بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengqadha Shalat Sunah
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan
tentang mengqadha shalat sunah. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Mengqadha
shalat sunah rawatib sebelum Subuh
Disyariatkan
bagi orang yang tertinggal dari dua rakaat sebelum shalat Subuh untuk melakukan
shalat sunah tersebut setelah shalat Subuh atau setelah terbit matahari. Namun
lebih utama dilakukan setelah terbit matahari. Hal ini berdasarkan hadits
berikut:
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا
تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Barang siapa
yang belum shalat (sunah) dua rakaat fajar, maka hendaklah ia kerjakan setelah
matahari terbit.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan dishahihkan
oleh Hakim dan Al Albani)
Menurut Syaikh
Ibnu Bazmul, bahwa zhahir hadits ini menunjukkan wajibnya melakukan shalat
sunah rawatib sebelum fajar ketika tertinggal pada saat matahari telah terbit.
Akan tetapi perintah ini dialihkan menjadi sunah berdasarkan hadits berikut,
Dari Qais
radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah shalat Subuh bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun ia belum melakukan shalat sunah dua rakaat fajar. Saat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai salam, ia ikut salam bersama
Beliau, kemudian ia bangun lalu mengerjakan shalat sunah dua rakaat fajar,
sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya namun tidak
mengingkarinya. (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al
Albani).
Hadits ini
menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunah rawatib sebelum Subuh setelah
shalat Subuh bagi orang yang belum sempat melakukannya.
Mengqadha
shalat sunah rawatib sebelum Zhuhur
Telah ada
riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau ketika
tertinggal shalat sunah sebelum Zhuhur 4 rakaat, maka Beliau melakukannya
setelah shalat Zhuhur.
Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika belum
shalat sunah empat rakaat sebelum Zhuhur, maka Beliau melakukannya setelah
Zhuhur.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits tersebut
menunjukkan, bahwa barang siapa yang tertinggal shalat sunah empat rakaat
sebelum Zhuhur, maka ia melakukannya setelah shalat Zhuhur secara mutlak.
Ada riwayat
dalam Sunan Ibnu Majah yang artinya, “Jika Beliau tertinggal empat rakaat
sebelum Zhuhur, maka Beliau melakukannya setelah shalat sunah dua rakaat ba’da
(setelah) Zhuhur,” namun lafaz ini munkar. Oleh karena itu, mengqadha’ shalat
sunah empat rakaat sebelum Zhuhur yang tertinggal disyariatkan setelah shalat
Zhuhur secara mutlak sebagaimana diterangkan oleh Al Albani dalam Tamamul
Minnah hal. 241.
Mengqadha
shalat sunah rawatib dua rakaat setelah Zhuhur
Dari Kuraib,
bahwa Ibnu Abbas, Miswar bin Makhramah, dan Abdurrahman bin Azhar radhiyallahu
‘anhum pernah mengutusnya menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha, mereka berpesan, “Sampaikan
salam dari kami kepadanya! Dan tanyakanlah kepadanya tentang dua rakaat yang
dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Ashar, demikian juga
katakan kepadanya, bahwa kami mendapat kabar bahwa engkau melakukannya,
sedangkan berita yang sampai kepada kami adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang hal tersebut.” Ibnu Abbas berkata, “Aku dan Umar bin
Khaththab sempat memukul orang yang melakukan shalat setelah Ashar.” Kuraib
berkata, “Maka aku masuk menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha dan aku sampaikan
kepadanya pesan mereka.” Lalu Aisyah berkata, “Bertanyalah kepada Ummu
Salamah!” Maka aku keluar menemui mereka yang mengutusku dan menyampaikan
perkataan Aisyah tadi, lalu mereka menyuruhku mendatangi Ummu Salamah dan
berpesan kepadaku seperti pesan mereka saat aku menemui Aisyah, lalu Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya, lalu aku pernah melihat Beliau melakukan shalat sunah
setelah shalat Ashar, kemudian Beliau masuk menemuiku, sedangkan di dekatku
tedapat kaum wanita Anshar dari kalangan Bani Haram, lalu aku kirim seorang budak
wanita kepada Beliau dan aku berpesan kepadanya, “Berdirilah di sampingnya dan
katakan kepada Beliau, “Ummu Salamah berkata kepada engkau, “Wahai
Rasulullah, aku mendengar engkau melarang melakukan shalat setelah shalat
Ashar, namun aku melihat engkau melakukannya.” Jika ia berisyarat dengan
tangannya, maka mundurlah darinya.” Kemudian budak wanita ini melakukan pesan
Ummu Salamah, lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan
tangannya, maka budak wanita ini mundur dari Beliau. Setelah Beliau selesai
shalat, Beliau bersabda,
يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ، سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ
العَصْرِ، وَإِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ القَيْسِ، فَشَغَلُونِي عَنِ
الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ
“Wahai puteri
Abu Umayyah, apakah engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Ashar?
Sesungguhnya saya kedatangan orang dari Bani Abdul Qais, lalu mereka membuatku
sibuk tidak sempat melakukan dua rakaat setelah Zhuhur, maka itulah shalat
sunah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Syaikh M.
Bin Umar Bazmul, bahwa hadits ini menunjukkan disyariatkannya mengqadha shalat
sunah ba’diyah Zhuhur yang tertinggal.
Jika seorang
bertanya, “Disebutkan dalam hadits di atas, bahwa Ummu Salamah berkata, “Wahai
Rasulullah, aku mendengar engkau melarang melakukan shalat setelah shalat
Ashar, namun aku melihat engkau melakukannya,” bukankah hal ini menunjukkan
dilarangnya dua rakaat setelah Ashar?” Maka jawabannya adalah, zhahir hadits
tersebut menunjukkan bahwa larangan melakukan dua rakaat setelah Ashar tertuju
kepada orang yang merutinkannya karena mengira itu Sunnah. [[Adapun rutinnya
Beliau melakukan hal itu, maka karena itu termasuk yang khusus bagi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, dimana Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Beliau
ketika melakukan shalat, maka merutinkannya.” (HR. Muslim)]]
Tidakkah engkau
perhatikan, bahwa dalam hadits tersebut Aisyah radhiyallahu ‘anha melakukannya,
lalu Aisyah menyuruh untuk bertanya kepada Ummu Salamah, maka kalau seandainya
maksud larangan shalat dua rakaat setelah Ashar itu mutlak, tentu Aisyah tidak
akan melakukannya, wallahu a’lam.
Namun ada alasan
lain, yaitu bahwa larangan melakukan shalat dua rakaat setelah Ashar adalah
bagi mereka yang melakukannya saat matahari sudah tidak putih bersih, karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah Ashar kecuali ketika
matahari masih tinggi. Oleh karenanya, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab pertanyaan Ummu Salamah, Beliau menerangkan sebab melakukannya,
yaitu bahwa yang Beliau lakukan adalah dua rakaat setelah Zhuhur, maka hadits
tersebut menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunah rawatib ba’diyah (setelah)
Zhuhur pada waktu terlarang.
Dan telah ada
riwayat yang menunjukkan demikian, karena Ibnu Abbas saat menyatakan bahwa
dirinya bersama Umar memukul manusia yang shalat setelah Ashar secara mutlak,
zhahirnya bahwa Aisyah mengetahuinya, lalu ia mengatakan, “Umar keliru.
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melarang
memperhatikan waktu terbitnya matahari dan waktu terbenamnya. Dalam sebuah
riwayat dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak meninggalkan dua rakaat setelah Ashar.” Aisyah berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ، وَلَا غُرُوبَهَا فَتُصَلُّوا
عِنْدَ ذَلِكَ
“Janganlah
kalian melihat kepada terbitnya matahari dan tenggelamnya, lalu kalian shalat
mengikutinya.” (HR. Muslim)
Hadits ini
menunjukkan dilarangnya shalat saat matahari akan tenggelam, mafhum (yang dapat
dipahami) darinya adalah bahwa shalat setelah Ashar ketika matahari masih putih
bersih tidak masuk ke dalam larangan itu. Mafhum ini disebutkan secara tekstual
dalam hadits Ali bin Abi Thalib secara marfu’,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ، إِلَّا وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
“Bahwa Beliau
melarang shalat setelah Ashar kecuali saat matahari masih meninggi.” (HR. Abu
Dawud dan Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani) sedangkan dalam riwayat Ahmad
disebutkan,
لَا تُصَلُّوا بَعْدَ الْعَصْرِ، إِلَّا أَنْ تُصَلُّوا وَالشَّمْسُ
مُرْتَفِعَةٌ
“Janganlah kamu
melakukan shalat setelah Ashar kecuali ketika matahari masih meninggi.” (Hadits
ini dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar
Risalah).
Mengqadha
shalat Ied (Hari Raya) yang tertinggal
Dari Ubaidullah
bin Abi Bakr bin Anas bin Malik, ia berkata, “Anas apabila tertinggal shalat
Ied bersama imam, maka ia mengumpulkan keluarganya dan shalat bersama mereka
seperti shalat yang dilakukan imam pada hari raya.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi,
dan dinyatakan hasan lighairih oleh Syaikh M. Bin Umar Bazmul).
Ibnul Mundzir
berkata, “Barang siapa yang tertinggal shalat Ied, maka hendaknya ia shalat dua
rakaat seperti yang dilakukan oleh Imam.”
Imam Bukhari
membuat bab dalam kitab Shahihnya, “Bab ketika ia tertinggal shalat
Ied, ia kerjakan shalat dua rakaat.”
Catatan:
Jika tidak
diketahui tibanya hari raya kecuali setelah zawal (waktu Zhuhur), maka shalat
Ied dilakukan esoknya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Umair bin Anas dari
paman-pamannya yang menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
sebuah kafilah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaksi bahwa
mereka melihat hilal (tanggal 1 Syawwal) kemarin, maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyuruh para sahabat berbuka, dan menyuruh mereka menuju tempat
shalat (lapangan) esok paginya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dan
dishahihkan oleh Al Khaththabi dan Al Albani).
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa
'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam, wa akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil
’alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Bughyatul Mutathawwi’ (Dr. M. Bin Umar Bazmul), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar