Fiqih Darah Wanita (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫احكام الحيض والنفاس والاستحاضة‬‎
Fiqih Darah Wanita (4)
(DARAH ISTIHADHAH)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
DARAH ISTIHADHAH
Makna Istihadhah
Istihadhah adalah keluarnya darah terus menerus pada seorang wanita tanpa berhenti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluarnya darah terus menerus tanpa berhenti sama sekali adalah hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنِّيْ لاَ اَطْهُرُ وفي رواية أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ
"Wahai Rasulullah! Sungguh, aku ini tidak pernah suci." Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku mengalami istihadhah, sehingga tidak pernah suci." (HR. Bukhari)
Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar adalah hadits Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sungguh, aku sedang mengalami istihadhah yang deras sekali." (Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi, ia menshahihkannya. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad adalah Shahih, sedangkan menurut Imam Bukhari adalah hasan).
Kondisi Wanita Mustahadhah
Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah, yaitu:
[a]. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِى حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ : إِنِّى أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ :« لاَ ، إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ ، وَلَكِنْ دَعِى الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِى كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا ، ثُمَّ اغْتَسِلِى وَصَلِّى » . 
"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku mengalami istihadhah sehingga tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat?" Beliau menjawab, “Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasa kamu haid, kemudian mandilah dan lakukanlah shalat." (HR. Bukhari)
Demikian pula berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda keapda Ummu Habibah binti Jahsy,
« امْكُثِى قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِى وَصَلِّى » . 
"Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat."
[b]. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus menerus terjadi padanya dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan), jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah. Hal ini berdasrkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَامْسُكِيْ عَنِ الصَّلاَة ِفَإِذاَ كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِ وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
"Darah haid, maka berwarna hitam yang sudah dikenal. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit‌.” (HR. Abu Dawud, Nasai, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibbandan Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, tetapi telah diamalkan oleh para ulama rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
Contoh: Seorang wanita melihat darah di awal ia melihat darah, dan darah itu terus keluar, tetapi selama sepuluh hari warnanya hitam, selebihnya merah. Atau selama sepuluh hari darahnya kental, selebihnya tidak kental, atau selama sepuluh hari berbau haidh, selebihnya tidak, maka pada saat darah itu berwarna hitam, atau kental, atau berbau adalah darah haidh, selain itu bukan darah haidh.
[c].Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Misalnya, jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus menerus dari saat pertama kali melihat darah, sementara darahnya satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumya. Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapatkan darah. Sedangkan selebihnya merupakan istihadhah.
Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tangal 5 tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Hammah binti Jahsy radhiyallahu anha bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah! sungguh aku sedang mengalami istihadhah yang deras sekali. Bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah mengahalangiku untuk melaksanakan shalat dan berpuasa?”Beliau bersabda, "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan meletakkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah‌." Hamnah berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, "Ini hanyalah salah satu usikan setan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Taala, lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 23 hari dan berpuasalah‌.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Menurut Ahmad dan Tirmidzi hadits ini shahih sedang menurut Bukhari hasan]
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “6 atau 7 hari‌” tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
Keadaan Wanita Yang Mirip Mustahadhah
Kadangkala seorang wanita, karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam:
Pertama, diketahui bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Oleh karenanya, ia tidak boleh meninggalkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah, tetapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan melekatkan kain atau semisalnya (seperti pembalut wanita) pada farjinya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya, jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu; jika tidak ditentukan waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya seperti shalat sunat yang mutlak.
Kedua, tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa haid setelah operasi, yakni diperkirakan masih bisa haid lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy,
« إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ ،
"Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat."
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Jika datang haid...dst." menunjukkan bahwa hukum mustahadhah berlaku bagi wanita yang berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.
Hukum-Hukum Istihadhah
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). Tidak ada perbedaan antara wanita mustahdhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut ini:
[a]. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,
ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ
"Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat." (HR. Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah)
Hal ini memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada saat hendak melakukannya.
[b]. Ketika hendak berwudhu, ia membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Hamnah,
أنْعَتُ لَكَ الْكُرْسُفَ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ ، قَالَتْ : فَإِنْهُ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ ، قَالَ : فَاتَّخِذِيْ ثَوْباً قَالَتْ : هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ : فَتَلَجَّمِيْ
"Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah." Hamnah berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu." Beliau bersabda, "Gunakanlah kain!" Hamnah berkata, "Darahnya masih banyak pula." Beliau pun bersabda, "Maka pakailah penahan!"
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,
اِجْتَنِبِي الصَّلاَةَ أَيَّامَ حَيْضِكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ ، ثُمَّ صَلِّي، وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الْحَصِيْرِ
"Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas. " (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
[c]. Jima' (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi jika ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak Karena ada banyak wanita mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima' dengan mereka. Firman Allah Ta 'ala,
 فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ
... Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid ... " (QS. Al-Baqarah: 222)
 Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari istri.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger