بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum
Salaf dan Kesungguhan Mereka Dalam Beribadah Kepada Allah Azza wa Jalla
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh kesungguhan kaum
Salaf dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla yang kami ambil dari kitab Aina
Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil,
semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum
salaf dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla
Dari Ashim Al
Ahwal, dari Abu Utsman An Nahdiy, ia berkata, “Aku melihat Abu Dzar
membungkukkan badannya di atas kendaraannya sambil menghadap ke arah terbitnya
matahari. Aku mengira ia sedang tidur, maka aku mendekatinya dan bertanya,
“Apakah engkau sedang tidur wahai Abu Dzar?” Ia menjawab, “Tidak, tadi aku
sedang shalat.” (Siyar A’lamin Nubala 2/78)
Ada yang berkata
kepada Al Ahnaf, “Engkau sudah tua, dan puasa itu dapat melemahkan tubuhmu.” Al
Ahnaf menjawab, “Sesungguhnya aku melakukannya sebagai bekal untuk perjalanan
yang panjang.”
Ada yang
mengomentari kebiasaan beliau, “Kebanyakan shalat yang dilakukan Al Ahnaf
adalah di malam hari. Terkadang Ahnaf meletakkan jarinya ke atas pelita lalu
berkata, “Rasakanlah.” Ia berkata kepada dirinya, “Wahai Ahnaf! Apa yang
membuatmu melakukan perbuatan itu pada hari ini.” (Siyar A’lamin Nubala
4/91, 92)
Dari Sa’id Al
Jurairiy, dari Abul Alaa, dari seorang laki-laki, ia berkata, “Aku pernah
mendatangi Tamim Ad Dariy, lalu ia menyampaikan hadits kepada kami.” Kemudian
aku bertanya, “Berapa juz yang telah engkau baca?” Tamim pun berkata, “Mungkin
kalian termasuk orang yang membaca Al Qur’an tadi malam lalu pada pagi harinya
berkata, “Aku telah mengkhatamkan Al Qur’an pada malam ini.” Demi Allah yang
jiwaku di Tangan-Nya, shalat sunah tiga rakaat lebih aku sukai daripada membaca
Al Qur’an semalaman lalu pada pagi harinya memberitahukan ibadahnya itu.” Karena
ucapan ini, aku (perawi kisah ini) menjadi tersinggung dan berkata, “Demi
Allah, kalian memang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau ada seseorang di antara kalian yang masih hidup, memang sebaiknya diam
saja. Karena kalian tidak mengetahui, bahwa apa yang kalian ucapkan itu
menyusahkan orang yang bertanya kepada kalian.” Ketika ia melihat aku
tersinggung, ia pun bersikap lembut dan berkata, “Wahai putera saudaraku,
maukah kamu kuajak bicara lagi? Bagaimana menurutmu, jika aku seorang mukmin
yang kuat, sedangkan engkau seorang mukmin yang lemah, lalu engkau memikul
amalan berat seperti yang aku pikul, tentu engkau tidak akan sanggup. Atau
sebaliknya, engkau adalah seorang mukmin yang kuat, sedangkan aku seorang
mukmin yang lemah, lalu aku memikul amalan berat yang kamu pikul, tentu aku
tidak akan sanggup. Maka seimbangkanlah kekuatan dirimu terhadap perintah agamamu,
dan laksanakanlah perintah agamamu sesuai kesanggupanmu, sehingga engkau dapat
beristiqamah untuk melaksanakan ibadah yang kamu mampu.” (Siyar A’lamin
Nubala 2/446)
Imam Adz Dzahabi
berkata, “Setiap orang yang tidak mengikat dirinya dalam beribadah dan berwirid
dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia akan menyesal, bisa menjadi
rahib namun jalan hidupnya akan berantakan. Ia akan kehilangan banyak kebaikan
karena meninggalkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat
sayang dan belas kasih kepada orang-orang mukmin, padahal Beliau berusaha
memberikan manfaat untuk mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
senantiasa mengajarkan kepada umat amal yang paling utama, menyuruh untuk
meninggalkan hidup membujang dan jalan kependetaan yang tidak dibawa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya Beliau melarang berpuasa setiap hari,
menyambung puasa, shalat malam hampir semalaman suntuk kecuali pada sepuluh
terakhir. Beliau juga melarang membujang bagi orang yang sanggup menikah.
Beliau juga melarang meninggalkan makan daging, serta berbagai perintah dan
larangan lainnya. Seorang Ahli Ibadah yang tidak mengetahui banyak tentang hal
itu mungkin mendapat udzur dan tetap mendapatkan pahala, sedangkan seorang Ahli
Ibadah yang mengetahui sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam namun
malah melampauinya, maka ia berlebihan dan tertipu, karena amal yang paling
dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling konsisten meskipun sedikit. Semoga
Allah mengilhami kami dan Anda untuk dapat mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan baik dan dijauhkan dari hawa nafsu serta sikap menyelisihi
Sunnah.” (Siyar A’lamin Nubala 3/84-85)
Waki’ meriwayatkan
dengan sanadnya yang sampai kepada Thariq bin Syihab dari Salman Al Farisi, ia
berkata, “Apabila malam tiba, maka pada saat itu manusia terbagi menjadi tiga
tingkatan;
1. Ada yang mendapatkan pahala dan tidak
mendapatkan dosa
2. Ada yang mendapatkan dosa dan tidak
mendapatkan pahala
3. Ada pula yang tidak mendapatkan dosa dan
tidak mendapatkan pahala.
Aku (Thariq bin
Syihab) berkata, “Mengapa bisa demikian?”
Salman menjawab,
“Adapun orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa adalah seorang
yang memanfaatkan waktu malamnya ketika manusia lalai. Ia pun berwudhu dan
melakukan shalat. Maka orang ini mendapatkan pahala dan tidak berdosa.
Sedangkan orang yang memanfaatkan waktu malam ketika manusia lalai dengan
berjalan melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka orang ini mendapatkan dosa
dan tidak mendapatkan pahala. Dan orang yang tidur terus hingga pagi hari, maka
orang itu tidak mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa.” (Siyar
A’lamin Nubala 1/549).
Dari Asad bin
Wada’ah, dari Syaddad bin Aus, bahwa apabila ia berbaring hendak tidur, ia
hanya dapat membolak-balikkan badan, dan tidak bisa tidur, lalu ia berkata, “Ya
Allah, sesungguhnya neraka yang membuatku tidak bisa tidur,” maka ia bangun
dan shalat hingga Subuh. (Shifatush Shofwah 1/709).
Dari Asad pula,
bahwa Syaddad bin Aus apabila berada di tempat tidurnya, maka ia seakan-akan
seperti kacang di atas penggorengan, lalu ia berkata, “Ya Allah,
sesungguhnya neraka yang membuatku tidak bisa tidur,” maka ia bangun untuk
shalat.” (Shifatush Shofwah 1/709)
Adz Dzahabi
meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Al Baghawi, dan Al Baghawi
meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibrahim bin Mahdiy, ia berkata,
“Aku mendengar Abul Ahwash berkata, “Seorang puteri tetangga Manshur bin
Mu’tamir berkata, “Wahai ayahku, di manakah kayu yang berdiri tegak di atap
rumah Manshur?” Ia menjawab, “Wahai puteriku! Itulah dia Manshur (kayu yang
dimaksudnya). Ia biasa berdiri tegak untuk shalat malam.” (Siyar A’lamin
Nubala 5/403).
Nu’aim bin Hammad
berkata, “Ibnul Mubarak apabila membaca kitab Ar Riqaq (tentang
tazkiyatunnufus), maka ia seakan-akan seperti banteng atau sapi yang hendak
disembelih karena suara tangisnya. Tidak seorang pun di antara kami yang berani
bertanya kepadanya tentang sesuatu, melainkan Beliau menolaknya.” (Siyar
A’lamin Nubala 8/394)
Ibrahim bin
Muhammad bin Sufyan berkata, “Aku mendengar Ashim bin Isham Al Baihaqi berkata,
“Suatu malam, aku menginap di rumah Ahmad bin Hanbal. Ketika itu, Beliau
mengambil air dan meletakkannya di suatu tempat. Pagi harinya, Beliau melihat
air itu tidak berubah, lalu Beliau berkata, “Subhaanallah! Seorang penuntut
ilmu tidak melakukan ibadah di malam hari.” (Siyar A’lamin Nubala
11/298).
Ishaq bin Ibrahim
berkata, “Aku mendengar Fudhail berkata, “Jika engkau tidak sanggup bangun
malam dan berpuasa di siang hari, maka ketahuilah, kamu adalah orang yang rugi
dan terbelenggu, yaitu dibelenggu oleh dosa-dosamu.” (Shifatush Shofwah
2/238).
Imam Adz Dzahabi
berkata saat mengomentari sebagian pernyataan seorang Shufi yang bernama Ahmad
bin Abul Hawari, “Aku katakan, “Jalan yang paling utama adalah jalan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memakan yang baik-baik serta
mempergunakan syahwat sebatas yang halal tanpa berlebihan. Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para rasul!
Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya
aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al
Mu’minun: 51)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ،
وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي
فَلَيْسَ مِنِّي
“Akan tetapi, aku
berpuasa dan berbuka. Aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang
siapa yang tidak suka kepada Sunnahku, maka ia bukanlah termasuk golonganku.”
(HR. Bukhari-pent)
Beliau tidak
mensyariatkan jalan kependetaan, menelantarkan diri, berpuasa wishal, dan
berpuasa dahr (terus-menerus). Agama Islam adalah mudah, lurus, dan banyak
keringanan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim makan makanan yang baik
ketika sanggup sebagaimana firman Allah Ta’ala,
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ
“Hendaknya orang
yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.”
(QS. Ath Thalaq: 7)
Bahkan wanita
adalah sesuatu yang paling disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian
juga daging, manisan, madu, minuman manis dan dingin, serta wewangian
(kesturi), padahal Beliau adalah manusia yang paling utama dan paling dicintai
Allah Ta’ala.”
Imam Adz Dzahabi
juga berkata, “Seorang Ahli ibadah yang miskin ilmu, ketika ia bersikap zuhud,
membujang, membuat dirinya lapar, meninggalkan daging dan buah-buahan,
mencukupkan diri dengan memakan garam dan makanan ala kadarnya, maka panca
inderanya lemah dan rapuh, mudah dimasuki bisikan-bisikan jiwanya, ia akan
mendengar suara yang timbul dari perutnya karena lapar dan bergadang. Demi
Allah, padahal suara itu tidak ada wujudnya sama sekali. Setelah itu, setan
dengan mudah keluar-masuk ke dalam tubuhnya, sehingga ia merasa dirinya telah
sampai pada tingkatan (tinggi), telah diajak bicara oleh Allah, dan meningkat
derajatnya. Maka setan pun semakin betah dalam dirinya dan menggoda dirinya.
Sehingga membuat dirinya melihat kaum mukmin dengan pandangan meremehkan, ingat
dosa-dosa mereka, dan melihat dirinya sempurna. Bahkan terkadang membuatnya
menganggap bahwa dirinyalah wali; pemilik karomah dan kedudukan. Terkadang ia
juga sampai bimbang dan goyah imannya. Mengasingkan dan melaparkan diri adalah
cikal bakal hidup kependetaan. Dan yang demikian tidak ada sama sekali dalam
syariat kita.”
Adz Dzahabi juga
berkata, “Ya, perilaku yang baik, rutin berdzikr, tidak banyak bergaul dengan
banyak orang, menangisi kesalahan, membaca Al Qur’an dengan tartil disertai
tadabbur, membenci jiwa dan menyalahkannya karena melalaikan hak Allah,
memperbanyak puasa yang disyariatkan, senantiasa shalat tahajjud, bertawadhu
kepada kaum muslim, menyambung tali silaturrahim, bersikap toleran, bermanis
muka, tetap berinfak meskipun miskin, mengatakan yang hak meskipun pahit dengan
cara lemah lembut dan perlahan, beramar ma’ruf, suka memaafkan, berpaling dari
orang-orang yang bodoh, menjaga perbatasan di medan jihad, berjihad melawan
musuh, berhaji ke Baitullah, memakan yang halal dan baik di setiap waktu, dan
banyak beristighfar; maka yang demikian itu adalah pola hidup para wali Allah
dan sifat para pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga
Allah mewafatkan kita dalam keadaan mencintai mereka.” (Siyar A’lamin Nubala
12/89-91).
Wallahu a’lam
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Akhlaqis salaf oleh Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar