بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Berjamaah (6)
[Hukum-Hukum Seputar Shalat Berjamaah]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat berjamaah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Anjuran bagi imam beralih ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri
setelah salam, kemudian berpindah dari tempat shalatnya
Hal ini berdasarkan hadits Qabishah bin Hulb dari ayahnya, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengimami kami, lalu Beliau
beralih ke kedua sisinya; ke kanan atau ke kiri.” (Hr. Abu Dawud, Ibnu Majah,
dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan. Dan itulah yang diamalkan di kalangan
Ahli Ilmu, yakni ia boleh beralih ke sisi mana saja; ke kanan atau ke kiri.
Keduanya telah sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Telah diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, ia berkata, “Jika keperluannya ada
di sebelah kanan, maka ia beralih ke kanan, dan jika keperluannya ada di
sebelah kiri, maka ia beralih ke kiri.”
Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam jika salam, maka tidak tetap dalam posisinya kecuali seukuran ucapan,
اللَّهُمَّ أَنْتَ
السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَام
Artinya: ”Ya Allah, Engkau
Maha Penyelamat, dari-Mulah keselamatan, Maha banyak kebaikannya Engkau, wahai
Tuhan Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.” (Hr.
Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sepatutnya bagi makmum tidak bangkit sampai imam
berpaling, yakni berpindah dari arah kiblat (menghadap makmum), dan tidak patut
bagi imam duduk setelah salam terus-menerus menghadap kiblat kecuali seukuran
istighfar tiga kali dan mengucapkan, “Allahumma antas salaam wa minkas
salam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam.”
Dalam riwayat Ahmad dan Bukhari dari Ummu Salamah ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam apabila selesai salam, maka kaum wanita bangkit seusai
Beliau mengucapkan salam, namun Beliau tetap duduk sejenak sebelum bangkit.”
Ummu Salamah berkata, “Menurut kami –dan Allah lebih mengetahui-,
bahwa hal itu Beliau lakukan agar kaum wanita lebih dulu meninggalkan tempat
agar tidak berhadapan dengan kaum laki-laki.”
Adapun setelah shalat Maghrib dan Subuh, maka imam tidak beralih
posisi sampai membaca,
لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan
milik-Nya pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Sebanyak sepuluh kali, karena keutamaannya diperoleh ketika
seseorang membaca doa tersebut sebanyak sepuluh kali sebelum melipat kakinya.
Imam lebih tinggi daripada makmum
Makruh hukumnya ketika tempat imam lebih tinggi daripada makmum.
Dari Abu Mas’ud Al Anshariy radhiyallahu anhu ia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang imam berdiri di atas sesuatu,
sedangkan manusia di belakangnya,” yakni lebih rendah.” (Diriwayatkan oleh
Daruquthni, dan didiamkan oleh Al Hafizh dalam At Talkhish).
Dari Hammam bin Harits, bahwa Hudzaifah pernah mengimami manusia
di Mada’in (sebuah kota di Irak) di atas tempat yang tinggi, lalu Abu Mas’ud
memegang gamisnya dan menariknya. Selesai shalat ia berkata, “Bukankah engkau tahu
bahwa mereka dilarang melakukan demikian?” Hudzaifah berkata, “Ya. Aku ingat
hal itu ketika engkau menarikku.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Syafi’i,
Baihaqi, dan dishahihkan oleh Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)
Akan tetapi jika imam memiliki maksud tertentu ketika berada di
tempat yang lebih tinggi daripada makmum, maka tidak makruh. Dari Sahl bin
Sa’ad As Sa’idiy ia berkata, “Aku pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wa
sallam duduk di atas mimbar pada hari pertama disiapkan. Beliau bertakbir di
atasnya, lalu Beliau ruku dan turun sambil mundur ke belakang, kemudian sujud
di bawah. Setelah itu kembali lagi ke tempat semula. Seusai shalat, Beliau
menghadap manusia dan bersabda,
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا
لِتَأْتَمُّوا بِي، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي»
“Wahai manusia! Sessungguhnya aku melakukan hal ini adalah agar
kalian bermakmum kepadaku dan kalian mengetahui shalatku.” (Hr. Ahmad, Bukhari,
dan Muslim)
Sedangkan jika makmum lebih tinggi daripada imam, maka tidak
mengapa.
Hal ini berdasarkan atsar (riwayat sahabat) yang diriwayatkan oleh
Sa’id bin Manshur, Syafi’i, Baihaqi, dan disebutkan secara mu’allaq (tanpa
sanad) oleh Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ia pernah
shalat di atas masjid mengikuti shalatnya imam.
Dari Anas, bahwa ia pernah shalat Jum’at di rumah Abu Nafi di
sebelah kanan masjid di sebuah kamar yang tingginya seukuran tinggi badan manusia,
dimana tempat itu memiliki pintu yang menghadap ke masjid di Basrah. Ketika itu
Anas shalat jumat dan bermakmum kepada imam, dan didiamkan oleh para sahabat.”
(Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam Sunannya).
Imam Syaukani rahimahullah berkata, “Jika makmum berada di
tempat yang tinggi sekali seperti melebihi tiga hasta sehingga makmum tidak
mengetahui tindakan imam, maka hal itu jelas dilarang berdasarkan ijma tanpa
ada perbedaan baik di masjid maupun lainnya. Jika di bawah ukuran itu, maka
hukum asalnya adalah boleh sampai ada dalil yang melarang. Hal ini dikuatkan
pula oleh tindakan Abu Hurairah yang telah disebutkan dan tidak diingkari.”
Makmum mengikuti imam, namun di antara mereka dengan imam ada
penghalang
Dibolehkan makmum mengikuti imam ketika antara mereka dengan imam
ada penghalang, jika makmum mengetahui perpindahan gerakannya baik dengan
melihat atau mendengar.
Imam Bukhari berkata, “Al Hasan berkata, “Tidak mengapa engkau
shalat, ketika antara engkau dengan imam ada sungai.”
Abu Mijlaz berkata, “Ia boleh bermakmum dengan imam meskipun
antara keduanya ada jalan atau dinding jika ia mendengar Takbiratul Ihram.”
Dan telah disebutkan sebelumnya hadits tentang shalatnya Nabi
shallallahu alaihi wa sallam di balik bilik yang diikuti oleh para sahabat.
Namun perlu diketahui, bahwa para ulama berfatwa tentang tidak
sahnya shalat di belakang radio (mengikuti suara imam di radio).
Hukum bermakmum kepada orang yang meninggalkan kewajiban
Sah pengimaman dari orang yang meninggalkan salah satu syarat atau
rukun ketika makmum berjamaah di belakangnya tanpa mengetahui perkara apa yang
ditinggalkan imam. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوا
فَلَكُمْ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ
وَعَلَيْهِمْ»
“Mereka shalat untuk kalian. Jika benar, maka kalian mendapatkan
pahala. Jika mereka salah, maka kalian mendapatkan pahala, sedangkan mereka
mendapatkan dosa.” (Hr. Ahmad dan Bukhari)
Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«الْإِمَامُ ضَامِنٌ، فَإِنْ أَحْسَنَ فَلَهُ
وَلَهُمْ، وَإِنْ أَسَاءَ، يَعْنِي، فَعَلَيْهِ، وَلَا عَلَيْهِمْ»
“Imam itu penjamin. Jika ia berbuat baik, maka ia dan makmumnya
mendapatkan pahala. Jika ia salah, maka ia yang menanggungnya, bukan para
makmum.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Telah sahih pula dari Umar, bahwa ia pernah shalat ketika junub
namun tidak menyadari. Setelah menyadari, maka Umar mengulangi shalat,
sedangkan para makmum tidak.
Mengangkat yang lain menjadi imam
JIka tiba-tiba imam mendapatkan uzur saat sedang shalat, misalnya
dirinya ingat bahwa ia berhadats, maka ia berhak mengangkat di antara makmum
sebagai imam untuk menyempurnakan shalat berjamaah.
Dari Amr bin Maimun ia berkata, “Sesungguhnya aku berdiri di
belakang Abdullah bin Abbas yang berada di belakang Umar saat shalat Subuh
ketika ia mendapatkan musibah. Ketika ia bertakbir, aku mendengar Umar berkata
ketika ditikam, “Ada anjing yang membunuhku atau memakanku,” lalu ia memegang
Abdurrahman bin Auf dan memajukannya ke depan, kemudian ia shalat dengan ringan
mengimami para makmum.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Abu Razin berkata, “Suatu hari Ali pernah shalat, lalu ia mimisan,
kemudian ia pegang tangan seseorang dan memajukkannya ke depan, lalu ia pergi.”
(Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur)
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Jika imam mengangkat
seseorang, maka sesungguhnya Umar dan Ali telah melakukannya. Jika mereka
shalat sendiri-sendiri, maka sesungguhnya Mu’awiyah pernah ditikam, lalu
manusia shalat sendiri-sendiri dan menyempurnakan shalat mereka.”
Imam yang dibenci kaumnya
Ada beberapa hadits yang melarang seorang menjadi imam, namun para
makmum membencinya. Namun perlu diketahui, bahwa yang dijadikan patokan adalah
dari sisi agama atau syar’i.
Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Beliau bersabda,
" ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ
فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ،
وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ
"
“Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat ke atas kepala
mereka meskipun sejengkal (tidak diterima), yaitu: seorang yang mengimami suatu
kaum, namun kaum itu membencinya, seorang istri yang bermalam sedangkan
suaminya marah kepadanya, dan dua orang bersaudara yang bermusuhan.” (Hr. Ibnu
Majah no. 971, isnadnya dishahihkan oleh Al Buwshairi dalam Az Zawaid, dihasankan
oleh Imam Nawawi dalam Al Majmu 4/154, demikian juga oleh Al Iraqi, dan
dihasankan pula oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 792).
Tirmidzi berkata, “Sebagian ulama memakruhkan seseorang mengimami
suatu kaum yang membencinya. Tetapi jika imam bukan seorang yang zalim, maka
dosanya bagi orang yang membencinya.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar