بسم
الله الرحمن الرحيم
Kisah Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu (3)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan kisah Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat
Ali radhiyallahu ‘anhu selama hidupnya selalu bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengambil ilmu Beliau, kezuhudan, dan
akhlak Beliau yang begitu mulia hingga tiba saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam wafat yang membuatnya sangat sedih.
Ali radhiyallahu ‘anhu adalah sebagai ksatria Islam dalam
setiap peperangan, lalu menjadi duta Islam dalam mendakwahkan agama Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke
Yaman untuk menyebarkan dakwah Islam dengan bijak di sana sekaligus sebagai
gubernurnya, sehingga melalui jasanya kabilah Hamdan dan sebagian besar
penduduk Yaman masuk ke dalam Islam.
Ali radhiyallahu ‘anhu terus membela Islam dan berjihad
untuk menegakkan kalimatullah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam hingga
Beliau wafat.
Saat kaum muslimin berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah dan
membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka Ali sebagain tentara yang ikhlas di antara tentara Islam, membantu
khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberikan nasihat dan
menguatkannya. Ali membantu Abu Bakar dalam memerangi orang-orang yang murtad
dan orang-orang yang enggan membayar zakat, hingga jazirah Islam kembali ke
pangkuan Islam untuk yang kedua kalinya.
Abu Bakar dan para sahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum
mengakui kedudukan Ali radhiyallahu ‘anhu, ilmunya, fiqhnya, dan kecerdasannya.
Oleh karena itu, ia termasuk tokoh mereka.
Setelah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin
Khaththab, maka Ali termasuk orang yang dekat dengan Umar dan menguatkan sikap
dan langkahnya dalam memimpin umat. Umar selalu bermusyawarah dengan Ali dalam
semua urusan dan meminta pendapatnya meskipun usianya jauh lebih muda darinya.
Bahkan Umar pernah berkata kepada Ali, “Aku berlindung kepada Allah dari hidup
di tengah-tengah kaum yang engkau tidak ada di sana wahai Abul Hasan.” Oleh
karenanya, Umar tidaklah meninggalkan Madinah, melainkan mengangkat Ali sebagai
wakilnya.
Pada saat Umar bin Khaththab ditikam, dan sebelum ia
wafat, maka Umar menyerahkan urusan khilafah kepada enam orang yang diridhai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, dan Az
Zubair bin Awam radhiyallahu ‘anhum.
Lalu tim tersebut berkumpul dan memilih Utsman bin Affan
sebagai khalifah pengganti Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu,
Ali radhiyallahu ‘anhu adalah orang pertama yang membaiat Utsman dan
mendampingi Utsman membantunya dalam memimpin kaum muslimin.
Pada saat muncul fitnah terhadap Utsman bin Affan,
sehingga orang-orang yang termakan fitnah itu mengepung rumah Utsman bin Affan,
maka Ali bin Abi Thalib bangkit membela Utsman bin Affan, Ali termasuk orang
terdepan yang berusaha melindungi Utsman.
Berulang kali Ali radhiyallahu ‘anhu berusaha mengalihkan
orang-orang yang termakan fitnah itu agar meninggalkan rumah Utsman, tetapi
mereka menolak. Maka Ali meminta izin kepada Utsman untuk memerangi mereka,
namun Utsman menolak karena khawatir akan menumpahkan darah para sahabat besar,
lalu Ali memerintahkan anak-anaknya menjaga rumah Utsman radhiyallahu ‘anhu.
Namun orang-orang yang termakan fitnah ini kemudian memanfaatkan kesempatan
ketika sebagian besar para sahabat pergi haji dan menjaga perbatasan wilayah
Islam, mereka kemudian membunuh Utsman radhiyallahu ‘anhu, sehingga selama tiga
hari kaum muslimin tidak memiliki khalifah.
Setelah kejadian itu, kemudian kaum muslimin berfikir
tentang siapa yang akan memimpin umat setelah Utsman bin Affan, dan ternyata
mereka tidak menemukan orang yang lebih baik daripada Ali radhiyallahu ‘anhu,
lalu mereka menawarkan kekhalifahan kepadanya, namun Ali menolaknya dan
menyuruh mereka memilih Tim Ahli Syura yang lain, ia berkata, “Saya menjadi
pembantu lebih baik daripada menjadi pemimpin.” Namun mereka terus mendesaknya,
hingga akhirnya para sahabat masuk menemui Ali, demikian juga tim Ahli Syura,
lalu mereka membaiatnya, kemudian diikuti oleh para tokoh dari kalangan kaum
Muhajirin dan Anshar. Kemudian di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam Ali dibaiat oleh kaum muslimin yang lain.
Saat menjadi khalifah
Kemudian Ali radhiyallahu ‘anhu mulai menjadi khalifah,
ia bertindak sebagaimana para khalifah sebelumnya yang berjalan di atas
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah
kemelut fitnah yang menimpa umat. Ia mulai mengangkat para gubernurnya dan para
pembantunya dari kalangan kaum muslimin yang saleh, berkompeten, dan berilmu,
seperti Abdullah bin Abbas, Abu Musa Al Asy’ari, dan lain-lain.
Ali radhiyallahu ‘anhu telah memberikan contoh dalam
keadilan. Menurutnya, bahwa harta rakyat adalah amanah yang besar di pundaknya.
Oleh karena itu, ia tidak boleh mengeluarkannya selain untuk hal yang
bermanfaat bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, ia menolak sesuatu untuk
keluarga dan kerabatnya yang membedakan dengan rakyatnya. Ia juga memerintahkan
para gubernurnya agar tidak mengadakan hijab dengan rakyatnya, agar para
gubernur mengetahui keadaan manusia dan kebutuhan mereka.
Ali radhiyallahu ‘anhu berjalan di pasar Kufah, sedangkan
ia sebagain khalifah, lalu ia mengarahkan orang yang tersesat, membantu orang
yang lemah, menemui orang yang tua lalu membantunya dan tidak duduk di kursi
pemerintahannya.
Ali radhiyallahu ‘anhu tidak membedakan dirinya dengan
rakyatnya, dan tidak mengutamakan harta untuk dirinya. Telah diriwayatkan,
bahwa pembantunya yang bernama Qunbur merasakan butuhnya Amirul Mukminin kepada
harta, lalu Qunbur berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku simpan sebagian hadiah
yang dikirim para gubernur dan para pedagang untukmu.” Namun Ali radhiyallahu
‘anhu tidak menerimanya, bahkan ia infakkan untuk kaum muslimin. Kemudian
keduanya berangkat dan masuk ke dalam sebuah kamar yang penuh dengan hadiah.
Saat Ali melihatnya, maka ia marah dengan kerasnya dan berkata kepada
pembantunya, “Apakah engkau hendak memasukkan ke dalam rumahku api yang besar?”
Lalu ia menimbang hadiah itu dan memberikannya kepada kaum fakir sambil
berkata, “Janganlah menipuku wahai dunia, tipulah selainku.”
Suatu ketika Ali radhiyallahu ‘anhu berkhutbah di
tengah-tengah kaum muslimin, lalu ia melihat kedua anaknya, yaitu Al Hasan dan
Al Husain memakai baju yang baru, ia melihat dengan herannya. Belum lagi ia
menyelesaikan khutbahnya, ia segera bertanya, “Baju apa ini?” Keduanya
menjawab, “Hadiah dari salah seorang pedagang Persia.” Ali melihat, bahwa
keduanya lebih mengutamakan hal itu di atas kaum muslimin, padahal tidak ada
hak bagi keduanya dari baju itu, lalu Ali segera mengembalikannya dan
menyerahkannya ke Baitulmal.
Disebutkan pula, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu pernah
membeli pakaian, lalu ia pergi ke pasar, tetapi para pedagang telah mengenali
Ali, akhirnya mereka menolak mengambil pembayaran dari Ali. Tetapi Ali terus
mencari penjual yang tidak kenal dengannya, hingga ia mendatangi seorang pemuda
yang tidak mengenalinya dan membeli pakaian darinya, lalu pulang ke rumahnya,
kemudian para pedagang memberitahukan kepada ayah si pemuda bahwa yang membeli
tadi adalah Ali, maka ayahnya segera mengambil dirham-dirham itu dan pergi
mendatangi Ali dalam keadaan malu dan meminta maaf, tetapi Ali berterima kasih
kepadanya dan menolak mengambil dirham itu.
Demikian pula, meskipun harta Baitul mal banyak, namun
Ali tetap dikenal kezhuhudannya. Oleh karena itu, ia tidak makan selain dari
hasil usaha tangannya sendiri. Pernah suatu ketika, Ali membutuhkan harta untuk
membeli pakaian, lalu ia pergi ke pasar untuk menjual pedangnya, ia pun
berkata, “Siapa yang mau membeli pedang ini? Demi Allah yang membelah biji,
dengan pedang ini aku sering menghilangkan derita dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kalau seandainya saya punya uang senilai satu kain sarung,
tentu saya tidak akan menjualnya.”.
Disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
kehilangan baju besi, lalu ia menemukan baju besi miliknya ada pada seorang
Nasrani, lalu Ali membawa orang itu ke hadapan Qadhi (hakim) bernama Syuraih.
Ali berkata, “Baju besi ini adalah baju besiku, aku tidak menjualnya dan tidak
menghibahkannya.” Lalu Syuraih berkata kepada orang Nasrani itu, “Apa
pendapatmu tentang perkataan Amirul Mukminin?” Orang Nasrani itu menjawab,
“Baju besi itu adalah milikku, dan menurutku Amirul Mukminin bukan seorang
pendusta.” Kemudian Syuraih menoleh kepada Ali dan berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, apakah kamu punya bukti?” Maka Ali tersenyum dan berkata, “Syuraih
benar. Aku tidak punya bukti.” Lalu Syuraih menetapkan bahwa baju besi itu
untuk orang Nasrani, kemudian orang Nasrani itu mengambilnya dan berjalan pergi
beberapa langkah, kemudian ia kembali dan berkata, “Aku bersaksi bahwa ini
adalah hukum (ketetapan) para nabi. Amirul mukminin mendekatkanku kepada
hakimnya untuk meminta keputusan, namun ia yang disalahkan. Aku bersaksi bahwa
tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah
hamba Allah dan utusan-Nya. Baju besi tersebut adalah memang baju besimu wahai
Amirul Mukminin, jatuh darimu ketika engkau berangkat ke Shiffin. Oleh karena
aku telah masuk Islam, maka baju besi itu kembali kepadamu.”
Wafatnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
Tidak lama setelah pengangkatan Ali sebagai khalifah
terjadi fitnah yang besar yang membuat darah yang suci menjadi tumpah.
Ali bin Abi Thalib berselisih dengan sebagian sahabat,
seperti Az Zubair bin Awam, Thalhah bin Ubaidillah, ‘Amr bin ‘Ash, dan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam masalah para pembunuh Utsman bin Affan
radhiyallahu ‘anhu.
Sebagian sahabat itu berpendapat agar dilakukan qishas
segera kepada para pembunuh Utsman, sedangkan Ali dan sebagian besar para
sahabat berpendapat menunda terlebih dahulu agar tenang semua urusan dan
masalah khilafah menjadi normal.
Hal ini membuat terjadi peperangan antara kedua belah
pihak, akan tetapi tidak lama peperangan pun bisa diselesaikan.
Meskipun begitu, musuh-musuh Islam dari kalangan kaum kafir
dan munafik tidak tenang melihat kenyataan seperti ini. Mereka melihat umat ini
telah aman dan damai kembali, dan dakwah Islam kembali disebarkan. Kemudian
berkumpullah tiga orang khawarij yang merasa dendam setelah Amirul Mukminin
memporak-porandakan kesatuan mereka dan menghilangkan fitnah mereka. Mereka
sepakat untuk membunuh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan gubernur Syam, dan ‘Amr bin ‘Ash gubernur Mesir agar umat tidak memiliki
khalifah.
Pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H, para
pembuat makar ini coba merealisasikan rencana jahat tersebut. Hal ini terjadi
ketika Ali radhiyallahu ‘anhu keluar mengajak manusia shalat Subuh, lalu
Ibnu Muljim memukul Ali dengan
pedangnya, lantas Ali terus mengucapkan Laailaahaillallah dan berkata, “Saya
berhasil, demi Allah Tuhan Pemilik Ka’bah.” (Al Khulafa’ur Rasyidun hal.
80-81).
Kemudian Ali dibawa ke rumahnya, lalu ia menyuruh
orang-orang yang membawanya dan orang-orang yang berada di sekitarnya untuk
pergi ke masjid melaksanakan shalat Fajar sebelum habis waktunya. Seusai mereka
melaksanakan shalat, maka mereka segera kembali mendatanginya, sedangkan
sebagian orang memegang Abdurrahman bin Muljim dan menunggu Ali membuka
matanya. Saat Ali melihat pembunuhnya, ia berkata, “Apakah yang membunuhku
adalah engkau. Sudah sekian lama aku berbuat baik kepadamu.”
Lalu Ali memandangi anak-anaknya, dilihatnya mereka
sangat marah terhadap pembunuhnya, maka Ali berkata kepada mereka sedang ia
merasa ajalnya tiba, “Perbaikilah tempatnya dan muliakan tempat kembalinya.
Jika aku masih hidup, maka aku lebih berhak terhadap darahnya baik qishas atau
memaafkan. Jika aku mati, maka pertemukanlah ia denganku, agar aku berdebat
dengannya di hadapan Rabbul ‘alamin. Janganlah kalian membunuh karenaku selain
dia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat aniaya.”
Demikianlah perjalanan ksatria Islam yang agung Ali bin
Abi Thalib, seorang yang dijamin surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ayah dari dua pemimpin pemuda surga; Al Hasan dan Al Husan.
Selamat jalan wahai Ali bin Abi Thalib, semoga Allah
membalas jasamu terhadap Islam dan kaum muslimin. Dan semoga Allah mengumpulkan
kita dan Beliau di surga-Nya, Allahumma amin.
Wallahu a'lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji':
As-habur
Rasul lil Athfaal (Mahmud Al Mishri), Sirah Ibnu Hisyam, Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar