بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum
Salaf dan Kefakihan mereka Terhadap Agama
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum
Salaf dalam kefakihan mereka terhadap agama yang kami ambil dari kitab Aina
Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil dan
lainnya, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum
salaf dalam kefakihan mereka terhadap agama
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sungguh, aku
bersumpah dengan nama Allah meskipun isinya dusta lebih aku sukai daripada aku
bersumpah dengan nama selain-Nya meskipun isinya benar.”
Ibnu Uyaynah
berkata, “Amr bin ‘Ash berkata, “Orang yang berakal bukanlah orang yang
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi orang yang berakal adalah
orang yang mengetahui mana yang lebih baik di antara dua keburukan.” (Siyar
A’lamin Nubala 3/74)
Dari Nu’aim, telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Ja’far bin Salm, telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Al Abar, telah menceritakan kepada kami Manshur bin Abi Muzahim,
telah menceritakan kepada kami Anbasah Al Khats’ami –salah seorang yang saleh-,
aku mendengar Ja’far bin Muhammad berkata, “Jauhilah oleh kalian pertengkaran
dalam agama, karena yang demikian dapat menyibukkan hati dan mewarisi
kemunafikan.” (Siyar A’lamin Nubala 6/264)
Al Hafizh Ibnu
Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Ini kutulis melalui hapalanku,
sedangkan catatan aslinya telah hilang dariku, yaitu bahwa Abdullah Al Umari
seorang ahli ibadah pernah mengirimkan surat kepada Imam Malik agar menyendiri
dan banyak beribadah. Lalu Imam Malik membalas suratnya dengan mengatakan,
“Sesungguhnya Allah membagikan amal sebagaimana Dia membagikan rezeki. Betapa
banyak seseorang yang dibukakan pintu hatinya untuk banyak shalat, namun tidak
dibukakan pintu hatinya untuk banyak berpuasa. Ada pula yang dibukakan pintu hatinya untuk banyak bersedekah, namun tidak
dibukakan pintu hatinya untuk banyak berpuasa, sedangkan yang lain dibukakan
pintu hatinya untuk berjihad. Sementara, menyebarkan ilmu termasuk amal
kebajikan yang paling utama. Aku telah ridha dengan pintu hati yang dibukakan
bagiku (menyampaikan ilmu). Aku tidak menganggap kebiasaan ini lebih rendah
daripada kebiasaanmu, namun aku berharap agar masing-masing kita berada di atas
kebaikan.” (Siyar A’lamin Nubala 8/115)
Ibnu Abdil Bar
menyebutkan dalam kitab Al Ilmu miliknya, bahwa Ibnu Wahb berkata,
“Dahulu aku gemar beribadah sebelum gemar menuntut ilmu. Lalu setan menggodaku
sehingga aku berhasrat untuk mengetahui perihal Isa putera Maryam
‘alaihissalam, bagaimana Allah menciptakannya? Dan pertanyaan yang sejenisnya. Aku
pun mengadukan masalah ini kepada seorang syaikh, lalu syaikh itu berkata,
“Wahai Ibnu Wahb!” Aku menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Tuntutlah ilmu.” Maka yang
demikianlah sebab aku menuntut ilmu. (Siyar A’lamin Nubala 9/224).
Ali bin
Muhammad bin Aban Al Qadhi berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya
Zakariya As Saji, telah menceritakan kepada kami Al Muzanniy, ia berkata,
“Kalau ada seorang yang mengeluarkan ganjalan hati dan segala yang mengotori
hatiku tentang perkara tauhid, maka Imam Syafi’i-lah orangnya. Aku pernah pergi
menemui Beliau saat Beliau berada di Masjid Mesir. Ketika aku berlutut di
hadapannya, aku berkata, “Terlintas dalam benakku sebuah persoalan tentang
masalah tauhid yang mengusik hatiku. Aku tahu, tidak ada seorang pun yang memiliki
ilmu seperti yang engkau miliki, maka bagaimana jawabannya menurut ilmu yang
engkau miliki?” Maka Imam Syafi’i marah, lalu ia berkata, “Tahukah kamu di mana
kamu berada?” Aku menjawab, “Tahu.” Imam Syafi’i berkata, “Tempat ini adalah
tempat dimana Allah menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu mendengar, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk menanyakan
hal itu?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, lagi, “Apakah para sahabat
membicarakannya?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau berkata lagi, “Apakah kamu tahu
ada berapa jumlah bintang di langit?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau berkata
lagi, “Bintang yang kamu ketahui jenisnya, waktu terbitnya, waktu terbenamnya,
tahukah kamu dari apa dia diciptakan?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau berkata
lagi, “Ciptaan yang engkau lihat dengan mata kepalamu saja kamu tidak
mengetahuinya, lalu bagaimana mungkin kamu hendak menyoal ilmu Sang Pencipta?”
Selanjutnya Beliau bertanya kepadaku tentang masalah wudhu, lalu aku keliru
menjawabnya. Lalu Beliau membagi masalah itu menjadi empat masalah, tetapi
jawabanku tidak ada yang benar. Beliau pun berkata, “Perkara yang engkau
butuhkan lima kali dalam sehari, engkau
tinggalkan ilmu tentangnya, lalu engkau malah membebani diri dengan menyoal
ilmu Sang Pencipta. Jika terlintas hal itu dalam benakmu, maka kembalilah
kepada Allah, dan kepada firman-Nya,
وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ
إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ- إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Dan
Tuhanmu adalah Tuhan yang Mahaesa; tidak ada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.--Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi...dst.” (Terj. QS. Al
Baqarah: 163-164)
Maka
berdalihlah dengan makhluk untuk mengenal Al Khaliq, dan jangan bebani dirimu
dengan ilmu yang tidak dicapai oleh akalmu.” Al Muzanniy berkata, “Maka aku pun
bertobat darinya.” (Siyar A’lamin Nubala 2/31)
Abul Hasan
Abdul Malik Al Maimuni berkata, “Seseorang berkata kepada Abu Abdillah, “Aku
pernah mengikuti Al Bazzar untuk menasihatinya. Telah sampai berita kepadaku,
bahwa ia menyampaikan suatu hadits dari Al Ahwash dari Abdullah, ia berkata,
“Allah tidaklah menciptakan sesuatu yang lebih agung daripada...dst.” Lalu Abu
Abdillah berkata, “Tidak patut baginya menyampaikan hadits ini pada masa-masa
seperti ini –zaman adanya cobaan-, padahal matan hadits itu berbunyi, “Allah
tidak menciptakan di langit dan di bumi yang lebih agung daripada ayat Al Kursi[i].” Imam Ahmad bin Hanbal
pernah menjelaskan hadits ini ketika didatangi Ahli Bid’ah yang membawakan
hadits ini pada saat Beliau diuji, ia berkata, “Sesungguhnya kata “menciptakan”
itu berlaku untuk langit dan bumi serta yang lainnya, bukan untuk Al Qur’an.”
Adz Dzahabi
berkata, “Demikianlah sepatutnya bagi seorang Ahli Hadits, dia tidak
menyebarkan hadits-hadits yang zhahirnya bisa dipakai pegangan oleh musuh-musuh
Sunnah seperti Jahmiyyah,..., dan Ahli Bid’ah, serta hadits-hadits yang tidak
shahih tentang sifat. Karena engkau tidaklah menyampaikan suatu hadits kepada
segolongan kaum yang tidak dicapai oleh akal mereka melainkan dapat menjadi
fitnah bagi sebagian mereka. Maka janganlah menyembunyikan ilmu dalam artian
yang sesungguhnya. Dan jangan engkau berikan kepada orang-orang bodoh yang akan
merepotkanmu, atau kepada orang-orang yang justru memahaminya dengan pemahaman
yang membahayakan mereka.” (Siyar A’lamin Nubala 10/578).
Dari Al
Marrudzi ia berkata, “Aku pernah membawa Ibrahim Al Hushriy menemui Abu
Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) –ia adalah seorang yang saleh-, lalu ia berkata,
“Sesungguhnya ibuku bermimpi baik tentangmu. Wujud mimpinya begini dan begitu.
Ia menyebut-nyebut tentang surga.” Maka Beliau berkata, “Wahai saudaraku,
sesungguhnya Sahl bin Salamah juga mendengar orang-orang bermimpi baik tentang
dirinya, tapi akhirnya ia keluar menumpahkan darah.” Beliau juga berkata,
“Mimpi itu dapat menggembirakan seorang mukmin, namun jangan sampai membuatnya
terpedaya.” (Siyar A’lamin Nubala 11/227).
Abdul
Wahhab bin Aziz At Tamimi Al Hanbaliy berkata, “Telah mengabarkan kepada kami
Abul Husain Al ‘Atakiy, ia berkata, “Aku mendengar Ibrahim Al Harbiy mengajukan
pertanyaan kepada orang banyak di majlisnya, “Siapakah yang kalian anggap orang
asing di zaman kalian?” Seorang laki-laki menjawab, “Orang asing adalah orang
yang jauh dari kampung halamannya.” Yang lain berkata, “Orang asing adalah
orang yang meninggalkan orang-orang yang dicintainya.” Maka Ibrahim berkata,
“Orang asing di zaman kita adalah orang yang saleh, hidup di tengah-tengah
orang yang saleh. Ketika ia menyuruh kepada yang ma’ruf, maka mereka
menguatkannya, dan ketika ia melarang perbuatan yang munkar, maka mereka
membantunya, dan jika ia butuh sesuatu dari kebutuhan dunia, maka mereka
menyediakan untuknya. Namun ketika ia meninggal dunia, maka mereka meninggalkannya.”
(Siyar A’lamin Nubala 13/362)
Adz Dahabi
pernah menyebutkan tentang biografi khalifah Al Mu’tadhid billah, bahwa Ismail
Al Qadhiy pernah berkata, “Suatu ketika aku pernah masuk rumah, lalu aku diberi
sebuah buku. Aku lihat isinya, ternyata di dalamnya terangkum sejumlah
keganjilan-keganjilan ulama. Aku segera berkomentar, “Penyusun buku ini adalah
seorang zindiq.” Lalu ada yang berkata, “Tetapi bukankah riwayat-riwayatnya
shahih?” Aku menjawab, “Ya. Tetapi orang yang menghalalkan sesuatu yang memabukkan,
ia tidak boleh menghalalkan nikah mut’ah, dan orang yang menghalalkan mut’ah,
tidak boleh menghalalkan nyanyian. Dan tidak ada seorang ulama pun melainkan
punya ketergelinciran, tetapi barang siapa yang mengambil semua ketergelinciran
ulama, maka agamanya akan hilang.” Maka Ismail segera memerintahkan buku itu
agar dibakar.” (Siyar A’lamin Nubala 13/465)
Ibnu
Baththah berkata, “Aku pernah mendengar Al Barbahari berkata, “Majlis yang
diadakan untuk menyebar nasihat akan membuka pintu faedah, sementara majlis
yang diadakan untuk perdebatan akan menutup pintu faedah.” (Siyar A’lamin
Nubala 15/91)
Di antara
ungkapan Ibnul A’rabi adalah ketika menyebutkan biografi Abul Husain An Nuuri
adalah,
“Beliau
(Abul Husain An Nuri) wafat, sedangkan orang-orang membicarakan dirinya.
Padahal jika mereka diam saja, itu lebih baik bagi mereka. Karena itu adalah
hal-hal yang mereka ramalkan dan mereka menyimpang karena sangkaan-sangkaan
itu. Jika mereka demikian, lalu bagaimana sikap orang-orang setelah mereka?”
Ia juga
menuturkan, “Mereka juga sering menyebut-nyebut Al Jam’u, sementara
pengertiannya menurut masing-masing mereka berbeda. Demikian juga dengan
gambaran arti Al Fana’. Mereka sepakat menyebut-nyebut istilah itu,
namun berbeda-beda dalam memahaminya. Sebab, apa yang bisa dipahami dari setiap
ungkapan tidak terbatas, karena ia termasuk terminologi ilmiah.
Ia juga
berkata, “Termasuk pula ilmu ma’rifah. Ilmu tersebut adalah ilmu yang luas
tidak bertepi, demikian pula wujud dan rasanya.”
Beliau
(Ibnul A’rabi) juga dalam ungkapan yang sangat bagus berkata, “Jika engkau
mendengar seseorang menanyakan tentang Al Jam’u atau Al Fana,
atau menjawab tentang Al Jam’u dan Al Fana, maka ketahuilah,
bahwa itu hanya omong kosong, dan berarti dia bukan Ahlinya. Karena Ahli Ilmu
terhadap Al Jam’u dan Al Fana’ tidak bertanya
tentang hal itu. Mereka tahu, bahwa hal itu tidak dapat digambarkan.”
Adz
Dzahabiy berkata, “Demi Allah, benar apa yang Beliau katakan, mereka terlalu
berlebihan dalam segala hal sehingga tenggelam dalam rahasia-rahasia alam
ghaib. Padahal semua klaim mereka hanyalah dugaan dan khayalan. Sementara
segala hal semacam al fana, al mahw, ash shahw, dan as sukr
hanyalah semacam halusinasi dan was-was belaka[ii]. Tidak ada seorang pun,
baik Ash Shiddiq, sahabat, maupun salah seorang imam dari kalangan tabi’in yang
menyebut istilah-istilah itu. Jika engkau hendak menyanggah klaim mereka, maka
mereka akan membencimu sambil mengatakan, “Kamu adalah orang yang terhalang
(dari ilmu).” Jika engkau menerima begitu saja klaim mereka, maka akan goyah
iman yang ada padamu, keadaanmu pun berubah menjadi heran dan kebingungan,
engkau akan memandang para ahli ibadah dengan pandangan kebencian serta
memandang Ahli Al Qur’an dan Ahli Hadits dengan pandangan yang asing sambil
mengatakan, “Kalian adalah orang-orang miskin dan terhalang (dari ilmu).” Laa
haula walaa quwwata illaa billah.
Adz
Dzahabiy juga berkata, “Sesungguhnya hakikat tashawwuf[iii], ibadah, suluk, sair,
serta kecintaan sejati adalah sesuatu yang dinukil dari para sahabat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ridha kepada Allah, tetap bertakwa kepada
Allah, berjihad fi sabilillah, beradab dengan adab syar’i seperti membaca Al
Qur’an dengan tartil disertai tadabbur, shalat malam dengan sikap khasy-yah
(takut kepada Allah) dan khusyu’ kepada-Nya, berpuasa pada waktu tertentu dan
berbuka pada waktu yang lain, memberikan perkara ma’ruf, bersikap itsar
(mendahulukan orang lain), mengajarkan orang-orang awam, bertawadhu kepada kaum
mukmin, dan bersikap tegas kepada orang-orang kafir. Meskipun demikian, hanya Allah yang
membimbing siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Seorang ulama yang
kosong dari sikap tashawwuf[iv] dan beribadah, maka ia
menjadi tidak berisi, sebagaimana seorang yang melakukan tashawwuf[v] namun kosong dari ilmu
tentang As Sunnah, maka ia akan tergelincir dari jalan yang lurus.”
Adz Dzahabi
juga berkomentar ketika menyebutkan biografi Khalifah Abbasiyyah, yaitu Al
Mustanjid billah, “Seorang pemimpin apabila memiliki akal yang cerdas dan agama
yang kuat, maka urusan pemerintahannya akan berlangsung baik. Tetapi jika
kurang cerdas namun agamanya baik, maka kecemburuan agamanya akan mendorongnya
untuk bermusyawarah kepada orang-orang yang kuat pendiriannya, sehingga
urusannya menjadi baik dan kondisinya menjadi lancar. Tetapi, jika agamanya
kurang, namun akalnya cerdas, maka negeri itu dan rakyatnya akan dibuat
sengsara karenanya. Bisa saja akalnya yang cerdas mendorongnya untuk
memperbaiki kerajaannya dan rakyatnya dalam urusan dunia bukan untuk ketakwaan kepada
Allah. Jika agamanya kurang dan akalnya pun kurang cerdas, maka akan banyak
kerusakan dan rakyat pun akan terlantar. Mereka akan menjadi korbannya, kecuali
jika masih ada keberanian, pengaruh, dan kewibawaan, maka kondisinya masih bisa
ditutupi. Tetapi jika seorang yang pengecut, agamanya kurang, miskin gagasan,
dan sewenang-wenang, maka sama saja telah menyiapkan dirinya untuk menerima
bencana. Bisa saja ia dipecat dari tahtanya dan dipenjara jika tidak sampai
dibunuh sehingga hilanglah dunianya dan dosa-dosanya meliputinya. Demi Allah,
ia pun menyesal dengan penyesalan yang tidak berguna lagi. Dan pada saat ini
kita sudah pesimis untuk mendapatkan pemimpin yang lurus dalam segala sisi.
Semoga Allah memudahkan jalan untuk memunculkan pemimpin yang lebih banyak
kebaikannya dan sedikit keburukannya. Siapa lagi yang dapat menganugerakannya
selain Dia? Ya Allah, perbaikilah pemimpin dan rakyatnya, dan sayangilah
hamba-hamba-Mu serta berilah mereka taufiq dan tolonglah pemimpin mereka dan
bantulah dengan taufiq-Mu.” (Siyar A’lamin Nubala 20/418).
Ketika
membicarakan tentang fitnah yang menimpa Waki’ bin Jarrah, Adz Ddzahabi
berkata, “Bencana itu adalah sesuatu yang ganjil, dimana Waki’ terjerumus ke
dalamnya padahal yang ia inginkan adalah kebaikan, akan tetapi ia tidak sanggup
menutup mulut, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
كَفَى بِالْمَرْء
إِثْماً أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seorang dikatakan pendusta, jika menyampaikan setiap
yang ia dengar.” [vi]
Oleh karena
itu, hendaknya seorang hamba bertakwa kepada Tuhannya dan hanya mengkhawatirkan
dosanya sendiri.”
Selanjutnya
Adz Dzahabi menyebutkan fitnah itu.
Ali bin
Khusyram berkata, “Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ismail bin Abi
Khalid, dari Abdullah Al Bahiy, bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq pernah datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat wafat Beliau, lalu ia bersimpuh
dan menciumnya, kemudian ia berkata, “Biarlah bapak dan ibuku menjadi tebusan
bagimu. Alangkah wanginya engkau di masa hidup dan setelah wafat!” Selanjutkan
Al Bahiy berkata, “Beliau ditinggalkan selama sehari-semalam hingga perutnya
membesar dan jari kelingkingnya kaku.”
Ibnu
Khasyram berkata, “Saat Waki’ menyampaikan hadits ini di Mekkah, maka kaum
Quraisy berkumpul dan berniat menyalib Waki’ serta telah menyiapkan kayu untuk
menyalibnya.” Maka Sufyan bin Uyaynah datang dan berkata kepada mereka,
“Bertakwalah kepada Allah! Bertakwalah kepada Allah! Ia adalah Ahli Fiqh
penduduk Irak, putera Ahli Fiqhnya. Sedangkan hadits yang disampaikannya adalah
ma’ruf (tidak munkar).” Sufyan berkata, “Padahal aku belum mendengarnya. Aku
hanya ingin membebaskan Waki’.”
Ali bin
Khasyram berkata, “Aku mendengar hadits dari Waki’ setelah mereka ingin
menyalibnya. Aku terkejut karena sikap cerobohnya. Aku pun diberitahukan, bahwa
Waki’ bermaksud memaparkan alasannya, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di antaranya adalah Umar
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat, maka Allah ingin
memperlihatkan tanda wafatnya Beliau.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad
bin Muhammad bin Ali bin Razin Al Basyani, ia berkata, “Telah menceritakan
kepadaku Ali bin Khasyram.” Dan yang meriwayatkan hadits itu dari Waki’ adalah
Qutaibah bin Sa’id.” [vii]
Imam Adz
Dzahabiy berkata, “Demikianlah ketergelinciran seorang ulama. Apa gunanya Waki’
menyampaikan riwayat yang munkar dan terputus sanadnya ini. Hampir saja
nyawanya melayang karena kekeliruannya ini, sementara orang-orang yang
menggugat dirinya bisa dimaklumi, bahkan bisa mendapatkan pahala, karena mereka
membayangkan kalau sekiranya hadits yang tertolak ini tersebar akan melecehkan
kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepintas yang lalu prediksi
semacam ini bisa saja terjadi.” (Siyar A’lamin Nubala 9/159, 160).
Dari
Zakariya As Saji, ia berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Hakam berkata, “Imam Syafi’i pernah berkata kepadaku, “Wahai Muhammad! Jika ada
seorang yang bertanya kepadamu tentang salah satu persoalan ilmu kalam, maka
janganlah engkau menanggapinya. Karena jika engkau ditanya sehubungan jumlah
diyat (tebusan), lalu engkau menjawab satu dirham atau seperenam dirham, ia
akan menyatakan, “Salah.” Dan jika ia bertanya kepadamu tentang materi ilmu
Kalam, lalu engkau salah menjawab, ia akan menyatakan, “Engkau telah kafir.” (Siyar
A’lamin Nubala 10/28).
Ar Rabi’
berkata, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, “Berdebat dalam masalah agama
dapat mengeraskan hati dan menimbulkan kedengkian.” (Siyar A’lamin Nubala
10/28).
Kefakihan
Imam Ahmad
Adz
Dzahabiy berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Al Musallam bin ‘Allan dan
lainnya seccara tertulis, bahwa Abul Yumn Al Kindiy memberitakan kepada mereka,
dari Abdurrahman bin Muhammad, telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Al
Khatib, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Farj Al Bazzaz, telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Ibrahim bin Masi, telah menceritakan
kepada kami Ja’far bin Syu’aib Asy Syasi, telah menceritakan kepadaku Muhammad
bin Yusuf Asy Syasi, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Umayyah, aku
mendengar Thahir bin Khalf, ia berkata, “Aku mendengar Al Muhtadi billah
Muhammad bin Al Watsiq berkata, “Ayahku apabila hendak membunuh seseorang, maka
ia mengajak kami untuk menyaksikannya, lalu dihadirkanlah seorang yang sudah
tua yang rambutnya disemir dalam keadaan terikat[viii]. Kemudian ayahku
berkata, “Izinkanlah Abu Abdillah dan lawannya –yaitu Ibnu Abi Du’ad- masuk!” Lalu
orang yang sudah tua itu disuruh masuk kemudian berkata, “Assalamu alaika yaa
Amiral Mukminin!” Al Watsiq menjawab, “Semoga Allah tidak memberikan
keselamatan bagimu.” Lelaki tua ini lantas menjawab, “Buruk sekali adab yang
diajarkan gurumu. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ
فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila
kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan
itu (dengan yang serupa).” (Terj. QS. An Nisaa’: 86)
Ibnu Abi
Du’ad berkata, “Orang ini (Imam Ahmad) pandai bersilat lidah.”
Al Watsiq
pun berkata, “Ajaklah ia bicara.”
Ibnu Abi
Du’ad berkata, “Wahai orang tua! Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Lelaki tua
itu menjawab, “Dia tidak bersikap adil kepadaku. Akulah yang seharusnya
bertanya.”
Al Watsiq
berkata, “Bertanyalah.”
Lelaki tua
itu bertanya, “Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Ibnu Abi
Du’ad menjawab, “Ia adalah makhluk.”
Lelaki tua
itu berkata, “Apakah pernyataan ini pernah diketahui Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Al Khulafa Ar Rasyidin, ataukah sebagai sesuatu
yang tidak mereka ketahui?”
Ibnu Abi
Du’ad menjawab, “Sesuatu yang tidak mereka ketahui.”
Lelaki tua
itu berkata, “Subhaanallah! Sesuatu yang tidak diketahui Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam tetapi engkau mengetahui?”
Ibnu Abi
Du’ad pun merasa malu, lalu ia berkata, “Beri aku kesempatan lagi.”
Lelaki itu
berkata, “Pertanyaannya tetap sama (yaitu apakah Abu Bakar, Umar, dan Al
Khufala Ar Rasyidin mengetahuinya?)
Ibnu Abi
Dua’a menjawab, “Ya, mereka mengetahuinya.”
Lelaki itu
berkata, “Mereka mengetahuinya, tetapi (bukankah) mereka tidak mendakwahkan
manusia kepadanya?”
Ibnu Abi Dua’a menjawab, “Ya.”
Lelaki itu
berkata lagi, “Apakah sikap yang mereka lakukan tidak cukup bagimu?”
Ayahku
lantas bangkit lalu masuk ke majlisnya dan berbaring sambil berkata, “Sesuatu
yang tidak diketahui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali dan Al Khulafa Ar Rasyidin, tetapi engkau mengetahuinya?
Subhaanallah! Atau sebagai sesuatu yang mereka ketahui namun mereka tidak
mengajak manusia kepadanya; tidakkah cukup bagimu mengikuti sikap mereka?”
Kemudian Al
Watsiq menyuruh agar ikatan lelaki tua itu dibuka dan agar ia diberi 400 dinar,
serta diizinkan pulang. Sejak saat itu, Ibnu Abi Du’ad dipandang sebelah mata
oleh ayahku, dan ayahku tidak lagi menguji orang lain dengan masalah itu.” (Siyar
A’lamin Nubala 11/312)
Imam Adz
Dzahabi mengisahkan, bahwa sebagian ulama Ahlus Sunnah pernah bersepakat dengan
orang-orang Khawarij untuk memerangi Daulah Bani Ubaidiyyah. Imam Adz Dzahabiy
berkata, “Sebagian ulama dikecam karena ikut berperang bersama Abu Yazid Al
Khariji. Mereka berasalan, ‘Bagaimana kami tidak ikut berperang, sementara kami
mendengar sendiri kekafiran Bani Ubaidiyyah dengan telinga kami? Kami pernah
menghadiri akad nikah yang di dalamnya terdapat Ahlussunnah dan orang-orang
timur (Bani Ubaidiyyah), di sana terdapat Abu Qudha’ah Ad Da’iy. Kemudian
datanglah panitia, seorang tua di antara mereka pun berkata, “Lewat sini wahai
tuanku! Naiklah ke sisi utusan Allah.” Yang dimaksud adalah Abu Qudha’ah,
tetapi tidak ada seorang pun yang berani menyanggah.” (Siyar A’lamin Nubala
15/154)
Seorang
Ahli Fiqh, yaitu Abu Ishaq pernah keluar berperang bersama Abu Yazid, lalu
Beliau berkomentar, “Mereka (orang-orang khawarij) adalah Ahli Kiblat (kaum
muslim), sedangkan mereka (Bani Ubaidiyah) bukan Ahli Kiblat. Mereka adalah
keturunan musuh Allah. Jika kita menang terhadap mereka, maka kita tidak tunduk
di bawah kekuasaan Abu Yazid karena dia seorang Khawarij.” (Siyar A’lamin
Nubala 15/154)
Wallahu a’lam
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Akhlaqis salaf oleh Marwan bin Musa
[i] Hadits ini
disebutkan As Suyuthti dalam Ad Durrul Mantsur (1/332) dan ia
menisbatkannya kepada Abu Ubaid, Ibnu Dharis, Muhammad bin Nashr dari Ibnu
Mas’ud.
[ii] Al Jam’u, Al Fana,
Al Mahw, Ash Shahw, dan as Sukr adalah istilah-istilah kaum Shufi yang tidak dikenal
As Salafush shalih.
[iii] Maksud tashawwuf
menurut Adz Dzahabiy adalah zuhud terhadap dunia dan sungguh-sungguh beribadah.
Kata-kata inilah yang lebih tepat digunakan sebagai ganti kata ‘tashawwuf’.
Karena kata tashawwuf adalah kata yang baru yang tidak dikenal oleh generasi
Islam yang pertama dan utama.
[iv] Lihat footnote no.
3.
[v] Lihat footnote no.
3.
[vi] HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 4177.
[vii] Lihat Al Kamil
oleh Ibnu Addiy: 654.
[viii] Orang ini adalah
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
0 komentar:
Posting Komentar