75 Masalah Penting (8)

بسم الله الرحمن الرحيم

75 Masalah Penting (8)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini lanjutan 75 masalah penting yang perlu diketahui seorang muslim yang kami susun dalam bentuk tanya-jawab; semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Pertanyaan keenampuluh:
“Bolehkah menamai anak dengan nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Harits (hamba si Harits), Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah)?”
Jawab, “Tidak boleh. Demikian juga tidak boleh menamai anak dengan Malikul amlaak (penguasa di atas semua penguasa), atau dengan  nama Qaadhil qudhaah (hakimnya para hakim), menamai anak dengan nama yang khusus bagi Allah seperti Ar Rahman, Al Khaliq, Ar Rabb, dan dilarang juga menamai anak dengan nama-nama berhala (seperti Latta, Uzza, Manat, Brahma, Wisnu, Dewa, Dewi dsb).
Pertanyaan keenampuluh satu:
“Benarkah bahwa makhluk yang pertama diciptakan Allah setelah ‘Arsy (singgasana Allah)  adalah nur (cahaya) Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?”
Jawab, “Tidak benar, hadits yang menerangkan demikian adalah maudhu’ (palsu), yang benar adalah bahwa makhluk yang pertama yang Allah ciptakan (setelah ‘Arsy) adalah Al Qalam (pena), lalu Allah Ta’ala menyuruhnya untuk mencatat segala yang akan terjadi hingga hari kiamat sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
Dan perlu diketahui bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebelum menciptakan ‘Arsy dan Qalam sudah memiliki sifat khalq (mencipta).
Pertanyaan keenampuluh dua:
Kita diperintahkan berwalaa’ (cinta, setia, dan mengutamakan) kepada orang-orang mukmin sebagaimana dalam surat Al Maa’idah: 55, lalu bagaimanakah contohnya?”
ü  Jawab, “Contohnya[i] adalah,
ü  Hijrah (pindah) ke negeri Islam dan meninggalkan negeri syirk[ii]. Hijrah seperti ini adalah wajib bagi setiap muslim yang sanggup berhijrah agar ia dapat mengamalkan agamanya secara sempurna, kecuali bagi orang yang lemah (tidak mampu berhijrah) dan bagi orang yang hendak mendakwahkan Islam di sana.
ü  Membantu kaum muslimin dan menolong mereka baik dengan jiwa, harta, maupun lisan dalam hal yang mereka butuhkan baik yang berkaitan dengan dunia maupun agama[iii].
ü  Merasa sakit jika mereka sakit dan bergembira jika mereka bergembira.
ü  Bersikap tulus (nashiihah) kepada mereka, mencintai kebaikan didapatkan mereka, tidak menipu mereka, menghina mereka dan tidak membiarkan mereka dalam kesulitan, serta menjaga darah, harta, dan kehormatan mereka.
ü  Menghormati mereka, memuliakan mereka dan tidak menjelekkan atau mencela martabat mereka[iv].
ü  Bersama mereka dalam keadaan mudah dan susah, lapang maupun sempit[v].
ü  Mengunjungi mereka, senang bertemu mereka dan berkumpul bersama mereka.
ü  Memuliakan hak mereka, oleh karenanya tidak meminang wanita yang sudah dipinang mereka, membeli barang padahal sudah dibeli oleh mereka, dsb.
ü  Menyayangi orang-orang yang lemah di antara mereka dan memuliakan orang yang sudah tua di antara mereka.
ü  Mendoakan dan memintakan ampunan untuk mereka”[vi]
Pertanyaan keenampuluh tiga:
Kita dilarang bersikap wala’ kepada orang-orang kafir sebagaimana di surat Al Ma’idah: 51, lalu bagaimanakah contohnya?”
 Jawab, “Contohnya adalah:
ü  Bertasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir dalam ciri khas (khashaa’ish) mereka. Misalnya mencukur janggut, memanjangkan kumis, dsb.
ü  Tinggal di negeri mereka dan tidak mau pindah ke negeri kaum muslimin. Padahal Allah Ta’ala tidak memberikan ‘udzur untuk tinggal di negeri orang-orang kafir kecuali bagi orang-orang yang lemah yang tidak mampu berhijrah (pindah)[vii], demikian juga bagi orang yang bertujuan dakwah (menyebarkan agama Islam).
ü  Safar ke negeri mereka tanpa ada keperluan[viii].
ü  Membantu mereka mengalahkan kaum muslimin[ix] atau membela mereka.
ü  Meminta bantuan kepada mereka, mempercayakan urusan kepada mereka, dan memberikan mereka (orang-orang kafir) jabatan yang di sana terdapat rahasia kaum muslimin serta menjadikan mereka teman akrab dan sebagai anggota musyawarah yang dimintai pendapatnya[x].
ü  Menggunakan kalender mereka dan meninggalkan kalender kaum muslimin, khususnya kalender yang di sana disebutkan upacara peribadatan mereka seperti kalender masehi.
Para sahabat radhiyallahu 'anhum di zaman Umar radhiyallahu 'anhu ketika hendak membuat kalender, mereka menjauhi kalender orang-orang kafir dan membuat kalender sendiri, mereka awali kalender itu dengan hijrahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (bulan Muharram) untuk menyelisihi orang-orang kafir. Oleh karena itu, hendaknya kita mencari kalender yang menyebutkan kalender hijriah juga, jangan sama sekali tidak ada kalender hijriahnya, karena yang demikian dapat membuat kita lupa terhadap syi'ar-syi'ar agama kita.
ü  Berpartisipasi dengan orang-orang kafir dalam upacara mereka atau membantu mereka mengadakannya, atau bahkan mengucapkan selamat kepada mereka[xi] atau menghadiri acara tersebut.
ü  Membantu mereka atau menjunjung tinggi peradaban mereka serta kagum dengan akhlak dan kepintaran mereka tanpa melihat bobroknya keyakinan mereka[xii]. Hal ini bukan berarti kita dilarang mempelajari dari mereka asbaabul quwwah (hal yang bisa menghasilkan kekuatan) seperti membuat alat-alat canggih, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mempersiapkan kekuatan yang kita sanggupi untuk menghadapi mereka[xiii]. Oleh karena itu, seharusnya kaum muslimin lebih unggul dalam hal ini.
ü  Memberi nama anak-anak dengan nama-nama mereka.
ü  Memintakan ampunan serta rahmat untuk mereka[xiv].
Pertanyaan keenampuluh empat:
 “Dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 8 diterangkan, bahwa kita tidak dilarang berbuat baik dan bersikap adil kepada orang kafir yang tidak memerangi kita, apakah maksudnya kita boleh memberikan walaa’ (rasa cinta dan setia) kepada mereka (orang-orang kafir)?”
Jawab, “Maksud ayat tersebut adalah bahwa kaum kafir mana saja yang tidak memerangi kita, maka kita kaum muslimin boleh membalas sikap mereka dengan berbuat baik dan bersikap adil dalam mu’amalah duniawi, namun tidaklah menunjukkan kita boleh berwalaa’ kepada mereka dengan menaruh rasa cinta kepada mereka lihatlah surat Al Mujaadilah: 22.”
Pertanyaan keenampuluh lima:
 “Berikanlah penjelasan tentang pembagian Al Walaa’ wal Baraa’?”
Jawab, “Ada tiga golongan orang yang kita berikan walaa’ dan baraa’:
Pertama, golongan yang kita berikan wala’ murni yakni mencintai mereka tanpa ada kebencian. Mereka adalah orang-orang mukmin yang terdiri dari para nabi, shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. yang terdepannya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, istrinya, dan para sahabatnya.
Kedua, golongan yang kita berikan baraa’ murni, yakni membenci dan memusuhi tanpa ada rasa cinta. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, orang-orang murtad, orang-orang munafik, orang-orang atheis, dsb.
Ketiga, golongan yang kita berikan wala’ dari satu sisi dan bara’ dari sisi lain, yakni rasa cinta dan benci berkumpul bersamanya. Mereka adalah orang-orang mukmin yang melakukan maksiat, kita mencintai mereka karena imannya, namun kita membencinya karena maksiat yang dilakukannya. Golongan yang ketiga ini mengharuskan kita melakukan amr ma’ruf dan nahi mungkar kepada mereka; tidak mendiamkan kemungkaran yang mereka lakukan jika kita mampu.
Pertanyaan keenampuluh enam:
“Benarkah orang yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama?”
Jawab: “Sama sekali tidak benar, apakah sama antara tauhid (menyembah hanya kepada Allah saja) dengan syirk (menyembah kepada banyak tuhan), tentu tidak sama. Orang yang mengatakan semua agama sama, lalu ia menyuruh orang lain memilih agama mana saja maka ia telah kafir. Orang yang menyatakan semua agama sama seperti orang yang belum tamyiz yang tidak mampu membedakan mana yang kanan dan mana yang kiri.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa




[i] Contoh-contoh ini diambil dari kutaib Al Walaa’ Wal Baraa’ fil Islam, karya Syaikh Shalih Al Fauzaan.
[ii] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam syarh Tsalaatsatil Ushuul berkata, “Negeri syirk adalah negeri yang di sana terdapat syi’ar-syi’ar kekafiran dan tidak dibolehkan syi’ar Islam (tegak) seperti azan, shalat berjam’ah, shalat ‘Iid, shalat Jum’at yakni syi’ar yang umum (garis besar) lagi mencakup.” (Syarh Tsalatsatil Ushuul: 129)
[iii] Lihat QS. At Taubah: 71
[iv] Lihat QS. Al Hujurat: 11-12
[v] Lihat QS. An Nisaa’: 141
[vi] Lihat QS. Al Hasyr: 10
[vii] Lihat QS. An Nisaa’ : 97-98.
[viii] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Safar ke negeri orang kafir tidak boleh kecuali jika terpenuhi tiga syarat: Pertama, dia memiliki ilmu yang bisa menangkal syubhat (tipudaya orang-orang kafir) yang datang. Kedua, dia memiliki agama yang kuat yang menjaganya dari berbagai syahwat. Ketiga, Butuh (untuk pergi ke sana seperti untuk berobat, mempelajari tekhnologi untuk kemajuan kaum muslimin setelah kembali, berdagang dsb).” Setelah selesai kebutuhannya ia wajib kembali.
[ix] Ini termasuk pembatal-pembatal keislaman.
[x] Lihat QS. Ali Imraan : 118-120.
[xi] Misalnya mengucapkan “Selamat natal”, hal ini adalah haram. Karena mengucapkan selamat natal sama saja ia tidak mengingkari, bahkan menyetujui acara tersebut. Bukankah kita dilarang kepada orang yang meminum minuman keras mengatakan, “Selamat meminum minuman keras.”.
[xii] Lihat QS. Thaahaa : 131
[xiii] Lihat QS. Al Anfaal : 60.
[xiv] Lihat QS. At Taubah : 113.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger