Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حكم تولية الكافر على المسلمين‬‎
Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang hukum memilih pemimpin non muslim, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Sebagian orang -karena kejahilan mereka terhadap agama Islam atau karena adanya niat buruk di hatinya-  berpendapat bolehnya mengangkat non muslim sebagai pemimpin, maka pada kesempatan ini, kami akan sebutkan kepada Anda hukumnya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma (kesepakatan para ulama).
Larangan menyerahkan kepemimpinan kepada non muslim
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا  
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk berkuasa terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisaa: 141)
Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberi kesempatan kepada  orang-orang kafir berkuasa terhadap orang-orang yang beriman secara syariat. Jika terjadi yang demikian, berarti menyalahi syariat.” (Ahkamul Qur’an 1/641)
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ 
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) meninggalkan orang-orang beriman. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisaa’: 144)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ma’idah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil menjadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ma’idah: 57)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman menerangkan sifat orang-orang munafik, dimana mereka memilih non muslim sebagai pemimpin mereka,
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138) الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (139)
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,--(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang beriman. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Padahal sesungguhnya semua kemuliaan kepunyaan Allah.” (QS. An Nisaa: 138-139)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga tidak akan memberikan pertolongan kepada orang yang mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin, Dia berfirman,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (QS. Ali Imran: 28)
Dia juga berfirman, bahwa sikap demikian –memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin- merupakan sikap Bani Israil terdahulu sehingga mereka mendapatkan laknat,
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ (80) وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (81)
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka (Bani Israil) tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya sangat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.--Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi pemimpin-pemimpin, tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Ma’idah: 80-81)
Bahkan, meninggalkan orang-orang yang beriman dan memberikan kepemimpinan kepada orang-orang kafir dapat menimbulkan kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (73)
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfal: 73)
Yang dimaksud dengan apa yang telah diperintahkan Allah itu: keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin dan lebih mengutamakan mereka.
Ayat-ayat yang kami sebutkan di atas merupakan dalil yang jelas akan haramnya memilih dan menyerahkan kepemimpinan kepada non muslim, dan bahwa sikap tersebut merupakan bentuk khianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin.
Adapun dalam hadits, di antaranya adalah hadits Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu ‘anhu berikut:
Dari Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggil kami, lalu kami membait Beliau. Di antara baiat yang Beliau minta dari kami adalah agar kami tetap mendengar dan taat baik ketika semangat maupun tidak, ketika sulit maupun lapang, serta mendahulukan (pimpinan) daripada diri kami, dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, dimana kalian memiliki hujjah dari Allah terhadapnya.” (HR. Muslim)
Al Qadhiy Iyadh berkata, “Kalau tiba-tiba seorang pemimpin melakukan kekufuran (yang nyata) dan merubah syariat, atau melakukan kebid’ahan, maka dirinya lepas dari kekuasaan, gugur menaatinya, dan wajib bagi kaum muslimin menggantinya dan memberhentikannya, serta mengangkat pemimpin yang adil jika memungkinkan. Dan jika hal itu tidak dapat dilakukan kecuali oleh pihak tertentu (yang berwenang), maka pihak itu wajib memberhentikan orang kafir itu.” (Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi 6/314)
Al Qadhiy Iyadh berkata, “Para ulama sepakat, bahwa kepemimpinan tidak sah untuk orang kafir, dan kalau seseorang tiba-tiba menjadi kafir (murtad), maka ia diberhentikan, demikian pula ketika ia tidak mau mengerjakan shalat yang wajib dan mengajaknya.” (Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi 6/315)
Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat semua Ahli Ilmu yang telah dihapal namanya, bahwa orang kafir tidak boleh berkuasa terhadap orang muslim dalam keadaan bagaimana pun.” (Dinukil Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahlidz Dzimmah 2/787).
Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat, bahwa kepemimpinan tidak boleh diberikan kepada wanita, orang kafir, dan anak-anak.” (Maratibul Ijma’ hal. 208).
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, “Sesungguhnya kepemimpinan menjadi lepas karena kafir berdasarkan ijma. Oleh karena itu, setiap muslim wajib menolaknya. Barang siapa yang mampu menolaknya, maka ia akan memperoleh pahala, dan barang siapa yang menjadi penjilat, maka ia memperoleh dosa. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka ia harus berhijrah dari negeri itu.” (Fathul Bari 13/123).
Imam Al Qurthubiy berkata, “Imam (pemimpin) apabila telah diangkat kemudian melakukan kefasikan setelah diserahkan kepemimpinan kepadanya, maka menurut jumhur (mayoritas ulama), kepemimpinannya dibatalkan dan dicabut karena kefasikan yang tampak yang sudah diketahui, karena telah jelas, bahwa imam diangkat untuk menegakkan hudud (hukum), memenuhi hak, menjaga harta anak yatim dan orang yang hilang akal, memperhatikan urusan mereka, dan lain-lain yang telah disebutkan sebelumnya. Kefasikan yang dilakukannya membuatnya terhalang dari melakukan hal-hal tersebut. Kalau kita biarkan dengan keadaannya yang fasik, maka dapat menghilangkan maksud yang karenanya dia diangkat. Tidakkah engkau perhatikan di awal, bahwa tidak bolehnya kepemimpinan kepada orang fasik karena dapat mengakibatkan terbengkalai tujuan diangkatnya. Hal ini sama seperti itu. Adapun yang lain berpendapat, “Tidak diberhentikan kecuali karena kekafiran, atau karena meninggalkan shalat, atau tidak mengajak shalat atau syariat Islam lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit, “dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya,” selanjutnya Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, dimana kalian memiliki hujjah dari Allah terhadapnya.” (Tafsir Al Qurthubi 1/271)
Khatimah
Sesungguhnya syariat Islam ketika mengharamkan non muslim menjadi pemimpin, bukan berarti melecehkan non muslim atau menzalimi mereka, tetapi maksudnya agar terwujud maslahat yang besar bagi bangsa dan negara, agar terlaksana syariat Islam dan terwujudnya keadilan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Hal itu, karena tujuan dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga syariat Allah, meninggikan kalimat-Nya (Tauhid), mengurus dunia, menjaga agama Allah, dan menjaga hak-hak manusia. Imam Al Mawardiy berkata, “Kepemimpinan dibentuk untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang mampu menjalankannya di kalangan umat ini hukumnya wajib.” (Al Ahkam As Sulthaniyyah hal. 5)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Ar Raddul Mubin ala Man Ajaaza walayatal kafir ‘alal Muslimin (Ihab Kamal Ahmad), Hukmu Walayatn Nushairiy ‘alal Muslimin (Ali bin Nayif Asy Syahud), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger