بسم
الله الرحمن الرحيم
Hukum Meninggalkan Shalat
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang hukum meninggalkan shalat,
semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hukum
meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya
Ketahuilah, para ulama sepakat, bahwa meninggalkan shalat
karena mengingkari kewajibannya adalah sebuah kekafiran dan mengeluarkan dari
Islam.
Hukum
meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya
Adapun jika meninggalkannya namun tetap meyakini
kewajibannya, dimana ia meninggalkannya karena malas atau disibukkan oleh
urusan yang lain yang tidak dipandang udzur secara syariat[i], maka telah ada
hadits-hadits yang menyebut kekafirannya dan wajibnya dibunuh.
Adapun
hadits-hadits yang menyebutkan tentang kekafirannya di antaranya adalah:
Dari Jabir ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
«بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ»
“Batas pemisah antara seseorang dengan kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dari Buraidah, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
«العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
“Perjanjian yang mengikat antara kami dengan mereka adalah
shalat. Barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah kafir.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 4143)
Dari Abdullah bin Syaqiq Al Uqailiy ia berkata, “Para
sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang amalan yang
jika ditinggakan mengakibatkan kafir selain shalat.” (Diriwayatkan oleh
Tirmidzi dan Hakim sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dan dishahihkan oleh Al
Albani)
Muhammad bin Nashr Al Marwaziy berkata, “Aku mendengar
Ishaq berkata, “Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.” Oleh karena itu, pandangan Ahli
Ilmu dari sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa
orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa udzur sampai habis waktunya
adalah kafir.”
Ibnu Hazm berkata, “Telah ada riwayat dari Umar,
Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat yang
lain, bahwa orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja sampai lewat
waktunya adalah kafir dan murtad. Dan kami tidak mengetahui adanya yang
menyelisihi para sahabat itu.” (Disebutkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib
wat Tarhib).
Selanjutnya Ibnu Hazm berkata, “Jamaah dari kalangan
sahabat dan setelah mereka berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat
dengan sengaja sampai habis waktunya. Di antara mereka adalah Umar bin
Khaththab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Mu’adz bin Jabal, Jabir bin
Abdullah, dan Abu Darda radhiyallahu ‘anhum. Sedangkan dari kalangan selain
sahabat, misalnya Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al
Mubarak, An Nakhaiy, Al Hakam bin Utaibah, Ayyub As Sikhtiyani, Abu Dawud Ath
Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lainnya rahimahumullah.
Sedangkan
hadits-hadits yang menyebutkan tentang wajibnya dibunuh adalah,
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ،
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي
دِمَاءُهُمْ وَأَمْوَالُـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى
اللهِ تَعَالىَ
"Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu, maka
darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan hisab
mereka diserahkan kepada Allah Azza wa Jalla." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ummu
Salamah radhiyallahu ’anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
«إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُونَ
وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ،
وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ»
“Sesungguhnya akan diangkat kepada kalian beberapa
pemimpin, lalu kalian akan mengenali dan mengingkari. Barang siapa yang
membencinya, maka ia akan terbebas, dan barang siapa yang mengingkari, maka ia
akan selamat. Tetapi yang ridha dan mengikuti (itulah yang berdosa).”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami
memerangi mereka?”
Beliau menjawab,
«لَا، مَا صَلَّوْا»
“Tidak. Selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan shalat sebagai penghalang untuk memerangi pemimpin yang zalim.
Dari Abu Sa’id ia berkata, “Ali radhiyallahu ‘anhu dari
Yaman pernah mengirimkan sebatang emas kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu membagikannya kepada empat orang, kemudian ada seorang yang
berkata, “Wahai Rasulullah, bertakwalah kepada Allah!” Maka Beliau bersabda,
“Celaka engkau! Bukankah di muka bumi akulah orang yang paling bertakwa kepada
Allah?” Kemudian orang itu pergi, maka Khalid bin Al Walid berkata, “Wahai
Rasulullah, tidakkah aku tebas lehernya?” Beliau menjawab, “Tidak. Mungkin dia
melakukan shalat.” Khalid berkata, “Betapa banyak orang yang berkata di
lisannya yang berbeda dengan yang ada dalam hatinya.” Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلاَ
أَشُقَّ بُطُونَهُمْ»
“Sesungguhnya aku tidak diperintahkan menyelidiki hati
manusia dan membuka isi perut mereka.” (Diringkas dari Shahih Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadits ini, shalat dijadikan penghalang dari halalnya
darah seseorang, maka mafhumnya menunjukkan, bahwa meninggalkan shalat
mengharuskan untuk dibunuh.
Sebagian ulama berdasarkan hadits-hadits di atas memandang,
bahwa zhahir hadits itu menghendaki kafirnya orang yang meninggalkan shalat dan
halal darahnya.
Akan tetapi banyak pula dari kalangan ulama salaf dan
khalaf (mutakhirin) yang berpendapat tidak kafir, tetapi dianggap fasik dan
disuruh bertobat (ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i).
Jika tidak mau tobat, maka dibunuh sebagai hadnya (Hal ini
menurut Syafi’i, Malik, dan lainnya).
Menurut Abu Hanifah, tidak dibunuh, tetapi dita’zir (diberi
sanksi di luar had) dan ditahan sampai ia mau shalat.
Para ulama yang tidak mengkafirkan mentakwil hadits-hadits
yang menyebut kafir tertuju kepada orang yang mengingkarinya atau menganggap
halal ditinggalkan. Mereka juga mencoba memadukan dengan nash-nash yang umum,
seperti firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلاَلاً بَعِيداً
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 116)
Dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
«لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، فَتَعَجَّلَ كُلُّ
نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ، وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا
يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا»
“Setiap Nabi memiliki doa mustajab. Lalu setiap Nabi
meminta disegerakan pengabulan doanya. Adapun aku menyimpan doaku berupa
syafaat bagi umatku pada hari Kiamat. Syafaat itu akan diperoleh insya Allah
bagi orang yang meninggal dunia dengan tidak menyekutukan Allah.” (HR. Ahmad
dan Muslim dari Abu Hurairah).
Tahqiq
Imam Syaukani
Imam Syaukani berkata, “Yang benar, bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu kafir dan dibunuh. Adapun kekafirannya adalah karena
hadits-hadits yang shahih menyebutkan, bahwa penetap syariat (Allah) menamai
orang yang meninggalkan shalat dengan nama itu (kafir), menjadikan shalat
sebagai penghalang antara seseorang dengan nama ini. Oleh karena itu,
meninggalkannya mengendaki bolehnya menyebut nama itu, dan tidak ada satu pun alasan
yang disampaikan para pembantah untuk diikuti, karena kita mengatakan, tidak
mesti sebagian kekufuran itu menghalangi untuk memperoleh ampunan dan syafaat
seperti kufurnya sebagian Ahli Kiblat karena beberapa dosa yang disebut syari’
sebagai kekufuran. Oleh karena itu, tidak ada tempat untuk takwil seperti yang
dilakukan sebagian orang di kubangan yang sempit itu.”
Murid-murid Syaikh Al Albani rahimahumullah
dalam risalah
mereka “Mujmal
Masaa’ilil Iman Al ‘Ilmiyyah” berkata:
-
Orang
yang meninggalkannya –karena mengingkari- maka ia kafir keluar dari Islam, kami
tidak mengetahui adanya perbedaan di antara ulama tentang masalah ini.
Termasuk juga
–yakni sebagai orang yang murtad dan kafir- orang yang hendak dihukum mati,
lalu ia lebih memilih mati daripada mengerjakan shalat.
-
Perbedaan
antara Ahlus sunnah –para pengikut manhaj salaf- terjadi dalam hal orang yang meninggalkan shalat karena malas;
tidak menyangkal dan mengingkarinya, sebagaimana hal ini telah dinukil oleh
lebih dari seorang ahli ilmu, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, ini adalah
riwayat yang masyhur dari imam Ahmad.
-
Orang
yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat secara mutlak, tidaklah
menuduh orang yang menyelisihinya sebagai murji’ah, bahkan hal itu tidak boleh
baginya.
Dan
orang yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas
tidaklah menuduh orang yang menyelisihinya sebagai khawarij, bahkan tidak layak
menuduh begitu.
-
Mereka juga menjelaskan, “Oleh karena itu, perselisihan
tentang (hukum) orang meninggalkan
shalat tentang mana yang benar adalah perselisihan yang diakui di kalangan
Ahlus sunah dan hal itu tidaklah merusak persaudaraan seiman…dst.” (Sebagaimana
disebutkan dalam risalah Mujmal Masaa’ilil Iiman tentang shalat)
Demikian pula, ulama yang mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat berbeda pendapat; apakah saat ia meninggalkan sebagian shalat atau
meninggalkan seluruh shalat. Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa orang
yang meninggalkan sebagian shalat jika ia berazam untuk mengqadha’nya, maka ia
tidak kafir, namun telah melakukan dosa yang sangat besar. Tetapi jika ia
meninggalkan keseluruhannya, maka ia kafir.
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhussunnah (S. Sabiq), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah
Haditsiyyah Mushaghgharah dan Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul
Islam Li abhatsil Qur’ani was Sunnah), Mujmal Masa’ilil Iman
(Murid-murid Syaikh Al Albani), dll.
[i] Ibnul Qayyim berkata, “Orang yang meninggalkan shalat, bisa
karena disibukkan oleh hartanya, kerajaannya, kedudukannya, atau perniagaannya.
Barang sipa yang meninggalkannya karena disibukkan oleh hartanya, maka ia akan
bersama Qarun. Barang siapa yang meninggalkannya karena disibukkan oleh
kerajaannya, maka ia akan bersama Fir’aun. Barang siapa yang meninggalkan
shalat karena disibukkan oleh kedudukan dan jabatannya, maka ia akan bersama
Haman. Dan barang siapa yang meninggalkan shalat karena disibukkan oleh
perniagaan(bisnis)nya, maka ia akan bersama Ubay bin Ka’ab.”
1 komentar:
Assalamualaikum, afwan ust adakah disini kolom untuk tanya jawab, atau bisa tanya jawab fia email ??
Jazakumullah, wassalamualaikum
Posting Komentar