بسم
الله الرحمن الرحيم
Perdebatan Para Ulama Dengan Non Muslim
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut kisah-kisah
pedebatan ulama dengan non muslim, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Perdebatan
Imam Abu Bakar
Al Baqilani dengan Raja Romawi
Imam
Abu Bakar Al Baqilani rahimahullah (338-403 H),
Beliau adalah Al Qadhiy Abu Bakr Muhammad bin Ath
Thayyib bin Muhammad bin Ja’far bin Qasim Al Bashriy. Seorang imam yang
tsiqah, dan menyusun beberapa karya membantah kaum Syiah Rafidhah, Mu’tazilah,
Khawarij, dan Karramiyyah.
Pada tahun 371 H, raja Irak memilihnya untuk berdebat
dengan orang-orang Nasrani di Konstantinopel. Saat raja Romawi mendengar
kedatangannya, maka ia memerintahkan agar tirai pintunya diturunkan sehingga Al
Baqilani terpaksa masuk dengan menundukkan kepalanya dan badannya seakan-akan
ia dalam posisi ruku dan tampak merendahkan diri di hadapan raja Romawi
tersebut.
Saat Al Baqilani mengetahui niat buruk raja Romawi itu,
maka ia membalikkan badannya ke belakang dan merendahkan badannya agar dapat
masuk ke pintu itu. Akhirnya ia berhasil masuk dalam keadaan mundur ke
belakang.
Al Baqilani pun menemui raja bersama para pengawalnya
yang terdiri dari para pendeta dan rahib. Ia menyapa mereka namun tidak
mengucapkan salam -karena ada larangan
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai salam kepada
Ahli Kitab-. Kemudian Al Baqilani menoleh kepada rahib agung yang
ada di sana dan berkata, “Bagaimana kabar Anda, dan kabar istri dan anak Anda?”
Mendengar ucapan itu
raja pun marah dan berkata, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa rahib kami tidak
menikah dan tidak memiliki anak.”
Al Baqilani berkata,
“Allahu akbar! Mengapa kalian menyucikan rahib kalian dari pernikahan dan dari
memiliki anak, namun kalian menuduh Tuhan kalian menikah dengan Maryam lalu
melahirkan Isa?!”
Raja pun bertambah marah
dan berkata -tanpa rasa malu-, “Apa pendapatmu tentang Aisyah?”
Al Baqilani berkata,
“Jika Aisyah radhiyallahu ‘anha telah dituduh (oleh kaum munafik dan kaum
Syiah), maka Maryam juga sama telah dituduh (oleh orang-orang Yahudi), padahal
keduanya adalah wanita yang suci. Akan tetapi Aisyah menikah dan tidak
melahirkan anak, sedangkan Maryam melahirkan anak tanpa menikah! Manakah yang
lebih layak dituduh secara batil di antara keduanya? Tetapi ingatlah, keduanya
bersih dari tuduhan itu, semoga Allah meridhai keduanya.”
Raja pun semakin
dibuat bingung dan kesal, ia kembali berkata, “Apakah Nabi kalian berperang?”
“Ya.” Jawab Al Baqilani
Raja berkata, “Apakah
ia berperang di posisi terdepan?”
Al Baqilani berkata,
“Ya.”
Raja berkata, “Apakah
ia menang dalam peperangan itu?”
“Ya.” Jawab Al Baqilani
Raja berkata, “Apakah
ia pernah kalah?”
Al Baqilani berkata,
“Ya.”
Raja berkata, “Aneh
sekali, mengapa seorang nabi bisa kalah dalam perang?”
Al Baqilani balik
berkata, “Lebih aneh lagi ada tuhan namun disalib.”
Ketika itulah raja
Romawi ini terdiam.
Sumber: Tarikh Baghdad 5/379 cet. Darul
Kutub Al Ilmiyyah
Kisah lain Abu Bakar Al Baqilani rahimahullah
Suatu ketika Abu Bakar Al Baqilani
rahimahullah bertemu dengan seorang rahib Nasrani, lalu rahib itu berkata, “Kalian
wahai orang-orang muslim adalah penganut paham rasis?” Al Baqilani balik
bertanya, “Dalam hal apa?” Ia menjawab, “Kalian bolehkan diri kalian menikahi
wanita Ahli Kitab, baik wanita Yahudi maupun Nasrani, tetapi kalian tidak
membolehkan orang non muslim menikahi wanita-wanita kalian?” Al Baqilani
berkata, “Kami menikahi wanita Yahudi adalah karena kami beriman kepada Musa,
dan kami menikahi wanita Nasrani adalah karena kami beriman kepada Isa,
sedangkan kalian jika beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam, kami akan nikahkan kalian dengan wanita-wanita kami.” Maka orang kafir
itu pun diam seribu bahasa.
Ajakan Khalifah Al Ma’mun Kepada
Orang Yahudi Masuk Islam
Imam Baihaqi (Dalaailun Nubuwwah
7/159,160) meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Yahya bin Aktsam, ia
berkata, “Khalifah Al Ma’mun memiliki majlis pengkajian, ketika itu masuk ke
majlis tersebut seorang Yahudi dengan pakaian yang indah dan memakai wewangian,
lalu ia berbicara dengan fasihnya. Saat majlis itu selesai, maka Al Ma’mun
memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau orang Israel (Yahudi)?” Ia menjawab,
“Ya.” Al Ma’mun berkata, “Masuk Islamlah, agar aku berbuat sesuatu untukmu,” Al
Ma’mun menjanjikan sesuatu untuknya. Ia menjawab, “Aku akan tetap di atas
agamaku dan agama nenek moyangku,” maka orang itu pergi. Setelah berlalu
setahun, maka ia datang kembali dalam keadaan telah masuk Islam, lalu ia
berbicara tentang fiqih dan berbicara dengan fasihnya. Ketika majlis Al Ma’mun
selesai, maka Al Ma’mun memanggilnya dan bertanya, “Bukankah engkau kawan kami yang dulu?” Ia menjawab, “Ya.” “Lalu
apa yang menyebabkan kamu masuk Islam,” tanya Al Ma’mun. Ia menjawab, “Setelah
aku pergi dari tempatmu, aku menguji beberapa agama, dan aku sebagaimana yang engkau lihat adalah orang yang
pandai dalam menulis, maka aku coba mendatangi Taurat dan menyalinnya. Aku
salin tiga naskah, aku tambahkan dan aku kurangkan, kemudian aku masukkan ke
sinagog, lalu Tauratku terjual. Kemudian aku mendatangi Injil dan menyalinnya.
Aku salin tiga naskah, aku tambahkan dan aku kurangkan, kemudian aku tawarkan
ke gereja, lalu Injilku terjual. Kemudian aku mendatangi Al Qur’an, lalu aku
salin tiga naskah; aku tambahkan dan aku kurangkan, kemudian aku tawarkan ke
penjual buku, maka mereka menelitinya, dan saat mereka menemukan adanya
penambahan dan pengurangan, mereka pun membuangnya dan tidak mau membeli. Dari
sana aku pun tahu, bahwa kitab ini adalah kitab yang terpelihara. Inilah sebab
yang membuatku masuk Islam.”
Yahya bin Aktsam berkata, “Pada
tahun itu aku naik haji dan bertemu dengan Sufyan bin Uyaynah, lalu aku
sampaikan kisah itu, maka ia berkata, “Sesuai sekali dengan yang disebutkan
dalam kitabullah (Al Qur’an),” aku bertanya, “Di ayat berapa?” Ia menjawab,
“Yaitu pada firman Allah Ta’ala tentang Taurat dan Injil, “Disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah,” (QS. Al
Maidah: 44); mereka mendapat amanah untuk
menjaganya, tetapi malah menyia-nyiakannya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz Dzikr (Al Qur’an), dan Kamilah
yang menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9); Allah menjaga Al Qur’an untuk kita,
sehingga tidak akan terlantar.”
Kisah Ibnu Hajar Al
Asqalani dengan tukang minyak
Al Hafizh Ibnu Hajar Al
Asqalani (penyusun Fathul Bari syarah Shahih Bukhari) adalah seorang
hakim agung di negeri Mesir. Suatu ketika ia lewat di tengah-tengah manusia
dengan kereta kudanya yang ditarik oleh bighal (hewan yang lahir dari kuda dan
keledai), sedangkan orang-orang mengelilinginya. Saat itu ada seorang Yahudi
tukang minyak, dimana penampilannya tampak tidak sedap dipandang di samping
bajunya yang kotor sebagaimana keadaan para tukang minyak pada umunya, lalu ia
menghentikan kereta kudanya dan berkata kepada Ibnu Hajar, “Sesungguhnya Nabi
kalian bersabda,
اَلدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ، وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara orang mukmin dan surga orang kafir,”
namun mengapa keadaanku seperti ini, sedangkan engkau seperti itu
(berada dalam kemewahan).” Ibnu Hajar berkata, “Aku sebenarnya berada dalam
penjara jika dibandingkan dengan pahala dan kenikmatan yang Allah siapkan untuk
orang-orang beriman, karena kenikmatan dunia jika dibandingkan kenikmatan
akhirat tidak ada artinya apa-apa sebagaimana sabda Nabi shallallahu alahi wa
sallam,
لَمَوْضِعُ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Sungguh, tempat cemeti (milik salah seorang di antara kamu) di
surga masih lebih baik daripada dunia dan seisinya.”
Adapun engkau wahai orang
Yahudi, sebenarnya engkau berada di surga jika dibandingkan dengan azab yang
disiapkan untukmu jika engkau mati di atas kekafiran.”
Mendengar jawaban itu orang Yahudi
pun masuk Islam. (Lihat Tafsir Juz Amma
karya Syaikh Ibnu Utsaimin pada tafsir surat Al Lail).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar