بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Berjamaah (3)
[Hukum-Hukum Seputar Shalat Berjamaah]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat berjamaah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Jumlah minimal dalam shalat berjamaah
Dianggap shalat berjamaah meskipun makmumnya hanya seorang diri.
Demikian pula meskipun makmumnya seorang anak kecil atau wanita.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Aku pernah bermalam di
rumah bibiku Maimunah, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bangun shalat
malam, kemudian aku shalat bersama Beliau dan berdiri di sebelah kirinya, maka
Beliau memegang kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.”[i] (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu anhuma, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ
امْرَأَتَهُ، فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ
اللَّهَ كَثِيرًا، وَالذَّاكِرَاتِ»
“Barang siapa yang bangun malam dan membangunkan istrinya, lalu
mereka berdua shalat dua rakaat secara berjamaah, maka keduanya akan dicatat
sebagai laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” (Hr. Abu
Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Sa’id, bahwa ada seorang yang masuk masjid (belum
shalat), sedangkan Rasululah shallallahu alaihi wa sallam telah shalat bersama
para sahabatnya, maka Beliau bersabda, “Siapakah yang mau bersedekah kepada
orang ini?” Maka ada seorang di antara yang hadir shalat bersamanya. (Hr.
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan ia menghasankannya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan,
bahwa orang yang shalat bersamanya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu).
Tirmidzi berdalih dengan hadits ini tentang bolehnya sekelompok orang melakukan shalat
secara berjamaah dalam sebuah masjid yang telah dilakukan shalat berjamaah
sebelumnya. Inilah yang dipegang oleh Ahmad dan Ishaq. Sedangkan yang lain
berpendapat, bahwa mereka hendaknya melakukan shalat secara sendiri-sendiri,
dan inilah yang dipegang oleh Sufyan, Malik, Ibnul Mubarak, dan Syafi’i.
Menurut Imam Syafi’i dan Syaikh Al Albani,
bahwa bolehnya mengadakan jamaah kedua dalam satu masjid adalah ketika tidak
ada imam rawatib. Tetapi menurut ulama yang lain, bahwa tidak mengapa
mengadakan jamaah kedua selama tidak dirutinkan, wallahu a’lam.
Adapun membuat beberapa jamaah dalam waktu yang sama di sebuah
tempat, maka telah disepakati keharamannya karena bertentangan dengan tujuan
disyariatkan berjamaah.
Bolehnya imam berubah menjadi makmum
Boleh bagi imam berpindah jadi makmum saat ia diangkat sebagai
pengganti, lalu tiba imam rawatib. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari
dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
pergi ke Bani Amr bin Auf untuk mendamaikan mereka, lalu tiba waktu shalat,
kemudian muazin datang kepada Abu Bakar dan berkata, “Maukah engkau shalat
mengimami manusia sehingga saya melakukan iqamat?” Ia menjawab, “Ya.” Maka Abu
Bakar shalat sebagai imam, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
datang, sedangkan orang-orang sudah berada dalam shalat, maka Beliau masuk
hingga berdiri dalam barisan, lalu orang-orang menepuk tangannya, sedangkan Abu
Bakar adalah seorang yang tidak menoleh ketika shalat. Tetapi ketika semakin
banyak orang yang menepuk, ia pun menoleh dan ternyata dilihatnya Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
berisyarat kepadanya agar tetap di tempat, maka Abu Bakar mengangkat kedua
tangannya memuji Allah atas perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
kepadanya itu, kemudian Abu Bakar mundur hingga sejajar dalam shaf, lalu Nabi
shallallahu alaihi wa sallam maju meneruskan shalat hingga salam. Selanjutnya
Beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk tetap berada di
tempat itu ketika aku perintahkan?” Abu Bakar berkata, “Tidak patut bagi Ibnu
Abi Quhafah shalat di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Lalu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa aku lihat kalian menepuk
tangan? Barang siapa yang mendapatkan sesuatu dalam shalat, maka bertasbihlah,
karena dengan bertasbih, maka ia (imam) akan menoleh, sedangkan tepuk tangan
adalah untuk kaum wanita.”
Imam Syaukani menjelaskan, dalam hadits tersebut terdapat dalil,
bahwa berjalan dari shaf yang satu ke shaf berikutnya tidaklah membatalkan
shalat, dan bahwa memuji Allah terhadap hal yang baru serta mengingatkan dengan
ucapan tasbih (subhaanallah) adalah hal yang dibolehkan. Demikian pula
mengangkat imam pengganti dalam shalat (berjamaah) karena uzur diperbolehkan meskipun terjadi dua imam. Demikian pula
menunjukkan bolehnya seseorang dalam sebagian shalatnya sebagai imam lalu
sebagai makmum, dan bolehnya mengangkat kedua tangan dalam shalat ketika berdoa
dan memuji Allah, dan menunjukan bolehnya menoleh karena kebutuhan (mendesak),
bolehnya memberitahukan orang yang shalat dengan isyarat, bolehnya memuji Allah
dan bersyukur karena keutamaan dalam beragama, bolehnya orang yang kurang utama
mengimami orang yang utama, serta menunjukkan bolehnya gerakan sedikit dalam
shalat.
Mendapatkan imam dalam suatu kondisi
Barang siapa yang mendapatkan imam, maka ia bertakbir dengan
takbiratul ihram[ii]
dalam keadaan berdiri, lalu masuk mengikuti keadaannya[iii]. Dan ia tidak dipandang
memperoleh satu rakaat sampai mendapatkan rukunya imam, baik ia memperoleh ruku
secara sempurna bersama imam maupun ketika posisinya telah menunduk dan kedua
tangannya telah menyentuh kedua lututnya sebelum imam mengangkat kepala.
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ
سُجُودٌ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ،
فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ»
“Apabila kalian mendatangi shalat, sedangkan kami dalam kondisi
sujud, maka sujudlah, dan jangan anggap sebagai satu rakaat. Barang siapa yang
mendapatkan ruku, maka ia telah mendapatkan shalat.” (Hr. Abu Dawud, Ibnu
Khuzaimah dalam Shahihnya, Hakim dan ia berkata, “Shahih.” Dan
dihasankan oleh Al Albani)
Orang yang masbuq berbuat seperti yang dilakukan imam, dia duduk
bersamanya dengan duduk terakhir, berdoa, dan tidak bangun sampai imam salam,
dan bertakbir ketika berdiri untuk menyempurnakan yang kurang.
Uzur yang membolehkan tidak hadir dalam shalat berjamaah
Diberikan keringan bagi seseorang untuk tidak menghadiri shalat
berjamaah ketika ada uzur di antara uzur-uzur berikut:
Pertama, cuaca dingin atau hujan.
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa
Beliau memerintahkan agar muazin mengumandangkan panggilan shalat (azan) dan menyeru,
صَلُّوْا
فِي رِحَالِكُمْ
“Shalatlah di tempat-tempat kalian.”
Di saat malam yang dingin dan turun hujan
ketika safar. (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir ia berkata, “Kami keluar bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam suatu safar, lalu turun hujan,
maka Beliau bersabda,
لِيُصَلِّ مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ فِي رَحْلِهِ
“Hendaknya shalat orang yang hendak shalat di
tempatnya.” (Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah berkata
kepada muazinnya pada hari ketika turun hujan, “Jika engkau mengucapkan “Asyhadu
anna Muhammadar Rasulullah,” maka janganlah mengucapkan, “Hayya ‘alash
shalah,” tetapi ucapkanlah, “Shalluu fii buyutikum,” (artinya:
shalatlah di rumah kalian), namun sepertinya manusia mengingkari hal itu.
Ibnu Abbas pun berkata, “Apakah kalian merasa
heran terhadap hal itu? Padahal telah diberlakukan oleh orang yang lebih baik
dariku, yaitu Nabi shallallahu alahi wa sallam. Sesungguhnya berjamaah adalah
sebuah perintah yang jelas, namun aku tidak suka membuat kalian keluar berjalan
di atas tanah yang basah dan licin.” (Hr. Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat
Muslim disebutkan, bahwa Ibnu Abbas memerintahkan muazinnya mengucapkan
demikian pada hari Jumat ketika turun hujan.)
Letak ucapan tersebut ada tiga tempat:
a.
Di dalam azan menggantikan hayya 'alash shalah.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari.
b. Setelah
selesai azan. Imam Nawawi berkata, "Akan tetapi, mengucapkannya
setelah azan lebih baik, agar susunan azan seperti biasanya…dst."
c.
Di dalam azan setelah mengucakan hayya
'alal falaah (dengan menyebut hayya 'alash shalah sebelumnya). Hal ini
berdasarkan hadits seseorang yang berasal dari daerah Tsaqif, bahwa ia mendengar
muazin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di malam hari yang sedang turun hujan
ketika safar mengucapkan, "Hayya 'alash shalaah, Hayya 'alal Falah, kemudian, "Shalluu fii
rihaalikum." (HR. Nasa'i)
Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa termasuk
ke dalam uzur ini adalah panas yang menyengat, suasana gelap gulita, dan takut
terhadap orang yang hendak menzaliminya. Ibnu Baththal berkata, “Para ulama
sepakat, bahwa tidak hadir dalam shalat berjamaah pada saat hujan deras,
suasana gelap, angin kencang, dan sebagainya adalah perkara yang dibolehkan.”
Kedua, makanan sudah dihidangkan sedangkan dirinya merasa
perlu segera makan.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu
anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ
عَلَى الطَّعَامِ، فَلاَ يَعْجَلْ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ، وَإِنْ
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ»
“Apabila salah seorang di antara kamu sedang
berada di hadapan makanan, maka jangan terburu-buru sampai ia selesaikan
hajatnya, meskipun shalat sudah ditegakkan.” (Hr. Bukhari)
Ketiga, didesak oleh buang air.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Aku
mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ
الْأَخْبَثَانِ
“Tidak sempurna shalat ketika makanan sudah
dihidangkan, dan ketika ia didesak oleh dua hal yang kotor (buang air besar dan
kecil).” (Hr. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
Keempat, Abu Darda berkata, “Termasuk fiqih (pandainya seseorang
dalam agama) adalah ketika seseorang menyelesaikan urusannya sehingga ia shalat
dalam keadaan hatinya tenang.”
Kelima, sakit yang membuatnya kesulitan menghadiri shalat
berjamaah.
Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pernah tidak hadir shalat berjamaah ketika sakit semakin parah, lalu
Beliau bersabda, “Suruhlah Abu Bakar mengimami manusia.” (Hr. Bukhari dan
Muslim).
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Sungguh kami memandang,
bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali orang munafik yang
diketahui kemunafikannya atau orang yang sakit.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Keenam, khawatir ditinggal rombongan safar.
Ketujuh, kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta,
dan kehormatan.
Kedelapan, sehabis makan bawang merah atau bawang putih, atau
makanan berbau tidak sedap lainnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ
الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى، مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ»
“Barang siapa yang memakan tumbuhan berbau
ini, maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena para malaikat terganggu
sebagaimana manusia juga terganggu.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا
يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى
مِنْهُ بَنُو آدَمَ
“Barang
siapa yang memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung, maka janganlah
ia mendekati masjid kami, karena para malaikat terganggu sebagaimana anak cucu
Adam juga terganggu.” (Hr. Muslim)
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Dalam hadits
tersebut terdapat dalil bolehnya bermakmum dengan seorang yang tidak berniat
menjadi imam. Demikian pula bolehnya berpindah niat menjadi imam setelah masuk
ke dalam shalat ketika awalnya bermaksud shalat sendiri. Tidak ada perbedaan
dalam masalah ini, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Dalam Shahih
Bukhari dari Aisyah radhiyallahu anha disebutkan, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat di biliknya, sedangkan dinding
biliknya pendek, lalu orang-orang melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, kemudian mereka shalat mengikuti shalat Beliau. Pada pagi harinya,
orang-orang membicarakan hal itu, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
melakukan shalat lagi pada malam kedua, kemudian orang-orang ikut shalat
mengikuti shalat Beliau.
[ii] Adapun takbir
intiqal, jika ia melakukannya, maka bagus. Jika tidak, maka cukup dengan
takbiratul ihram.
[iii] Ia akan memperoleh
keutamaan shalat jamaah dan pahalanya dengan takbiratul ihram yang dilakukannya
sebelum imam salam.
0 komentar:
Posting Komentar