بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Berjamaah (2)
[Hukum-Hukum Seputar Shalat Berjamaah]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat berjamaah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Ketika masjid berada jauh dari rumah
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي
الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى، فَأَبْعَدُهُمْ، وَالَّذِي يَنْتَظِرُ
الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمَ أَجْرًا مِنَ الَّذِي
يُصَلِّيَهَا ثُمَّ يَنَامُ»
“Sesungguhnya orang yang paling besar pahalanya adalah orang yang
paling jauh perjalanannya ke masjid untuk shalat berjamaah dan seterusnya.
Orang yang menunggu shalat agar dapat shalat bersama imam lebih besar pahalanya
daripada orang yang shalat lebih dulu kemudian tidur.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Ketika
tanah di sekitar masjid telah kosong, maka Bani Salimah ingin pindah dekat
dengan masjid, lalu sampailah berita itu ke telinga Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
«إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ
تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ»
“Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku bahwa kalian hendak
pindah rumah ke dekat masjid.”
Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasulullah, kami ingin melakukan
demikian.”
Beliau pun bersabda,
يَا
بَنِي سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ، دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ
“Wahai Bani Salimah! Tetaplah di tempat kalian, niscaya jejak
langkah kalian akan dicatat pahala. Tetaplah di tempat kalian, niscaya jejak
langkah kalian akan dicatat pahala.”
Lebih banyak jumlah jamaah shalat, maka lebih besar pahalanya
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ
صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلَاتُهُ
مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَثُرَ فَهُوَ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
“Sesungguhnya shalat seseorang dengan seorang pula lebih besar
pahalanya daripada shalatnya sendiri saja. Shalatnya bersama dua orang lebih besar
pahalanya daripada shalatnya hanya dengan seorang. Semakin banyak jumlah
jamaahnya, maka lebih dicintai Allah Ta’ala.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Ibnus Sakan, Al Uqailiy, dan
Hakim, serta dihasankan oleh Al Albani)
Anjuran pergi ke masjid dengan sikap tenang dan sopan, serta
makruhnya mendatanginya dengan tergesa-gesa
Dari Abu Qatadah ia berkata, “Ketika kami shalat bersama Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba kami mendengar suara gaduh. Setelah
shalat, Rasulullah shallallahu alahi wa sallam bersabda, “Ada apa dengan
kalian?” Sebagian mereka mengatakan, “Kami terburu-buru mendatangi shalat.”
Beliau pun bersabda,
فَلاَ
تَفْعَلُوا إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jangan kalian lakukan!
Jika kalian datang untuk shalat, maka datangilah dengan tenang. Bagaimana pun
keadaan imam yang kalian temukan, maka shalat (mengikutinya), dan bagian dari
shalat yang kurang, maka sempurnakanlah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alahi
wa sallam, Beliau bersabda,
«إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا
إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا،
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»
“Apabila kalian mendengar iqamat, maka berjalanlah untuk shalat
dengan sikap tenang dan sopan, dan jangan terburu-buru. Bagaimana pun keadaan
imam yang kalian temukan, maka shalatlah (mengikutinya), dan bagian dari shalat
yang kurang, maka sempurnakanlah.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Tirmidzi)
Sebagian ulama ada yang mengartikan kata ‘sakinah’ dalam
hadits semakna dengan waqar (sopan), namun Imam Nawawi membedakan di
antara keduanya, ia berkata, “Sakinah adalah pelan dalam gerakan dan
menjauhi sikap main-main, sedangkan waqar dalam sikap, yaitu dengan
menundukkan pandangan, merendahkan suara, dan tidak menoleh.”
Anjuran bagi imam untuk meringankan shalat berjamaah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ،
فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ مِنْهُمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالكَبِيرَ، وَإِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ»
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat mengimami manusia,
maka ringankanlah, karena di tengah-tengah mereka ada orang yang lemah, orang
sakit, dan orang tua. Namun jika ia shalat sendiri, maka panjangkanlah
semaunya.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Dari Anas, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau
bersabda,
«إِنِّي لَأَدْخُلُ فِي الصَّلاَةِ وَأَنَا
أُرِيدُ إِطَالَتَهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي
مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ»
“Saat aku hendak shalat dengan memanjangkan bacaan, namun aku
mendengar tangisan anak kecil, maka aku ringankan shalatku karena aku tahu
betapa sedih ibunya karena tangis anaknya.” (Hr. Jamaah)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas ia berkata, “Aku
tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang lebih ringan dan lebih
sempurna daripada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
Abu Umar Ibnu Abdil Bar berkata, “Meringankan shalat bagi imam
adalah sesuatu yang disepakati dan dianjurkan di kalangan para ulama, hanyasaja
dalam keadaan sempurna yang paling ringan (yakni seukuran tiga kali tasbih).
Jika ada yang dibuang dan dikurangi, maka tidak benar, karena Nabi shallallahu
alaihi wa sallam melarang shalat seperti burung mematuk (cepat sekali).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang
yang shalat tanpa menyempurnakan rukunya, maka Beliau bersabda kepadanya,
«ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ»
“Kembalilah dan lakukan shalat, karena engkau belum shalat.” (Hr.
Bukhari dan Muslim)
Beliau juga pernah bersabda,
لاَ
يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ
“Allah tidak memperhatikan shalat orang yang
tidak meluruskan tulang punggungnya
ketika ruku dan sujud.” (Hr. Thabrani dalam Al Kabir dan Ahmad,
dishahihkan oleh Al Albani)
Ibnu Abdil Bar juga berkata, “Aku tidak
mengetahui adanya khilaf di antara Ahli Ilmu tentang anjuran meringankan bagi
imam namun dengan syarat tetap sempurna seperti yang telah kami sampaikan.”
Imam memanjangkan rakaat pertama
Disyariatkan bagi imam memanjangkan rakaat pertama dan menunggu
orang yang dirasakannya ikut masuk ke dalam shalat berjamaah agar ia memperoleh
keutamaan shalat berjamaah sebagaimana dianjurkan baginya menunggu orang yang
dirasakannya masuk ke dalam shalat berjamaah pada saat ia ruku, demikian pula
pada saat ia berada di duduk terakhir.
Dalam hadits Abu Qatadah disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam memanjangkan rakaat pertama.
Abu Qatadah radhiyallahu anhu berkata, “Menurut kami, maksud
Beliau melakukan hal itu adalah agar manusia mendapatkan rakaat pertama.” (Hr.
Abu Dawud, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani)
Abu Sa’id radhiyallahu anhu berkata, “Ketika shalat ditegakkan,
lalu ada seorang yang pergi ke Baqi untuk buang hajat, lalu ia berwudhu dan
datang (ke masjid), maka ia akan mendapatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam masih dalam rakaat pertama karena Beliau memanjangkannya.” (Hr. Ahmad,
Muslim, Ibnu Majah, dan Nasa’i)
Wajibnya mengikuti imam dan haramnya mendahuluinya
Wajib mengikuti imam dan haram mendahuluinya. Hal ini berdasarkan hadits
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّمَا
جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ، فَإِذَا رَكَعَ،
فَارْكَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا
لَكَ الحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا، فَصَلُّوا
جُلُوسًا أَجْمَعُونَ،
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah
menyelisihi. Jika ia ruku, maka rukulah. Jika ia mengucapkan “Sami’allahu
liman hamidah” (artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya), maka
ucapkanlah “Rabbana walakal hamd,” (artinya: wahai Rabb kami,
untuk-Mulah segala puji). Jika ia sujud, maka sujudlah, dan jika ia shalat
sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud disebutkan,
إِنَّمَا
جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَلَا
تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا
حَتَّى يَرْكَعَ، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا:
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلَا تَسْجُدُوا
حَتَّى يَسْجُدَ،
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika ia bertakbir,
maka bertakbirlah, dan jangan kalian bertakbir sampai ia bertakbir. Jika ia
ruku, maka rukulah, jangan kalian ruku sampai ia ruku. Jika ia mengucapkan “Sami’allahu
liman hamidah,” maka ucapkanlah “Allahumma Rabbana lakal hamdu.” Jika
ia sujud, maka sujudlah, dan jangan kalian sujud, sampai ia sujud.”
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits
sebelumnya “maka janganlah menyelisihi,” termasuk menyelisihi adalah
mendahuluinya, bersamaan dengannya, atau berlama-lama tidak segera mengikuti
imam. Oleh karena itu, hendaknya seseorang segera mengikuti imam ketika imam
selesai mengucapkan takbir.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا
يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ، أَنْ يَجْعَلَ
اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ
حِمَارٍ
“Tidak takutkah salah seorang di antara kamu ketika mengangkat
kepalanya sebelum imam, jika Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai
atau menjadikan bentuknya seperti bentuk keledai.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي إِمَامُكُمْ، فَلَا
تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ، وَلَا بِالْقِيَامِ وَلَا
بِالِانْصِرَافِ، فَإِنِّي أَرَاكُمْ أَمَامِي وَمِنْ خَلْفِي»
“Wahai manusia, aku adalah imam kalian, maka janganlah
mendahuluiku ketika ruku, sujud, berdiri, dan salam. Sesungguhnya aku melihat
kalian baik dari depanku maupun dari belakangku. (Hr. Ahmad, Muslim, dan
Nasa’i)
Dari Barra bin Azib ia berkata, “Kami shalat bersama Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, saat Beliau mengucapkan “Sami’allahu liman
hamidah,” maka salah seorang di antara kami tidak menurunkan punggungnya
sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan dahinya di atas tanah.”
(Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Catatan:
Para ulama sepakat, bahwa mendahului imam dalam hal takbiratul
ihram atau salam membatalkan shalat, namun mereka berbeda pendapat dalam hal
selain keduanya. Menurut Imam Ahmad, tetap membatalkannya, ia juga berkata,
“Tidak ada shalat bagi orang yang mendahului imam.” Adapun bersamaan dengan
imam adalah makruh.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Shahih Fiqhis Sunnah (Abu Malik Kamal), Maktabah Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar