Fiqih Darah Wanita (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫احكام الحيض والنفاس والاستحاضة‬‎
Fiqih Darah Wanita (2)
(Hukum-hukum seputar haidh)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hukum-hukum seputar haidh
Ada beberapa hukum yang terkait dengan haidh, di antaranya:
1.  Tentang shalat
Haram bagi wanita haidh melakukan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunat. Demikian juga tidak wajib bagi wanita haidh melakukan shalat, kecuali jika ia mendapatkan seukuran satu rakaat (yang sempurna) dari waktunya. Ketika itu, ia wajib menjalankan shalat, baik ia mendapatkan di awal waktu maupun di akhirnya.
Contoh di awal waktu adalah seorang wanita kedatangan haidh setelah matahari tenggelam seukuran satu rakaat, maka wajib bagi si wanita apabila telah suci mengqadha' shalat Maghrib tersebut, karena ia mendapatkan waktunya seukuran satu rakaat sebelum haidh.
Contoh di akhir waktu adalah seorang wanita suci dari haidh sebelum matahari terbit seukuran satu rakaat, maka wajib bagi si wanita tersebut apabila telah bersuci mengqadha' shalat Subuh, karena ia mendapatkan waktunya seukuran satu rakaat.
Adapun jika wanita haidh mendapatkan waktunya seukuran yang kurang dari satu rakaat, misalnya seorang wanita kedatangan haidh setelah tenggelam matahari seukuran sekejap, atau ia suci –seperti pada contoh kedua- sebelum matahari terbit seukuran sekejap, maka shalat itu tidak wajib baginya.
Ini semua didasari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
"Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka ia telah mendapatkan shalat." (Muttafaq 'alaih)
Mafhum hadits ini adalah bahwa jika kurang dari satu rakaat, maka ia belum dianggap mendapatkan shalat.
Kemudian jika seorang mendapatkan satu rakaat waktu shalat 'Ashar, apakah ia harus mengerjakan shalat Zhuhur beserta shalat 'Ashar, atau ia mendapatkan satu rakaat dari waktu shalat Isya terakhir, apakah ia wajib mengerjakan shalat Maghrib beserta shalat Isya?
Jawab: Dalam masalah ini ada khilaf di antara ulama, yang benar adalah tidak wajib bagi wanita melakukan shalat selain waktu yang didapat saja, yaitu shalat 'Ashar saja atau shalat Isya saja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
"Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat 'Ashar sebelum matahari tenggelam, maka ia mendapatkan 'Ashar." (Muttafaq 'alaih)
Pada hadits tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan "maka ia mendapatkan Zhuhur dan 'Ashar" dan tidak menyebutkan wajibnya shalat Zhuhur baginya, di samping itu hukum asalnya adalah bara'atudz dzimmah (lepas kewajiban), inilah madzhab Abu Hanifah dan Malik.
2.  Tentang dzikr
Adapun dzikr, seperti takbir, tasbih, tahmid, mengucapkan basmalah ketika makan dan lainnya, membaca hadits, fiqh, berdoa dan mengamininya, serta mendengarkan Al Qur'an, maka tidak mengapa dilakukan oleh wanita haidh. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang disebutkan dalam Shahihain, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersandar ke pangkuan Aisyah, saat Aisyah sedang haidh, Beliau pun membaca Al Qur'an. Demikian juga berdasarkan hadits Ummu 'Athiyyah, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 
يُخْرَجُ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ -يعني إلى صلاة العيدين ـ وَلِيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ وَيَعْتَزِلَ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى
"Hendaknya wanita gadis, wanita yang dipingit, dan wanita yang haidh keluar –yakni untuk menghadiri shalat 'Idain-, dan hendaknya mereka menyaksikan kebaikan, doa kaum muslimin, namun wanita-wanita yang haidh hendaknya menjauhi tempat shalat." (Muttafaq 'alaih)
3.  Tentang membaca Al Qur'an
Adapun tentang membaca Al Qur'an dalam dirinya, jika hanya memperhatikan dengan mata atau membaca dalam hati tanpa diucapkan, maka tidak mengapa. Misalnya diletakkan Al Qur'an, lalu ia memperhatikan ayat-ayat dan membaca dengan hatinya, maka yang demikian adalah boleh tanpa ada khilaf. Sedangkan membaca Al Qur'an dengan lisan, maka jumhur ulama melarangnya. Namun menurut Imam Bukhari, Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir, hal itu adalah boleh. Bahkan Imam Bukhari menyebutkan secara mu'allaq (tanpa sanad) dari Ibrahim An Nakha'iy bahwa tidak mengapa bagi wanita haidh membaca Al Qur'an.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak ada dasar yang melarangnya, baik dari Al Qur'an dan As Sunnah, karena pernyataan, "Wanita haidh dan junub tidak boleh membaca sesuatu pun dari Al Qur'an" adalah hadits dha'if berdasarkan kesepakatan para Ahli dalam bidang hadits. Jika membaca Al Qur'an haram bagi mereka sebagaimana shalat, tentu hal itu akan diterangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya dan akan diketahui oleh ummahatul mukminin, padahal masalah ini termasuk yang biasa diriwayatkan oleh manusia. Karena tidak ada nukilan seorang pun dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dilarangnya hal tersebut, maka tidak boleh bagi kita mengharamkannya, padahal diketahui bahwa Beliau tidak melarang yang demikian. Jika Beliau tidak melarang, padahal banyak wanita yang haidh di zaman Beliau, dapatlah diketahui bahwa hal itu tidak haram."
Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, sebaiknya wanita yang haidh tidak membaca Al Qur'an kecuali jika dibutuhkan, misalnya ia sebagai pendidik untuk mengajarkan Al Qur'an kepada wanita lain atau ia sedang ujian, di mana ia butuh untuk membaca Al Qur'an.
4.  Tentang puasa
Yakni haram bagi wanita haidh melakukan puasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasanya, namun ia wajib mengqadha' puasa wajib tersebut. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ . 
Kami mengalami hal itu, yakni terkena haidh, maka kami diperintahkan mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat." (Muttafaq 'alaih)
Oleh karena itu, jika ia kedatangan haidh ketika sedang puasa, maka puasanya batal, meskipun datangnya menjelang Maghrib, dan ia wajib mengqadha' puasa tersebut. Adapun jika ia hanya merasakan akan haidh saja sebelum Maghrib, namun keluarnya darah itu setelah Maghrib, maka puasanya sempurna dan tidak batal, karena darah tersebut masih dalam perut. Hal ini didasari sebuah hadits, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang wanita yang mimpi sebagaimana laki-laki mimpi, apakah wanita tersebut harus mandi? Maka Beliau bersabda, "Ya, jika ia melihat air (mani)."
Faedah:
Jika wanita haidh sudah suci sebelum Fajar, lalu ia berpuasa, maka puasanya sah meskipun ia belum mandi atau mandinya setelah fajar tiba. Hal ini sebagaimana junub, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendapati pagi hari dalam keadaan junub karena jima' (di malam hari), lalu Beliau berpuasa Ramadhan.
5.  Tentang thawaf
Demikian pula bagi wanita haidh diharamkan melakukan thawaf. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha,
اِفْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى » . 
"Kerjakanlah apa yang dilakukan orang yang haji, hanya saja kamu tidak boleh thawaf di Baitullah sampai kamu suci." (HR. Muslim)
Adapun pekerjaan haji atau umrah lainnya seperti bersa'i, wuquf di 'Arafah, mabit di Muzdalifah dan di Mina, melempar jamrah, dan sebagainya, maka tidak haram baginya.
6.  Gugurnya thawaf wada' bagi wanita haidh
Jika seorang wanita telah melakukan manasik hajji dan umrah, lalu ia mengalami haidh sebelum keluar menuju negerinya, dan haidh itu berlangsung terus sampai waktu ia hendak berangkat, maka dipersilahkan baginya berangkat tanpa melakukan thawaf wada'. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ ، إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ . 
"Manusia diperintahkan agar tugas terakhirnya adalah thawaf di Baitullah, hanya saja diberikan keringanan bagi wanita haidh (untuk tidak melakukannya)." (Muttafaq 'alaih)
Adapun thawaf haji dan umrah, maka tidak gugur kewajibannya, bahkan ia harus thawaf setelah suci.
Faedah:
Tidak dianjurkan bagi wanita haidh saat hendak berpisah mendatangi pintu masjidil haram dan berdoa, karena hal itu tidak ada keterangannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
7.  Berdiam di masjid
Yakni haram bagi wanita haidh berdiam di masjid, bahkan lapangan tempat shalat Ied. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyyah, di mana di sana dijelaskan,
يَعْتَزِلَ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى
"Hendaknya wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat."
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger