بسم
الله الرحمن الرحيم
Obat Penyakit Hati (Bag. 3)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang obat
penyakit hati, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Amalan
hati yang membantu hati agar tetap sehat
- Menghiasi
diri dengan sikap sabar
Sabar maksudnya
tetap terus menjalankan perintah Allah, tetap terus menjauhi larangan Allah,
dan menerima taqdir Allah yang buruk dengan tidak keluh kesah dan marah-marah
(tidak menerima).
Allah Subhaanahu
wa Ta'ala berfirman,
وَبَشِّرِ
الصَّابِرِينَ -- الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ -- أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ
وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
"Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.--(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun[i]".--Mereka
Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Terj. QS. Al Baqarah: 155-157)
وَمَن يُؤْمِن
بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
"Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. " (QS. At Taghabun: 11)
Tentang firman
Allah Ta'ala, "Dan barang siapa yang beriman kepada Allah,…dst."
Alqamah berkata, "Orang itu adalah yang mendapatkan musibah, ia mengetahui
bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah, maka ia pun ridha dan
menerima."
- Bersyukur
Syukur maksudnya
mengakui nikmat Allah dengan hatinya, menyebut nikmat itu dengan lisannya, dan
menggunakan nikmat itu untuk ketaatan kepada Allah Ta'ala; bukan untuk
kemaksiatan.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ
إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh
mengagumkan urusan orang mukmin. Semua urusannya baik baginya, dan hal itu
hanya ada pada seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat, dia bersyukur,
maka hal itu baik baginya dan apabila dia mendapatkan musibah, ia bersabar; itu
pun baik baginya.” (HR. Muslim)
Pernah
dikatakan kepada Abul Mughirah, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari wahai
Abu Muhammad?" Ia menjawab, "Kami berada di pagi hari tenggelam dalam
nikmat, kurang bersyukur, Dia memperlihatkan cinta-Nya kepada kita padahal Dia
tidak membutuhkan kita, dan kita menampakkan hal-hal yang tidak Dia sukai
padahal kita membutuhkan Dia."
6.
Bertawakkal (Menyerahkan urusan kepada Allah 'Azza wa Jalla)
Allah 'Azza wa
Jalla berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
"Dan barang siapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Terj. QS. Ath Thalaq: 3)
7.
Mencintai Allah 'Azza wa Jalla dan mencintai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
Allah Subhaanahu
wa Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ
آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ
"Adapun orang-orang yang beriman
sangat cinta sekali kepada Allah." (Terj.
QS. Al Baqarah: 165)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidaklah beriman salah seorang di
antara kamu sampai menjadikan aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang
tuanya, dan manusia semuanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Mencintai Allah
Azza wa Jalla adalah sebab hidupnya hati, dan tidak ada kenikmatan dan
kebahagiaan kecuali dengan mencintai-Nya. Jika hati hilang dari kecintaan
kepada Allah, maka sakit yang dialami hati melebihi sakit yang dialami mata
ketika kehilangan penglihatannya, dan melebihi sakitnya telinga ketika
kehilangan pendengarannya.
Bagaimana hati
tidak mencintai Allah? Padahal tidak ada satu pun nikmat yang kita peroleh
melainkan dari-Nya, Dia memberi sebelum hamba meminta, dan memberikan pemberian
melebihi permintaan hamba, Dia mensyukuri amal yang sedikit dan
mengembangkannya menjadi banyak, Dia mengampuni berbagai bentuk ketergelinciran
dan menghapusnya. Semua penduduk langit dan bumi meminta kepada-Nya; setiap
hari Dia dalam kesibukan. Dia tidak pernah bosan diminta, bahkan mencintai
mereka yang suka meminta kepada-Nya serta murka kepada yang tidak mau meminta
kepada-Nya. Bagaimana hati tidak cinta kepada-Nya? Padahal tidak ada yang
mendatangkan kebaikan selain Dia, tidak ada yang mengabulkan doa selain Dia,
Dia memaafkan ketergelinciran, mengampuni kesalahan, menutupi aurat,
menghilangkan derita, menyayangi hamba melebihi sayangnya seorang ibu kepada
anaknya, menolong yang membutuhkan bantuan serta memberikan harapan. Oleh
karena itu, Dia berhak disebut, berhak dipuji, berhak disyukuri, dan berhak
diibadahi.
8.
Ridha dengan takdir Allah
Seorang hamba
dalam menerima takdir Allah yang buruk ada dua tingkatan; tingkatan ridha dan
tingkatan sabar. Tingkatan ridha lebih tinggi daripada sabar, dan sabar wajib
dimiliki setiap mukmin ketika mendapatkan musibah.
Perbedaan antara
sabar dengan ridha adalah, bahwa sabar berarti menahan diri dari sikap
marah dan keluh kesah serta berangan-angan hilangnya derita itu, sedangkan ridha
berarti lapang dadanya menerima musibah itu serta tidak berangan-angan hilangnya
derita itu.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ
عِظَمِ البَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ
فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَط
"Sesungguhnya besarnya pahala
tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum,
maka Dia menguji mereka. Barang siapa ridha, maka dia mendapatkan
keridhaan-Nya, dan barang siapa yang murka, maka dia mendapatkan
kemurkaan-Nya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh As
Suyuthiy dan Al Albani).
9.
Berharap kepada Allah 'Azza wa Jalla
Allah Subhaanahu
wa Ta'ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ
الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah,
"Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Az Zumar: 53)
Yahya bin Mu'adz
berkata, "Termasuk tertipu sekali menurutku adalah orang yang
terus-menerus berbuat dosa namun berharap dimaafkan tanpa ada rasa menyesal.
Berharap dekat dengan Allah namun tidak menjalankan ketaatan, menunggu hasil
tanaman surga dengan menabur benih neraka, menginginkan tempat orang-orang yang
taat dengan berbuat maksiat, menanti balasan tanpa beramal, serta
berangan-angan kepada Allah Ta'ala dengan sikap melampaui batas."
10.
Takut kepada Allah
Rasa takut
adalah cemeti Allah yang dengannya Allah mengarahkan hamba-hamba-Nya kepada
ilmu dan amal agar mereka memperoleh kedekatan dengan Allah Ta'ala.
Allah Azza wa
Jalla berfirman,
أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ
اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
"Maka apakah mereka merasa aman
dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari azab
Allah kecuali orang-orang yang merugi."
(QS. Al A'raaf: 99)
Rasa takut yang
kurang biasanya menjadikan seorang hamba tetap lalai dan berani berbuat
maksiat, sedangkan takut yang berlebihan biasanya menjadikan seseorang berputus
asa.
Abul Qasim Al
Hakim berkata, "Barang siapa yang takut kepada sesuatu, niscaya ia akan
melarikan diri darinya. Tetapi barang siapa yang takut kepada Allah, maka dia
akan melarikan diri kepada Allah."
Yahya bin Mu'adz
berkata, "Tidaklah seorang mukmin mengerjakan keburukan melainkan akan
diiringi oleh dua perisai; takut kepada siksa dan berharap ampunan."
Imam Nawawi
berkata, "Ketahuilah, bahwa yang dipilih untuk seorang hamba ketika
sehatnya adalah memiliki rasa takut dan harap, dimana rasa takut dan harapnya
seimbang. Tetapi ketika sakit, maka dikhususkan sikap berharap."
11.
Tobat
Para ulama
berkata, "Tobat wajib pada setiap dosa. Jika maksiatnya hanya terkait
antara hamba dengan Allah Ta'ala; tidak terkait hak manusia, maka syaratnya
tiga: (1) Berhenti dari maksiat itu, (2) Menyesal karena melakukannya, (3)
Berniat keras untuk tidak mengulangi lagi selamanya. Jika salah satu syarat ini
tidak ada, maka tidak sah tobatnya. Dan
jika maksiatnya terkait dengan hak manusia, maka syaratnya ada empat, yaitu
tiga yang di atas dan (ditambah) dengan melepaskan diri dari hak pemiliknya.
Jika berupa harta atau semisalnya, maka barang itu dikembalikan. Jika berupa
had qadzaf (menuduh) dan semisalnya, maka dia memberikan kesempatan kepadanya
menegakkannya atau meminta maafnya. Dan jika berupa ghibah, maka dia meminta
kepadanya agar dihalalakan." (Dari kitab Riyadhush Shalihin, bab
Taubat).
Allah Subhaanahu
wa Ta'ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dan bertobatlah kamu sekalian
wahai kaum mukmin kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. An Nuur: 31)
Tobat ini ada
awal dan akhirnya. Awalnya adalah kembali kepada Allah dengan menempuh
jalan-Nya yang lurus, sedangkan akhirnya adalah kembali kepada-Nya di akhirat
dan menempuh jalan yang telah dibentangkan-Nya menuju surga-Nya. Barang siapa
yang kembali kepada Allah di dunia ini dengan bertobat, maka dia akan kembali
kepada-Nya di akhirat dengan mendapatkan pahala. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَمَن تَابَ
وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
"Dan orang-orang yang bertobat dan
mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat
yang sebenar-benarnya."
(QS. Al Furqan: 71)
Khatimah
(Penutup)
Telah diriwayatkan
dari Syaqiq Al Balkhiy rahimahullah, bahwa ia pernah berkata kepada Hatim
rahimahullah, "Engkau telah menemaniku beberapa lama, lalu pelajaran apa
yang dapat kamu ambil daripadanya?" Hatim menjawab, "Ada delapan
pelajaran: yaitu,
Pertama, sesungguhnya aku melihat manusia, ternyata
masing-masingnya memiliki sesuatu yang disukainya. Tetapi ketika ia telah
sampai ke kubur, maka sesuatu yang disukainya itu ditinggalkan, maka sekarang
kesukaanku adalah amal baikku agar ia menemaniku di kubur.
Kedua, sesungguhnya aku memperhatikan firman Allah Ta'ala, "Dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya," (Terj. QS. An Nazi'at: 40), maka aku tekan diriku untuk
menolak keinginan hawa nafsu sehingga nafsuku berada di atas ketaatan kepada
Allah Ta'ala.
Ketiga, sesungguhnya aku melihat orang yang memiliki barang yang
berharga, ia selalu menjaganya, lalu aku perhatikan firman Allah Ta'ala, "Apa
yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal."
(Terj. QS. An Nahl: 96). Oleh karena itu, setiap kali aku memiliki barang yang
berharga, maka aku hadapkan kepada-Nya agar barang itu tetap padaku di
sisi-Nya.
Keempat, sesungguhnya aku melihat manusia banyak memperhatikan
harta, keturunan, dan kedudukan, padahal semua itu tidak ada artinya, maka aku
perhatikan firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (Terj.
QS. Al Hujurat: 13), maka aku mengerjakan ketakwaan agar aku menjadi orang yang
mulia di sisi-Nya.
Kelima, aku melihat manusia saling berhasad satu sama lain, maka
aku perhatikan firman Allah Ta'ala, "Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia," (Terj. QS. Az
Zukhruf: 32) maka aku tinggalkan hasad.
Keenam, aku melihat manusia saling bermusuhan, lalu aku perhatikan
firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya setan adalah musuh bagimu, maka
jadikanlah ia musuh." (Terj. QS. Fathir: 6) maka aku meninggalkan
memusuhi mereka dan menjadikan setan saja musuh bagiku.
Ketujuh, aku melihat manusia menghinakan diri mereka untuk mencari
rezeki, lalu aku perhatikan firman Allah Ta'ala, "Dan tidak ada suatu
binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya," (Terj.
QS. Huud: 6), maka aku sibukkan diri dengan harta-Nya dan aku tinggalkan hartaku
di sisi-Nya.
Kedelapan, aku melihat manusia bertawakkal kepada perniagaan, usaha,
dan sehatnya badan mereka, tetapi aku hanya bertawakkal kepada Allah Ta'ala.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Fatawanya menyebutkan, Sufyan bin ‘Uyainah pernah berkata,
كَانَ الْعُلَمَاءُ فِيمَا مَضَى يَكْتُبُ بَعْضُهُمْ إلَى بَعْضٍ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ
Para ulama di masa silam biasa
menuliskan surat kepada yang lainnya dengan untaian kalimat berikut:
Pertama,
مَنْ أَصْلَحَ سَرِيرَتَهُ أَصْلَحَ اللَّهُ عَلَانِيَتَهُ
Barang siapa yang memperbaiki amalan
batinnya, Allah akan memperbaiki amalan lahiriyahnya.
Kedua,
وَمَنْ أَصْلَحَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ أَصْلَحَ اللَّهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ
Barang siapa yang memperbaiki
hubungan antara dirinya dengan Allah, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan
sesama manusia.
Ketiga,
وَمَنْ عَمِلَ لِآخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ أَمْرَ دُنْيَاهُ
Barang siapa yang beramal dengan tujuan
akhirat, Allah akan mencukupkan urusan dunianya.
(Majmu’ Fatawa, Ibnu
Taimiyah, 7/9-10).
Wallahu a'lam, wa
shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qur'anul Karim, Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah
Haditsiyyah Mushaghgharah, Tazkiyatun Nufus (Dr. Ahmad Farid, cet.
Darul Qalam, Beirut), Riyadhush Shalihin (Imam Nawawi, cet. Ar Risalah), dll.
0 komentar:
Posting Komentar