75 Masalah Penting (4)

بسم الله الرحمن الرحيم

75 Masalah Penting (4)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini lanjutan 75 masalah penting yang perlu diketahui seorang muslim yang kami susun dalam bentuk tanya-jawab; semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Pertanyaan keduapuluh enam:
Bagaimanakah jika seseorang beribadah karena Allah namun bercampur riya’?”
Jawab, “Hal ini ada dua macam:
Pertama, Ketika memulai suatu ibadah.
Jika berupa riya’ yang murni, yaitu ia melakukan ibadah itu semata-mata karena selain Allah Ta’ala seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang yang serupa dengan mereka.
Atau dalam ibadahnya itu ia melakukannya karena mengharap wajah Allah juga karena selain-Nya, misalnya di samping mengharap wajah Allah Ta’ala ia pun ingin dipuji oleh manusia atau dekat dengan seseorang.
Dua hal di atas ibadah-Nya adalah batil (tidak diterima oleh Allah Tabaraka wa Ta'aala, karena di dalam keduanya ada syirk, baik syirk-Nya itu penuh (seperti riya’ yang murni), sedikit atau pun banyak (seperti keadaan yang kedua). Dalil tentang ini ada di surat Al Maa’uun: 4-7.
Kedua, Thuru’/kedatangan riya’ di tengah-tengah amal.
Maksudnya di awal ibadahnya ia niatkan ikhlas karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala, namun di tengah-tengahnya disusupi riya’ karena ada sebab, misalnya ketika seseorang shalat Dhuha di tempat yang kosong dengan niat yang ikhlas karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala, lalu ada seseorang yang masuk, sedangkan ia masih dalam keadaan shalat kemudian muncul riya’ ketika masuknya orang itu.
Lalu apakah ibadah orang ini batal (tidak diterima) atau tidak? Jawab, “Mayoritas para ulama di antaranya Ibnul Qayyim, Al ‘Izz bin Abdis Salam dan lainnya berpendapat bahwa ibadah jika kedatangan riya’ tidaklah batal, tetapi pahalanya berkurang sesuai riya’ yang menyusupinya.”
Faedah:
Munculnya riya dalam sifat/praktek ibadah
Ibadah memiliki sifat/cara bagaimana melakukannya. Misalnya, seseorang biasa melakukan shalat sedang-sedang saja yakni tidak panjang dan tidak pendek dan ia niatkan ikhlas karena Allah Ta’ala. Suatu ketika, ia shalat di hadapan orang lain, ia pun memanjangkan shalatnya dan memperbagusnya di luar kebisaaannya, karena merasa dilihat oleh orang lain. Inilah maksud muncul riya’ dalam sifat ibadah. Lalu apakah shalatnya batal (tidak diterima)? Jawab, “Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa amalnya tidak batal, yang batal (tidak diterima) adalah tambahan dari kebisaaannya yaitu panjang dan bagusnya cara ibadahnya, karena ia melakukan hal itu (memperpanjang dan perbagus shalatnya) karena orang lain. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Rajab, As Samarqandiy dan ulama salaf lainnya, wallahu a’lam-.
Pertanyaan keduapuluh tujuh:
“Berikan penjelasan kepada kami tentang kufur?”
Jawab, “Kufur terbagi dua:
1.     Kufur Akbar (besar), yaitu kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam karena pelakunya menolak Islam; tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bentuk penolakannya bisa berupa juhuud & takdzib (mengingkari dan mendustakan), ibaa’ & istikbar (enggan dan sombong), syak (ragu-ragu), I’raadh (berpaling), istihlaal (menganggap halal yang jelas-jelas haram) dan bisa juga berupa nifaq.
2.     Kufur Ashghar (kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam, ia adalah perbuatan-perbuatan yang dinamai syara’ sebagai kufur namun tidak mengeluarkan dari Islam. misalnya kufur terhadap nikmat Allah, memerangi seorang muslim, dsb.
Pertanyaan keduapuluh delapan:
“Berikan penjelasan kepada kami tentang Nifaq?”
Jawab, “Nifaq secara syara’ adalah menampakkan keislaman atau kebaikan di luarnya dan menyembunyikan kekafiran atau keburukan di batinnya. Ia terbagi dua:
1.       Nifaq Akbar (Nifaq I’tiqadiy)
Nifaq Akbar yaitu menampakkan keislaman di luarnya dan menyembunyikan kekafiran di batinnya.  Nifaq ini mengeluarkan seseorang dari Islam, dan Allah mengancam para pelakunya dengan neraka di lapisan paling bawah. Nifak Akbar ini ada beberapa macam bentuknya, ada yang berupa mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada yang berupa mendustakan apa yang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bawa, ada yang berupa membenci Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, membenci apa yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bawa, ada yang berupa senang jika agama Islam tidak berkembang dan ada pula yang berupa tidak suka jika agama Islam menang.
2.       Nifaq Ashghar/kecil (nifaq ‘amali)
Nifaq Ashghar adalah nifak yang kaitannya dengan amalan, di mana amal tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang munafik. Nifak ini tidak mengeluarkan dari Islam, namun bisa menjadi jembatan ke arah Nifaq Akbar. Contoh Nifaq Ashghar adalah jika dipercaya khianat, jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, jika bertengkar melakukan tindakan jahat, tidak mau mengerjakan shalat dengan berjamaah, menunda-nunda shalat hingga hampir habis waktuya, malas beribadah, sangat berat melakukan shalat terlebih shalat Subuh dan 'Isya, dsb.
Pertanyaan keduapuluh sembilan:
“Apakah seorang muslim wajib takut terjatuh ke dalam nifak?”
Jawab, “Ya, para sahabat saja takut terjatuh ke dalam nifak. Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku mendapatkan 30 sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka semua takut jika nifak menimpa dirinya.” Al Hasan berkata, “Tidak ada yang takut terhadapnya (yakni terhadap nifak) kecuali orang mukmin dan tidak ada orang yang merasa aman darinya kecuali orang munafik.” Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutku termasuk golongan mereka (orang-orang munafik)?” Ia menjawab, “Tidak, dan aku tidak akan mentazkiah lagi seorang pun setelahmu.”
Pertanyaan ketigapuluh:
“Bolehkah kita menyatakan bahwa “fulan adalah syahid” secara ta’yin (orang-tertentu)?”
Jawab, “Mengatakan seseorang sebagai syahid sama seperti mengatakan bahwa fulan masuk surga. Madzhab Ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah ini adalah bahwa kita tidak mengatakan, “fulan termasuk penghuni surga” atau “fulan termasuk penghuni neraka” kecuali apabila Allah dan Rasul-Nya mengabarkan bahwa dia termasuk penghuni surga seperti sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang 10 orang yang diberi kabar masuk surga, atau firman Allah bahwa Abu Lahab akan masuk neraka. Kita berharap orang yang tampak mengerjakan kebaikan untuk masuk surga, dan mengkhawatirkan orang yang mengerjakan kemaksiatan akan masuk neraka.”
Dan perlu diketahui bahwa mengatakan seseorang masuk surga atau neraka terbagi dua; ‘Aammah dan khaashshah.
‘Aammah (umum) maksudnya berkaitan dengan sifat, yakni kita meyakini bahwa orang mukmin itu tempatnya di surga, kita juga meyakini bahwa setiap yang kafir adalah di neraka dan sifat lainnya yang dikatakan oleh syara’ sebagai sebab masuknya seseorang ke surga atau neraka. Sedangkan khaashshah (khusus) berkaitan dengan orang-perorang (disebut namanya), misalnya kita katakan bahwa orang ini di surga atau orang ini di neraka, dalam hal ini -sebagaimana sudah dijelaskan di atas- sikap kita adalah diam, syara’(Al Qur’an dan As Sunnah)lah yang berbicara.
Pertanyaan ketigapuluh satu:
“Di manakah Allah?”
Jawab, “Di atas langit, bersemayam di atas ‘Arsy(singgasana)-Nya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak wanita,
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Di mana Allah?” Budak itu menjawab, “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi, “Siapa saya?”  Ia menjawab, “Engkau Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakanlah dia, karena dia seorang mukminah.” (HR. Muslim)
Jawaban wanita ini dibenarkan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pertanyaan ketigapuluh dua:
“Apa sikap yang harus saya lakukan apabila saya mengetahui perintah Allah?”
Jawab, “Kamu wajib mempelajarinya lalu mencintainya, berniat sungguh-sungguh ingin mengamalkannya, mengamalkannya, ikhlas karena Allah dalam mengerjakannya dan sesuai contoh Rasul-Nya, berhati-hati terhadap segala yang dapat membatalkan amalan tersebut (seperti riya’ dan ‘ujub/merasa bangga terhadap diri atau amalnya) serta tetap terus menjalankannya.”
Pertanyaan ketiga puluh tiga:
“Mencakup apa saja ibadah itu?”
Jawab, “Sebelum menyebutkan cakupan ibadah, maka kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan ibadah sehingga kita mengetahui apa saja yang dicakup olehnya. Ibadah adalah sebuah nama untuk semua perbuatan yang dicintai Allah Ta’ala dan diridhai-Nya baik berupa ucapan, amalan yang zhahir (anggota badan) serta yang batin (amalan hati). Dengan demikian, ibadah itu mencakup tiga hal; ada yang terkait dengan hati, ada yang terkait dengan lisan, dan ada yang terkait dengan anggota badan.
Contoh ibadah yang terkait dengan hati adalah berkeyakinan dengan keyakinan yang diperintahkan oleh Islam (beraqidah yang benar), memiliki rasa takut dan harap kepada Allah, tawakkal kepada Allah, cinta kepada Allah, menginginkan kebaikan diperoleh orang lain sebagaimana ia menginginkan kebaikan diperoleh dirinya sendiri, menghayati dzikir lisan, dan mengerjakan perintah Allah lainnya yang terkait dengan hati.
Contoh ibadah yang terkait dengan lisan adalah membaca Al Qur’an, beramr ma’ruf (menyuruh orang mengerjakan perintah Allah) dan bernahy mungkar (mencegah orang berbuat yang dilarang Allah) dengan lisan, mengajak manusia kepada Allah (dakwah), berdzikir baik yang mutlak[i] maupun yang muqayyad, mengucapkan salam dsb.
Sedangkan contoh ibadah yang terkait dengan anggota badan adalah berbakti kepada orang tua, menaati pemerintah dalam hal yang bukan maksiat, menolong orang yang kesusahan, membantu orang lain, dsb.
Ada pula suatu ibadah yang di dalamnya terdapat ibadah hati, lisan, dan anggota badan, misalnya shalat. Atau ibadah yang terdiri dari hati dan lisan seperti dzikir.
Perbuatan biasa juga bisa menjadi ibadah apabila diniatkan untuk ibadah seperti tidur, makan, dan minum untuk memenuhi hak badan dan agar dapat beribadah. Jual-beli dengan mengikuti aturan Islam juga ibadah. Menikah karena mengikuti perintah Allah juga ibadah, mencari rezeki untuk memberi nafkah kepada anak dan istri juga ibadah, karena Allah menyuruh memberi nafkah kepada orang yang kita tanggung. Dari sini kita mengetahui bahwa ibadah itu cakupannya sangat luas.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa


[i] Dzikr yang mutlak adalah dzikr yang yang tidak ditentukan oleh syara’ (Al Qur’an dan As Sunnah) kapan dibacanya, seperti empat ucapan yang dicintai Allah yaitu, “Subhaanallah, al hamdulillah, laailaahaillallah dan Allahu akbar” (sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim), ucapan “Subhaanallah wa bihamdih, subhaanallahil ‘azhiim” (dua ucapan yang ringan di lisan, berat di timbangan dan dicintai Ar Rahman sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim), ucapan “Laailahaillallah” (sebagaimana dalam hadits riwayat Tirmidzi), ucapan “Astaghfirullah wa atuubu Ilaih” (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari), dsb. Tentunya dzikr tersebut dibaca tidak pada saat di mana yang dibaca adalah dzikr muqayyad (dzikr yang ditentukan oleh syara’ kapan dibaca). Hendaknya hal ini diperhatikan, karena banyak orang yang tidak bisa membedakan mana dzikr mutlak dan mana dzikr muqayyad. Anda dapat melihat banyak orang yang memasukkan dzikr mutlak ini ke dalam dzikr muqayyad, misalnya setelah shalat ia membaca, “Laailaahaillallah” berkali-kali dan sebagainya, padahal 'dzikr setelah shalat' tergolong dzikr muqayyad yang ada bacaan khusus dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun biasanya ketika kita beritahukan bahwa hal itu keliru, ia balik berkata “Tetapi ucapan inikan baik.” Kita jawab, “Memang ucapan itu baik, tetapi anda salah menempatkan ucapan itu. Ucapan itu tidak diucapkan pada saat dzikr muqayyad. Sekarang bagaimana menurut Anda jika kita membaca ketika keluar rumah dengan dzikr “Subhaanallah wabihamdih, subhaanallahil ‘azhiim” bukan dengan dzikr muqayyad dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu “Bismillahi tawakkakltu ‘alallahi wa laa haula wa laa quwwata illa billah” (sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi), tentu Anda akan menyalahkan saya karena tidak membaca “Bismillahi tawakkaltu…dst” tetapi malah membaca “Subhaanallah wabihamdih…dst. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger