Belajar Mudah Ilmu Tauhid (13)

بسم الله الرحمن الرحيم

Belajar Mudah Ilmu Tauhid (13)

(Riya’ dan Keinginan Mencari Dunia Dalam Ibadahnya)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang riya’ dan pembahasan tentang keinginan mencari dunia dalam ibadahnya yang kami terjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar karya Syaikh Abdullah Al Huwail, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin,
Ta’rif (definisi) Riya
Riya’ secara bahasa artinya menampakkan sesuatu kepada orang lain agar dilihatnya. Adapun secara syara’, Riya adalah menampakkan ketaatan kepada orang lain agar dilihat mereka dan dipujinya.
Hukum Riya
Pertama, riya yang ringan. Hukumnya adalah syirk asghar (kecil).
Kedua, jika semua amalnya atau sebagian besar amalnya adalah riya. Hukumnya adalah syirk akbar (besar), dan hal ini tidak mungkin muncul dari seorang mukmin, karena ia merupakan ciri khas orang-orang munafik.
Bahaya Riya
1.     Sebagai syirk asghar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ " فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ: " الرِّيَاءُ،
“Sesuatu yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirk asghar.” Lalu Beliau ditanya tentangnya, maka Beliau menjawab, “Yaitu Riya.” (HR. Ahmad, hadits ini dinyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
2.     Allah tidak mengampuni dosa itu jika pelakunya tidak bertobat darinya.
Hal ini berdasarkan firman Alah Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48)
Ayat ini umum mencakup syirk akbar dan syirk asghar.
3.     Menghapus amal yang tercampur olehnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah Ta’ala berfirman, “Aku adalah Tuhan yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang ia adakan sekutu padanya di samping-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim)
4.     Syirk kecil lebih berbahaya daripada fitnah Al Masih Ad Dajjal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ " قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: " الشِّرْكُ الْخَفِيُّ: يَقُومُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ الرَّجُلٍ
“Maukah kamu aku beritahukan sesuatu yang lebih aku takuti daripada Al Masih Ad Dajjal?” Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Yaitu syirk yang tersembunyi; seseorang berdiri shalat, ia perbagus shalatnya karena merasa diperhatikan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2607).
Ketika amal tercampur riya
Hal ini ada tiga keadaan:
Pertama, jika pendorong asalnya adalah riya kepada manusia. Ini merupakan kesyirkkan dan ibadah yang dilakukan menjadi sia-sia.
Kedua, niatnya karena Allah, namun tiba-tiba muncul riya. Hal ini ada dua keadaan, yaitu:
1.     Ia melawan hawa nafsunya dan tidak terbawa oleh riya serta tidak merasa tenteram olehnya. Maka dalam hal ini riya yang muncul tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.
2.     Ia merasa tenteram oleh riya, ikut bersamanya, dan tidak dilawannya.
Hukum terhadap keadaan yang kedua  adalah:
a.     Jika bagian akhir amalnya tidak didasari (terpisah) dengan yang awalnya, maka bagian awalnya adalah sah, sedangkan bagian yang kemasukan riya adalah sia-sia. Contoh: seseorang bersedekah 100 riyal dalam keadaan ikhlas, lalu dirasakan ada orang lain yang melihatnya, kemudian ia keluarkan sedekah lagi 100 riyal karena riya, maka sedekah yang pertama sah, sedangkan sedekah yang kedua sia-sia.
b.     Jika bagian akhir amalnya didasari (termasuk) dengan bagian awalnya, maka dalam hal ini semua ibadahnya sia-sia. Contoh: seseorang berdiri shalat dua rakaat karena Allah, tiba-tiba muncul riya pada rakaat kedua, ia tidak melawannya, bahkan malah hanyut terbawa oleh riya, maka dalam hal ini shalat tersebut sia-sia.
Ketiga, munculnya perasaan riya setelah selesai ibadah.
Dalam hal ini, perasaan itu tidak berpengaruh apa-apa.
***
Masalah: Bagaimana jika seseorang mendengar ada orang yang memujinya, lalu ia bergembira karenanya? Jawab: Dalam hal ini, sikap bergembiranya itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya, bahkan yang demikian termasuk kabar gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan (sebagaimana dalam riwayat Muslim).
Masalah: Bagaimana jika seseorang meninggalkan sebuah amal karena manusia? Jawab: Meninggalkan sebuah amal karena manusia juga riya.
***
Perbedaan antara riya dan sum’ah
Riya terkait dengan penglihatan, yakni beramal agar dilihat manusia kemudian mereka memujinya.
Tasmi’ (sum’ah) terkait dengan pendengaran, yakni beramal agar didengar manusia kemudian mereka memujinya.
Obat penyakit riya
1.     Mengingat keutamaan ikhlas.
2.     Mengingat bahayanya riya dan bahwa ia menghapuskan amal.
3.     Mengingat akhirat.
4.     Mengetahui, bahwa manusia tidak berkuasa memberikan manfaat dan menghindarkan bahaya.
5.     Berdoa, misalnya dengan berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً أَعْلَمُهُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُهُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu sedangkan aku mengetahui, dan aku meminta ampun kepada-Mu terhadap sesuatu yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad).
Kesimpulan amal ketika bercampur riya
Amal jika bercampur riya ada tiga keadaan, yaitu:
1.     Jika pendorong asalnya adalah riya karena manusia, maka hukumnya syirk dan ibadahnya sia-sia.
2.     Niat awalnya karena Allah, lalu tiba-tiba muncul riya, maka dalam hal ini ada dua keadaan:
a.     Ia melawan hawa nafsunya dan tidak hanyut terbawa oleh riya
b.     Ia merasa tenteram oleh riya, hanyut terbawa oleh riya, dan tidak dilawannya. Dalam hal ini ada dua keadaan:
Pertama, jika ibadah tersebut bagian yang akhirnya terpisah dengan bagian awalnya, maka yang awalnya sah, sedangkan amal yang kemasukan riya sia-sia.
Kedua, jika ibadah itu bagian akhir dengan bagian awalnya sama (tidak terpisah), maka  ibadah itu sia-sia semuanya.
Keinginan mencari dunia dalam ibadahnya
Maksud pembahasan ini adalah seseorang melakukan amalan yang murni ibadah, namun dengan tujuan memperoleh keuntungan duniawi secara langsung. Contoh: seorang yang berhaji agar memperoleh harta, seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, seorang yang menjadi muazin agar memperoleh gaji, dan seorang yang menuntut ilmu syar’i untuk memperoleh ijazah dan kerja saja.
Hukum masalah di atas
Hukumnya terbagi dua, yaitu:
1.     Jika sebagian besar amalnya atau seluruhnya tujuannya adalah dunia.
      Hal ini adalah syirk akbar (besar).
2.     Jika pada amal tertentu saja ia berkeinginan memperoleh dunia.
      Hal ini adalah syirk asghar (kecil) yang hanya menghapuskan amal itu saja.
Ancaman berkeinginan mencari dunia dalam ibadahnya
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ-- أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.--Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Barang siapa yang mencari ilmu yang seharusnya dicari karena mengharap keridhaan Allah Azza wa Jalla, tetapi ia tidak mencarinya melainkan untuk memperoleh perhiasan dunia, maka dia tidak akan memperoleh wanginya surga pada hari Kiamat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Diterjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar oleh Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger