Fiqih Darah Wanita (6)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حكم استعمال حبة منع الحمل‬‎
Fiqih Darah Wanita (6)
(PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN
Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tetapi dengan dua syarat:
[a]. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta 'ala,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ  
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah : 195)
 [b]. Dengan izin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan denganya. Contohnya, si istri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid agar lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikan kepadanya, maka hukumnya tidak boleh, kecuali dengan izin suami.
Demikian pula jika terbukti bahwa pencegah haid dapat mencegah kehamilan, maka harus dengan seizin suami.
Meskipun secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.
Perangsang Haid
Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid, dengan dua syarat:
[a]. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya, seorang wanita menggunakan alat perangsang haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.
[b]. Dengan izin suami. Hal itu, karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami-istri. Maka tidak boleh bagi si istri menggunakan alat yang dapat menghalangi hak suami kecuali dengan restunya. Dan jika si istri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih berhak rujuk.
Pencegah Kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
[a]. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Hal ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah keturunan. Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
[b]. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: izin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan 'azl terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan -pada saat bersenggama- dengan menumpahkan sperma di luar farji (vagina) si istri.
Penggugur Kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua macam:
[a]. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tidak syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwa yang diharamkan tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma' kaum Muslimin.
Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk darah, artinya sebelum berumur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu a'lam.
[b]. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalau pun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:
Pertama, jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu, karena tubuh adalah amanah Allah yang dititipkan kepada manusia, maka tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang besar. Selain itu, mungkin dikiranya bahwa operasi ini tidak berbahaya, tetapi temyata malah membahayakan.
Kedua, jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
Ketiga, jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu a'lam - bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tidak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
Ketiga, jika si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan tidak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi, jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar, maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan. Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf, "Pendapat ini yang lebih utama".
Apalagi pada zaman sekarang ini, operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan. Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Di samping itu, kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Demikian juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kebinasaan adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib diselamatkan.Wallahu a'lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada izin dari pihak pemilik kandungan, yaitu suami.
PENUTUP
Permasalahan ini bagai samudera tidak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan permasalahan cabang kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya, dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.
Selesai ringkasan Risalah Fi Dima Ath Thabiiyyah (tentang darah kebiasaan wanita) karya Syaikh Ibnu Utsaimin oleh seorang hamba yang mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya, Marwan bin Musa.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger