atau bintang
itu, padahal hujan turun karena ketetapan Allah.
Adapun
maksud “Tidak ada Ghul” adalah pembatalan terhadap keyakinan kaum
Jahiliyyah adanya jin jenis tertentu (misalnya yang sebagian orang menyebutnya
dengan gendruwo) yang membuat manusia tersesat jalan dan binasa di tengah
perjalanan mereka.
Kesimpulan:
1.
Dilarang tathayyur/thiyarah
(merasa sial dengan sesuatu).
2.
Tidak ada penyakit yang
menular dengan sendirinya.
3.
Tidak boleh merasa sial
dengan burung hantu dan bulan Shafar.
4.
Dilarang menisbatkan
turunnya hujan kepada bintang.
5.
Tidak ada ghul (gendruwo).
6.
Wajibnya bertawakkal
kepada Allah Azza wa Jalla.
7.
Termasuk memurnikan tauhid
adalah menjauhi sarana yang bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik.
8.
Membatalkan anggapan
sebagian manusia yang merasa sial dengan warna, nomor, hari, bulan, sosok
seseorang, sosok seseorang, dsb.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar