75 Masalah Penting (3)

بسم الله الرحمن الرحيم

75 Masalah Penting (3)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini lanjutan 75 masalah penting yang perlu diketahui seorang muslim yang kami susun dalam bentuk tanya-jawab; semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Pertanyaan keduapuluh dua:
“Apakah dibenarkan beralasan dengan taqdir ketika melakukan maksiat?”
Jawab, “Tidak benar berhujjah dengan qadar ketika seseorang meninggalkan perintah Allah Ta’ala atau mengerjakan larangan-Nya. Hal ini berdasarkan beberapa alasan berikut:
Pertama, Allah Ta’ala berfirman :
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
Orang-orang yang mempersekutukan Allah akan mengatakan, "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukan--Nya dan kami tidak mengharamkan sesuatu apa pun." Demikian pula orang-orang sebelum mereka telah mendustakan  sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, "Apakah kamu mempunyai suatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. (QS. Al An’aam: 148)
Ayat tersebut menunjukan bahwa alasan tersebut (berhujjah dengan qadar) tidak di atas ilmu, tapi di atas perkiraan/persangkaan belaka.
Kedua, Allah Ta’ala berfirman,
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutus-Nya rasul-rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. An Nisaa’: 165)
Ayat tersebut menunjukan bahwa setelah diutus para rasul maka tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk membantah Allah Azza wa Jalla.
Ketiga, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ) إِلَى قَوْلِهِ ( لِلْعُسْرَى )
“Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditentukan tempatnya di surga dan tempatnya di neraka,” lalu para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa kita tidak perlu diam saja?” Beliau menjawab, “Berbuatlah, karena masing-masing akan dipermudah.” Kemudian Beliau membaca ayat “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,--Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),-- Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Terj. QS. Al Lail: 5-7).” (HR. Bukhari)
Dalam hadits tersebut Beliau menyuruh kita beramal dan melarang diam saja.
Keempat, Allah Ta’ala menisbatkan amalan manusia itu kepada manusia dan menjadikan amalan itu sebagai usahanya, Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
“Pada hari ini masing-masing jiwa akan dibalas dengan apa yang diusahakannya.” (QS. Ghaafir : 17)
Jika seandainya manusia tidak memiliki pilihan dan kemampuan tentu tidak akan dinisbatkan amalan itu kepadanya.
Kelima, Allah Ta’ala telah memerintah dan melarang manusia serta tidak membebani-Nya kecuali sesuai kesanggupannya, kalau sekiranya manusia dipaksa dalam mengerjakan sesuatu tentu ia tidak bisa berbuat apa-apa atau tidak bisa menolaknya, karena orang yang dipaksa tidak mampu melepaskan diri darinya dan hal ini jelas batil. Oleh karena itu, dalam Islam jika terjadi maksiat karena ketidaktahuan, lupa, atau dipaksa, maka ia tidak berdosa.
Keenam, semua manusia dapat merasakan adanya perbedaan antara perbuatan atas dasar pilihannya dengan yang dipaksakan.
Ketujuh, orang yang melakukan maksiat sebelum mengerjakannya tidak tahu apa yang ditakdirkan baginya, dia dengan kemampuannya bisa memilih antara mengerjakan ataupun meninggalkan, lalu mengapa ia malah memilih jalan yang salah dan beralasan dengan qadar yang tidak ia ketahui? Bukankah sepantasnya ia menempuh jalan yang baik lalu berkata, “Inilah yang ditakdirkan kepadaku.”
Kedelapan, qadar Allah Ta’ala itu tersembunyi, tidak diketahui kecuali setelah terjadinya suatu perbuatan, seorang yang berbuat sudah tentu sebelumnya didahului oleh iradahnya(keinginannya), dimana iradahnya tidak didasari oleh pengetahuan terhadap qadar Allah, maka dari sini kita ketahui tidak pantasnya beralasan dengan qadar, karena tidak dibenarkan seseorang beralasan dengan sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kesembilan, bagaimana menurut anda jika ada seseorang yang mengambil harta anda atau mengganggu kehormatan anda lalu ia berkata kepada anda, “Saya melakukan hal ini karena qadar Allah, maka jangan hukum saya,” apakah anda akan menerima alasannya? Tidak, tentu anda tidak akan menerima alasannya.
Kesepuluh, Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi karena keinginannya dengan yang tidak. Yang tidak diinginkannya, misalnya gemetar, tergelincir di jalan dsb. Nah, bukankah ketika ia memilih maksiat berarti terjadi atas keinginannya sendiri.
Pertanyaan keduapuluh tiga:
“Bolehkah menyatakan bahwa diri kita "orang yang mukmin secara mutlak?”
Jawab, “Mengatakan “Saya beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dst” adalah diperintahkan karena Allah subhaanahau wa Ta’ala memerintahkan demikian (lihat QS. Al Baqarah ayat 136), adapun mengatakan “Saya orang mukmin” secara mutlak maka harus disertakan Insya Allah agar tidak termasuk ke dalam tazkiyah (menganggap dirinya suci), karena Allah menyuruh kita agar tidak mentazkiyah diri kita, Dialah yang paling mengetahui siapa diantara hamba-hamba-Nya yang paling bertakwa (lihat QS. An Najm ayat 32).
Pertanyaan keduapuluh empat:
“Dosa apa yang paling besar?”
Jawab, “Dosa yang paling besar adalah syirk (menyekutukan Allah). Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Syirk terbagi dua: Syirk Akbar dan Syirk Asghar.
Syirk Akbar (besar) bisa terjadi dalam uluhiyyah maupun rububiyyah Allah. Syirk dalam Uluhiyyah yaitu dengan mengarahkan ibadah kepada selain Allah Ta’ala, misalnya berdoa dan meminta kepada selain Allah, ruku’ dan sujud kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah, dan mengarahkan segala bentuk penyembahan/ibadah lainnya kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan syirk dalam rububiyyah yaitu menganggap bahwa di samping Allah ada juga yang ikut serta mengurus dan mengatur alam semesta. Syirk dalam uluhiyyah dan rububiyyah termasuk syirk akbar.
Adapun Syirk Asghar (kecil) adalah perbuatan, ucapan, atau niat yang dihukumi oleh agama Islam sebagai Syirk Asghar karena bisa mengarah kepada Syirk Akbar. Contohnya adalah:
ü Bersumpah dengan nama selain Allah.
ü Memakai jimat dengan keyakinan bahwa jimat tersebut sebagai sebab terhindar dari madharrat (namun jika berkeyakinan bahwa jimat itu dengan sendirinya bisa menghindarkan musibah atau mendatangkan manfaat maka menjadi Syirk Akbar).
ü Meyakini bahwa bintang sebagai sebab turunnya hujan. Hal ini adalah Syirk Asghar karena ia telah menganggap sesuatu sebagai sebab tanpa dalil dari syara’, indra, kenyataan, maupun akal. Dan bisa menjadi Syirk Akbar jika ia beranggapan bahwa bintang-bintanglah yang menjadikan hujan turun.
ü Riyaa’ (beribadah agar dipuji dan disanjung manusia). Contohnya adalah seseorang memperbagus shalat ketika ia merasakan sedang dilihat orang lain.
ü Beribadah dengan tujuan mendapatkan keuntungan dunia.
ü Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu sehingga tidak melanjutkan keinginannya). Misalnya, ketika ia mendengar suara burung gagak ia beranggapan bahwa bila ia keluar dari rumah maka ia akan mendapat kesialan sehingga ia pun tidak jadi keluar, dsb. Pelebur dosa thiyarah adalah dengan mengucap,
اَللّهُمَّ لَا خَيْرَ اِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ اِلَّا طَيْرُكَ وَلاَ اِلهَ غَيْرُكَ
 “Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada nasib sial kecuali yang Engkau tentukan. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”(HR. Ahmad)
Termasuk syirk juga adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berikut ketika menafsirkan ayat:
فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Maka janganlah kamu adakan bagi Allah tandingan-tandingan sedangkan kamu mengetahui" (QS. Al Baqarah: 22)
الأنداد: هو الشرك أخفى من دبيب النمل على صفاة سوداء في ظلمة الليل؛ وهو أن تقول: والله، وحياتك يا فلان وحياتي، وتقول: لولا كليبة هذا لأتانا اللصوص، ولولا البط في الدار لأتانا اللصوص، وقول الرجل لصاحبه: ما شاء الله وشئت، وقول الرجل: لولا الله وفلان. لا تجعل فيها فلاناً هذا كله به شرك (رواه ابن أبي حاتم)
"Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirk, di mana ia lebih halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu kamu mengatakan "Demi Allah dan demi hidupmu hai fulan," "Demi hidupku," juga mengatakan, "Jika seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri[i]", dan kata-kata, "Jika seandainya tidak ada angsa di rumah  ini tentu kita kedatangan pencuri", kata-kata seseorang kepada kawannya, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu[ii]", dan pada kata-kata seseorang "Jika seandainya bukan karena Allah dan si fulan (tentu…)", janganlah kamu tambahkan fulan padanya, semua itu syirk."
Demikian juga termasuk syirk:
ü Meyakini ramalan bintang (zodiak),
ü Melakukan pelet, sihir atau santet,
ü Membaca jampi-jampi syirk,
ü Mengatakan bahwa hujan turun karena bintang ini dan itu, padahal hujan turun karena karunia Allah dan rahmat-Nya.
ü Mengatakan “Hanya Allah dan kamu saja harapanku”, “Aku dalam lindungan Allah dan kamu”, “Dengan nama Allah dan nama fulan,” dan kalimat lain yang terkesan menyamakan dengan Allah Ta’ala.
Perbedaan Syirk Akbar dengan Syirk Asghar adalah bahwa Syirk Akbar mengeluarkan seseorang dari Islam, sedangkan Syirk Asghar tidak. Syirk Akbar menghapuskan seluruh amal sedangkan Syirk Asghar tidak, dan Syirk Akbar mengekalkan pelakunya di neraka jika pelakunya meninggal di atas perbuatan itu sedangkan Syirk Asghar tidak.
Pertanyaan ke-25
“Apa do’a agar terhindar dari syirk?”
Jawab: “Do’anya adalah sbb,
اَللّهُمَّ اِنِّيْ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اُشْرِكَ بِكَ وَ اَناَ اَعْلَمُ وَ اَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ اَعْلَمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku dalam keadaan mengetahui, dan aku meminta ampunan-Mu daam hal yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa


[i] Hal ini syirk jika yang dilihat hanya sebab tanpa melihat kepada yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala atau seseorang bersandar kepada sebab dan lupa kepada siapa yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Azza wa Jalla.
Namun, tidak termasuk syirk jika seseorang menyandarkan kepada sesuatu yang memang sebagai sebab berdasarkan dalil syar'i atau hissiy (inderawi) atau pun waqi' (kenyataan), ssebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Abu Thalib, "Jika seandainya bukan karena saya, tentu ia berada di lapisan neraka yang paling bawah."
[ii] Hal ini syirk, karena kata "dan" menunjukkan keikutsertaan pihak lain di samping Allah. Yang diperbolehkan adalah mengganti kata "dan" dengan kata "kemudian" karena kata “kemudian” tidak menunjukkan keikutsertaan, tetapi menunjukkan tartib ma’at taraakhiy (berlangsung setelah beberapa saat) dan menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ وَلَكِنْ قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ
“Janganlah kalian mengatakan “Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan”, tetapi katakanlah “Atas kehendak Allah kemudian kehendak si fulan.” (Shahih, HR. Abu Dawud)

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger