بسم
الله الرحمن الرحيم
Risalah Zakat Mal (5)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan
pembahasan fiqih zakat mal, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma amin.
6. Zakat Barang-Barang Yang Didagangkan
Kewajiban
zakat pada barang-barang yang didagangkan adalah berdasarkan keumuman firman
Allah Ta’ala,
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (19)
“Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.” (Qs. Adz Dzariyat: 19)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik.” (Qs. Al Baqarah: 267)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal,
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ
افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ
وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Maka
beritahukanlah mereka, bahwa Alah mewajibkan kepada mereka zakat pada harta
mereka; yang diambil dari orang-orang kaya dari kalangan mereka, dan diberikan
kepada kaum fakir mereka.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Syarat
wajib zakat pada barang dagangan adalah:
(1)
Memilikinya dengan perbuatannya, seperti dengan membelinya atau menerima hadiah, sehingga tidak termasuk ke
dalamnya warisan dan semisalnya yang diterimanya secara terpaksa.
(2)
Memilikinya dengan niat mendagangkannya.
(3)
Nilainya mencapai nishab[i].
Maka
setelah lewat haul (setahun), ia wajib mengeluarkan zakatnya yaitu 1/40.
Hal
ini untuk barang-barang dagangan mudaarah/dipasarkan (yang dijual dengan harga
hari itu juga tanpa menunggu naiknya harga).
Sedangkan
untuk barang-barang yang muhtakarah/disimpan (yang dijual ketika harga naik)
maka jika telah mencapai nishab ia wajib keluarkan pada hari penjualannya untuk
setahun saja meskipun barang tersebut ada padanya bertahun-tahun karena
menunggu naiknya harga.
Catatan:
a.
Ihtikar (menyimpan barang dagangan menunggu harga naik), jika mengakibatkan
orang-orang menderita karena dibutuhkannya barang tersebut maka hukumnya haram,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
يَحْتَكِرُ اِلَّا خَاطِئٌ
“Tidak ada yang berihtikar kecuali orang yang berdosa.” (HR.
Muslim)
b. Contoh perhitungan zakat perdagangan
adalah sebagai berikut:
Seorang
pedagang menjumlahkan barang dagangan dengan jumlah total Rp. 200.000.000,- dan
laba bersih sebesar Rp.50.000.000,- sementara dia mempunyai hutang sebesar
100.000.000,- maka modal dikurangi hutang:
200.000.000
- 100.000.000 = 100.000.000.
Jumlah harta zakat:
100.000.000
+ 50.000.000 = 150.000.000
maka zakat yang wajib dikeluarkan
setelah berlalu haul adalah 150.000.000 x 1/40 = 3.750.000,-
7.
Zakat Madu
Ibnu
Abdil Bar menukilkan dari jumhur (mayoritas) ulama, bahwa madu tidak dikenakan
zakat. Akan tetapi ada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya (yang
dikatakan jayyid isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ : 810) yang
menunjukkan, bahwa zakat madu itu ada. Tetapi dilihat dari zhahir hadits itu,
bahwa zakat pada madu diwajibkan jika madu yang diperoleh itu berada di wilayah
hima (wilayah khusus yang terdapat rerumputan yang ditetapkan oleh pemerintah
Islam, dimana orang lain tidak boleh menggembala binatang di situ karena
mungkin khusus binatang zakat agar binatang zakat tersebut merumput di situ).
Dalam hadits riwayat Bukhari dijelaskan tidak ada yang berhak menghimaa kecuali
Allah dan Rasul-Nya maksudnya bisa bahwa tidak ada yang berhak menghimaa
kecuali Allah dan Rasul-Nya, bisa juga maksudnya tidak ada yang berhak
menghimaa kecuali Allah dan Rasul-Nya atau orang yang menjadi pengganti setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Khalifah/imam kaum muslimin.
Imam Syafi’i menguatkan pendapat kedua (yakni bahwa imam kaum muslimin berhak
menghimaa termasuk juga para amir atau gubernur setempat) dengan syarat tidak
memadharratkan kaum muslimin semuanya.
Zakat
pada madu adalah 1/10 dari hasilnya baik banyak maupun sedikit[ii].
Misalnya seeorang memiliki 1000 kg madu, maka menghitungnya 1000 x 1/10 = 100
kg.
8. Al Maalul Mustafaad (harta yang baru didapat)[iii]
Barang siapa yang mendapatkan harta yang berlaku haul di
situ –ia tidak memiliki selainnya- dan harta tersebut telah mencapai nishab,
atau ia memiliki harta yang sejenisnya yang tidak mencapai nishab lalu jika
digabung dengan Al Maalul Mustafaad hartanya mencapai nishab maka ketika
seperti ini dimulai perhitungan haul. Jika telah lewat haul maka ia wajib
keluarkan zakatnya.
Jika ia memiliki harta senishab maka Al Maalul
mustafad tidak lepas dari tiga keadaan:
a. Al
Maalul Mustafaad berasal dari berkembangnya harta asalnya seperti mendapat
laba dari perdagangan dan berkembang biaknya hewan, maka barang-barang ini ikut
kepada harta asal yang dimilikinya, mengikuti haulnya maupun zakatnya. Misalnya
ia memiliki barang perdagangan atau hewan yang sudah mencapai nishab,
barang-barang yang didagangkannya kemudian memperoleh keuntungan atau
hewan-hewan miliknya kemudian berkembang biak di tengah-tengah ia menjalani
haul, maka ia wajib mengeluarkan dari kesemuanya; dari harta asalnya dan harta
yang baru didapatnya (Al Maalul Mustafaad).
b. Al
Maalul Mustafaad sejenis dengan harta asalnya yang telah mencapai nishab
dan bukan dari berkembangnya harta seperti halnya di atas, misalnya ia memiliki
harta itu karena baru membelinya, atau baru dihibahkan dari orang lain, atau
mendapatkan warisan. Contoh ia memiliki 200 dirham, kemudian di tengah-tengah
menjalani haul ia mendapatkan harta yang baru, maka menurut Abu Hanifah harta
yang baru (Al Maalul Mustafaad) ini digabung dengan harta asalnya dan mengikuti
haul harta asalnya sehingga ketika harta asalnya dizakatkan maka harta yang
baru termasuk bagiannya, namun menurut Syaafi’i dan Ahmad bahwa Al Maalul
Mustafaad tersebut diikut-sertakan dengan nishab harta asalnya, lalu
dilakukan haul yang baru lagi (baik harta asalnya berupa mata uang maupun
hewan).
c. Al
Maalul Mustafaad tidak sejenis dengan harta asalnya, maka dalam hal ini Al
Maalul Mustafaad tidak bisa digabungkan dengan harta asalnya (baik dalam hal
nishab maupun haulnya), bahkan jika Al Maalul Mustafaad mencapai nishab maka ia
menjalani satu haul (setahun penuh) sendiri atau terpisah dengan harta asalnya,
jika tidak mencapai nishab maka tidak dikenakan zakat, ini adalah pendapat
Jumhur ulama.
9. Zakat profesi
Zakat
profesi diklasifikasikan ke dalam kategori zakat emas dan perak (naqdain).
Zakat profesi baru wajib dikeluarkan apabila memenuhi 3 syarat:
1. Uang yang akan dizakatkan nantinya
merupakan kelebihan dari uang penghasilannya setelah dikeluarkan untuk
keperluan kesehariannya, atau kelebihan itu digabung dengan harta lainnya yang
dimilikinya.
2. Masa
penyimpanannya telah mencapai satu tahun lamanya (tamaamul haul).
3. Sampai
nishab.
Jika
salah satu dari tiga persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka tidak wajib
mengeluarkan zakatnya. Misalnya penghasilannya telah habis terpakai sebelum
habis satu tahun, atau sisa uang penghasilannya tetap tersimpan selama satu
tahun namun tidak mencapai nishab walaupun digabung dengan harta lainnya. Maka
dalam kondisi ini tidak diwajibkan berzakat. (lihat Fatawaa Lajnah Daa’imah
jilid 9/279-281)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallau ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa
alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin
Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/, Maktabah Syamilah versi
3.45, Modul Fiqih (Penulis), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Fiqhus
Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh Al Albani), Majalis Syahri Ramadhan (M. Bin Shalih
Al Utsaimin), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar