Waqaf, Harta Yang Kekal dan Sebagai Investasi Terbaik

بسم الله الرحمن الرحيم

Waqaf, Harta Yang Kekal dan Sebagai Investasi Terbaik

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ »
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakan (orang tua)nya.” (HR. Muslim: 4223)[i]
Para ulama menafsirkan kata ‘sedekah jariyah’ dalam hadits tersebut dengan waqaf. Oleh karenanya, Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani memasukkan hadits di atas ke dalam bab waqaf dalam kitabnya Bulughul Maram
Jabir berkata, “Tidak ada salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kemampuan kecuali melakukan waqaf.”
Imam Syafi’i mengisyaratkan, bahwa waqaf termasuk di antara kekhususan Islam; yang tidak dikenal di zaman Jahiliyah.
Tirmidzi berkata, “Kami tidak mengetahui adanya khilaf antara para sahabat dan para ahli fiqh kalangan terdahulu tentang bolehnya mewaqafkan tanah.”
Al Qurthubi berkata, “Tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang mewaqafkan (dengan membangun) jembatan dan masjid, namun mereka berselisih tentang selain itu.”
Definisi Waqaf
Waqaf artinya menahan asalnya dan menjadikan manfaatnya di jalan Allah.
Maksud ‘asal’ adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan dengan tetap barang/bendanya, seperti rumah, kios, kebun, dsb.
Sedangkan maksud ‘manfaat’ adalah hasil yang muncul dari asal itu, seperti buah, bayarannya, kesempatan menempati, dsb.
Hukum Waqaf
Waqah merupakan ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Dalam Shahihain disebutkan, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan harta di Khaibar yang belum pernah aku dapatkan harta yang lebih berharga daripadanya sebelum itu, apa perintamu kepadaku terhadapnya?” Beliau bersabda,
«إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا»
“Jika engkau menghendaki, engkau tahan asalnya, dan engkau sedekahkan (hasilnya).”
Maka Umar menyedekahkannya dengan tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkannya kepada kaum fakir, kerabat, budak, fisabilillah, ibnussabil, dan tamu pendatang. Pengurusnya tidak mengapa memakan dari (kebun) itu secara  ma’ruf (wajar) dan memberikan kepada orang lain tanpa maksud menyimpannya.
Hukum-Hukum Seputar Waqaf
1.     Disyaratkan seorang pewaqaf harus ja’izut tasharruf (boleh bertindak terhadap hartanya), yakni keadaannya baligh, merdeka, dan cerdas. Oleh karena itu, tidak sah waqaf dari anak kecil, orang dungu, dan budak.
2.     Waqaf menjadi sah dengan dua sebab, yaitu: (a) perkataan yang menunjukkan waqaf, misalnya: saya waqafkan tempat ini, atau saya jadikan tempat ini sebagai masjid. (b) perbuatan yang menunjukkan waqaf berdasarkan uruf (kebiasaan manusia yang berlaku), seperti orang yang menjadikan tempatnya sebagai masjid, lalu ia izinkan kepada manusia secara umum untuk shalat di sana.
3.     Lafaz waqaf ada dua, yaitu: (a) lafaz yang tegas (sharih), misalnya: saya waqafkan, saya tahan (asalnya), saya jadikan hasilnya fisabilillah, dsb. (b) lafaz yang tidak tegas (kinayah), misalnya: saya sedekahkan, saya cegah, atau saya kekalkan. Disebutkan kinayah, karena kalimat tersebut mengandung makna lain di samping waqaf. Oleh karena itu, barang siapa yang mengggunakan lafaz kinayah, maka ia harus menambahkan niat di hati untuk waqaf, atau ia tambahkan salah satu lafaz yang tegas, atau lafaz-lafaz kinayah waqaf lainnya. Contoh menambahkan lafaz yang tegas adalah, saya sedekahkan sesuatu ini sebagai waqaf atau tertahan asalnya, atau saya jadikan sesuatu ini fisabilillah, atau saya jadikan sesuatu ini kekal. Sedangkan contoh menambahkan lafaz yang tidak tegas adalah, “saya sedekahkan sesuatu ini dengan sedekah yang tidak lagi dilakukan jual-beli terghadapnya dan tidak diwarisi.”
4.     Untuk sahnya waqaf ada beberapa syarat, yaitu: (a) pewaqafnya ja’izut tasharruf, (b) sesuatu yang diwaqafkan bisa bermanfaat dengan manfaat yang terus berkelanjutan sedangkan barang/bendanya tetap. Oleh karena itu, tidak sah mewaqafkan sesuatu yang akan habis setelah dimanfaatkan, seperti makanan (c)  barang/benda yang diwaqafkan jelas (telah ditentukan), (d) waqafnya untuk kebaikan karena tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya mewaqafkan masjid, pembangunan jembatan, tempat tinggal, dan kitab-kitab ilmu. Oleh karena itu, tidak sah waqaf untuk tempat ibadah orang kafir, mewaqafkan buku-buku sesat, dsb. (e) waqafnya dimiliki dengan sempurna dan tetap. (f) waqafnya langsung direalisasikan. Oleh karena itu tidak bisa mewaqafkan yang mu’aqqat (ada batas waktu) dan mu’allaq (terkait dengan syarat). Kecuali jika dikaitkan dengan kematian si pewaqaf. Misalnya mengatakan, “Jika aku wafat, maka rumahku menjadi rumah kaum fakir.” Tentunya waqaf yang dikaitakan dengan kematiannya tidak boleh lebih dari 1/3, karena ini dihukumi sebagai wasiat.
5.     Harta yang diwaqafkan adalah harta yang bernilai baik yang tidak bisa dipindahkan, seperti tanah dan rumah, maupun yang bisa dipindahkan, seperti buku, pakaian, hewan, dan senjata. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Adapun Khalid, maka kalian telah menzaliminya. Sesungguhnya dia telah mewaqafkan baju besi dan perlengkapan perangnya di jalan Allah.”
Dan para ulama sepakat bolehnya mewaqafkan tikar/karpet dan lampu di masjid.
6.     Syarat pewaqaf harus diperhatikan jika tidak melanggar syariat. Jika si pewaqaf tidak mensyaratkan apa-apa, maka hak bagi semuanya sama, baik bagi orang kaya maupun orang miskin, laki-laki maupun wanita.
7.     Waqaf terbagi dua, yaitu: khairi (sosial) maupun ahliy (keluarga).
Waqaf khairi maksudnya waqaf yang awalnya untuk kegiataan sosial meskipun sebentar, namun setelahnya tertuju kepada orang tertentu atau hanya beberapa orang. Misalnya seseorang mewaqafkan tanahnya untuk rumah sakit atau madrasah, setelah itu untuk anak-anaknya.
Waqaf Ahli/Dzurriy maksudnya waqaf yang awalnya untuk diri pewaqaf atau orang-orang tertentu, namun akhirnya untuk kegiatan sosial. Misalnya seseorang mewaqafkan sesuatu kepada dirinya, lalu anak-anaknya, kemudian untuk maslahat umum.
8.     Jika seorang pewaqaf tidak menentukan nazhir (pengawas) atau tidak menentukan seseorang, lalu ia meninggal dunia, maka pengawasan diserahkan kepada orang yang tertuju waqaf jika ditentukan. Tetapi jika waqaf kepada suatu pihak seperti masjid-masjid atau beberapa orang yang tidak mungkin dibatasi seperti orang-orang miskin, maka pengawasan diserahkan kepada hakim, ia yang mengurusnya sendiri atau mewakili orang yang mengurusnya.
9.     Seorang pengawas harus bertakwa kepada Allah dan memperbaiki kepengurusannya terhadap waqaf, karena yang demikian adalah amanah.
10. Waqaf termasuk yang mesti terjadi ketika sudah diucapkan, sehingga tidak boleh dibatalkan. Hal ini berdasarkan hadits, “Laa yubaa’u ashluha walaa yuhab walaa yuurats,” (artinya: asalnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi). Tirmidzi berkata, “Inilah yang diamalkan menurut Ahli Ilmu.”
Hal ini, karena waqaf sudah dikekalkan kecuali jika manfaatnya hilang secara keseluruhan, seperti rumah yang diwaqafkan sudah roboh atau tanah yang diwaqafkan sudah mati dan tidak bisa lagi disuburkan. Maka dijuallah waqaf ini, hasilnya dialihkan untuk hal yang sama, karena hal ini lebih dekat kepada tujuan waqaf.
11. Boleh mengganti barang waqf dengan yang lebih baik darinya baik karena dibutuhkan untuk menggantinya maupun karena adanya maslahat yang lebih besar.
12. Jika manfaat waqaf hilang dan tidak mungkin dimanfaatkan lagi, maka boleh dijual lalu dialihkan hasilnya untuk hal yang semisalnya.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Subulussalam (Imam Muhammad bin Ismail Ash Shon’ani), Mulakhkhash Fiqhi (Dr. Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar fii Dhauil Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Risalah Fil Fiqhil Muyassar (Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dan lain-lain.


[i] Hadits ini menunjukkan, bahwa pahala setiap amal akan terputus setelah seorang meninggal dunia kecuali sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang mendoakannya, maka tiga hal ini akan terus mengalir pahalanya meskipun seseorang telah wafat, karena hal itu termasuk usahanya. Dalam hadits tersebut juga terdapat dalil, bahwa doa anak untuk orang tuanya setelah mati akan sampai kepadanya, demikian pula selain doa, seperti sedekah, pelunasan hutang, dsb. Di samping tiga hal di atas, ada pula amal lainnya yang akan mengalir kepada seseorang setelah wafatnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di bawah ini,
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا نَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ أَوْ مُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ تَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan sampai kepada seorang mukmin setelah wafatnya adalah ilmu yang disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkanya, mushaf Al Qur'an yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnussabil yang didirikannya, sungai yang dialirkannya, sedekah yang dikeluarkan dari hartanya di waktu sehat dan sewaktu hidupnya. Semua itu akan sampai kepadanya setelah meninggalnya." (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami' no. 2231).
Imam As Suyuthiy membuatkan sya’ir menyebutkan hal-hal yang bermanfaat bagi seseorang setelah meninggalnya –berdasarkan beberapa hadits lainnya- sebagai berikut:
اِذَا مَاتَ ابْنُ ادَمَ يَجْرِي    عَلَيْهِ مِنْ فِعَالٍ غَيْرِ عَشْرِ
عُلُوْمٍ بَثَّهَا وَدُعَاءِ نَجْلٍ     وَغَرْسِ النَّخْلِ وَالصَّدَقَاتُ تَجْرِي
وَرَاثَةِ مُصْحَفٍ وَرِبَاطُ ثَغْرٍ   وَحَفْرِ الْبِئْرِ أَوْ إِجْرَاءِ نَهْرِ
وَبَيْتٍ لْلْغَرِيْبِ بَنَاهُ يَأْوِى    إلَِيْهِ أَوْ بِنَاءِ مَحَلِّ ذِكْرِ
Apabila cucu Adam meninggal, maka mengalirlah kepadanya sepuluh perkara;,
Ilmu yang disebarkannya, doa anak saleh, pohon kurma yang ditanamnya serta sedekahnya yang mengalir,
Mushaf yang diwariskan dan menjaga perbatasan,
Menggali sumur, mengalirkan sungai, rumah untuk musafir yang dibangunnya atau membangun tempat ibadah.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger