Temanmu Cerminan Agamamu

بسم الله الرحمن الرحيم
Temanmu Cerminan Agamamu
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini syarah hadits Ar Rajulu ‘alaa diini khalilih (Keadaan agama seseorang tergantung agama kawannya...dst.), semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Temanmu Cerminan Agamamu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung agama kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya ia memperhatikan siapa yang menjadi kawan dekatnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3545)
Syarh/penjelasan:
Sabda Beliau, “Tergantung agama kawan dekatnya,” yakni tergantug kebiasaan dan jalan hidup yang dilakukan kawannya.
Sabda Beliau, “Oleh karena itu, hendaknya ia memperhatikan siapa yang menjadi kawan dekatnya,” yakni jika ada orang yang telah diridhai agama dan akhlaknya, maka pilihlah sebagai teman akrab. Jika tidak demikian, hendaknya dijauhi, karena tabiat manusia itu suka mengikuti, dan pergaulan dapat mempengaruhi keadaan seseorang.
Al Ghazali rahimahullah berkata, “Bergaul dengan orang yang rakus akan menumbuhkan sikap rakus dalam dirimu. Bergaul dengan orang yang zuhud (tidak terlalu berharap kepada dunia) dapat membuatmu zuhud terhadap dunia, karena tabiat manusia itu suka menyerupai dan mengikuti.”
Sulaiman bin Dawud rahimahullah berkata dalam mensyarahkan hadits di atas, “Jangan kamu hukumi saudaramu dengan sesuatu sampai kamu melihat siapa yang menjadi temannya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Singkatnya, hadits-hadits ini dan semisalnya menunjukkan, bahwa sepatutnya bagi seseorang memilih kawan-kawan yang baik, mengunjungi mereka, dan berbuat baik kepada mereka karena di dalamnya terdapat kebaikan, wallahul muwaffiq.”
Dengan demikian, maksud hadits di atas secara garis besar adalah, hendaknya engkau menyaring dan memilih orang yang akan engkau jadikan sebagai teman akrab. Jika seseorang memberikan manfaat dalam agamamu, maka bertemanlah dengannya. Jika tidak memberikan manfaat bagi agamamu, bahkan membahayakan agamamu, maka jauhilah dia. Yang demikian adalah karena banyak orang yang rugi dan binasa karena bergaul dengan orang-orang yang buruk. Mungkin seseorang sebelumnya dekat dengan agama, namun ketika bergaul dengan orang yang buruk agamanya, maka ia menjadi jauh dari agama; meninggalkan amal saleh dan mengerjakan maksiat, wal ‘iyadz billah. Oleh karena itu, dalam pepatah Arab dikatakan,
اَلصَّاحِبُ سَاحِبٌ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Kawan itu dapat menarikmu. Bisa menarikmu ke surga, dan bisa menarikmu ke neraka.”
Oleh karena itu, termasuk nikmat yang besar yang Allah berikan kepada seorang hamba adalah Dia beri taufiq untuk berteman dengan orang-orang baik, dan termasuk hukuman-Nya kepada hamba-Nya adalah dengan diberikan ujian berupa teman yang buruk.
Siapakah kawan yang baik?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تُصَاحِبْ إلاَّ مُؤْمِنًا
“Janganlah engkau berteman kecuali kepada orang mukmin.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dihasankan oleh Tirmidzi)
Kawan yang baik adalah kawan yang mukmin dan bertakwa; dirinya saleh dan mengajakmu menaati Allah, berkumpul di atas ketaatan kepada Allah dan berpisah di atas ketaatan kepada Allah, dia tidak mengkhianatimu, dan tidak mengajakmu kepada kesesatan, kefasikan, dan kemaksiatan. Jika kamu terjatuh ke dalam kemaksiatan, maka dia segera mengingatkanmu, karena ia menginginkan kebaikan bagi dirimu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ مِرآةُ الْمُؤْمِنِ
“Orang mukmin itu cerminan mukmin lainnya.” (HR. Thabrani dalam Al Awsath dan Adh Dhiya dari Anas, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6655)
Oleh karena ia adalah cermin bagi saudaranya, maka ia perbaiki keadaan saudaranya. Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan orang mukmin dengan cermin. Setelah berkaca, ia akan menunjukkan kepada saudaranya hal yang mesti disingkirkan saudaranya itu berupa perkara yang buruk. Ia katakan kepadanya, “Tinggalkanlah perbuatan buruk ini!” ia tidak membiarkan saudaranya, bahkan meluruskan dan memperbaikinya.
Al Amiriy berkata, “Maksudnya, jadilah kamu terhadap saudaramu seperti cermin. Engkau perlihatkan kepadanya keadaan-keadaan yang baik, mendorongnya untuk bersyukur, dan mencegahnya dari bersikap sombong. Demikian juga engkau perlihatkan kepadanya beberapa perkara buruk (untuk dijauhinya) dengan lemah lembut di saat sepi, dan tidak membuka aibnya.”
Perumpamaan kawan yang baik dan akibat memilih kawan yang buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
"Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan peniup kir (tukang besi). Penjual minyak wangi, maka bisa saja ia memberikannya kepadamu atau kamu dapat membeli minyak wangi darinya, atau kamu mendapat wangi yang harum darinya, adapun peniup kir (tukang besi), maka ia bisa membakar bajumu atau kamu dapat mencium wangi tidak sedap darinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim berkata, "Di dalam hadits ini terdapat keutamaan bergaul dengan orang-orang saleh, orang-orang baik, orang-orang yang memiliki sopan santun dan berakhlak mulia, serta orang-orang yang wara', berilmu, dan beradab. Demikian juga terdapat larangan bergaul dengan orang-orang buruk, ahlul bid'ah, orang yang suka mengghibahi (menggosip) manusia, atau banyak kejahatannya, pengangguran dan yang semisalnya di antara perkara-perkara tercela."
Syaikh As Sa'diy berkata:
صُحْبَةُ الْأَخْيَارِ تُوْصِلُ الْعَبْدَ إِلَى أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ، وَصُحْبَةُ الْأَشْرَارِ تُوْصِلُهُ إِلَى أَسْفَلِ سَافِلِيْنَ.
"Berteman dengan orang-orang baik akan membawa seorang hamba ke tempat yang tinggi, dan berteman dengan orang-orang buruk akan membawanya ke tempat yang paling rendah."
Oleh karena itu, sebelum kita terjatuh, pilihlah kawan yang baik dan tinggalkanlah kawan yang buruk agar kita tidak menyesal di kemudian hari. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29)
"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, "Wahai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul"--Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku).--Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia." (Al Furqaan: 27-29)
Disebutkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 5 hal. 68, bahwa Ibnu Mardawaih dan Abu Nu’aim dalam Ad Dalaa’il meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari jalan Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Abu Mu’aith biasa duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Mekah dan tidak menyakitinya. Ia adalah orang yang santun. Oleh karenanya sebagian orang-orang Quraisy apabila duduk bersamanya menyakitinya. Abu Mu’aith memiliki seorang teman yang sedang berada di Syam, lalu orang-orang Quraisy mengatakan, “Abu Mu’aith telah pindah agama,” lalu kawannya datang pada malam hari dari Syam dan bertanya kepada istrinya, “Sudah sampai di mana Muhammad berbuat?” Istrinya berkata, “Perkaranya sudah lebih parah.” Ia bertanya lagi, “Apa yang terjadi pada kawanku Abu Mu’aith?” Istrinya menjawab, “Ia telah pindah agama.” Maka semalaman Ia (kawan Abu Mu’aith) merasa gelisah. Ketika tiba pagi harinya, Abu Mu’aith datang lalu mengucapkan salam kepadanya, tetapi salamnya tidak dijawab, maka Abu Mu’aith berkata, “Mengapa engkau tidak menjawab salamku?” Ia menjawab, “Bagaimana aku akan menjawab salammu padahal engkau telah pindah agama?” Ia berkata, “Apakah orang-orang Quraisy berkata seperti itu?” Ia menjawab, “Ya.” Ia bertanya, ”Kalau begitu perbuatan apa yang dapat mengobati dada mereka?” Ia menjawab, “Engkau datangi dia (Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) lalu engkau ludahi wajahnya dan engkau caci-maki dengan cacian yang yang terburuk yang engkau ketahui.” Maka Abu Mu’aith melakukannya, namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersikap apa-apa selain mengusap mukanya dari air liur, lalu Beliau menoleh kepadanya sambil berkata, “Jika aku mendapatimu berada di luar pegunungan Mekah, aku akan memenggal lehermu dengan cara ditahan.
Maka ketika tiba perang Badar dan kawan-kawannya berangkat, maka Abu Mu’aith enggan untuk berangkat, lalu kawan-kawannya berkata, “Keluarlah bersama kami.” Ia berkata, “Sungguhnya orang ini (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) telah berjanji kepadaku jika mendapatiku berada di luar pegunungan Mekah, maka ia akan memenggal leherku dengan cara ditahan.” Mereka berkata, “(Tenang saja!), engkau akan memperoleh unta merah, dia tidak akan mendapatkan kamu jika kekalahan menimpanya.” Maka ia keluar bersama mereka, dan ketika Allah mengalahkan kaum musyrik dan untanya jatuh ke tanah lumpur di beberapa jalan (di gunung), maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menangkapnya dalam kumpulan 70 orang Quraisy, lalu Abu Mu’aith datang kepada Beliau dan bersabda, “Engkau akan bunuh aku di tengah-tengah mereka ini?” Beliau menjawab, “Ya, karena engkau telah meludahi wajahku.” Maka Allah menurunkan ayat tentang Abu Mu’aith, “Wa yauma ya’addhuzh zhaalimu ‘alaa yadaihi…dst. sampai ayat, “Wa kaanasy syaithaanu lil insaani khadzuulaa.”
Syaikh Muqbil berkata, “Kami masih tidak berani menghukumi (kedudukan haditsnya) karena As Suyuthiy rahimahullah agak mudah (menshahihkan).”
Khatimah
Hendaknya seseorang mengingat firman Allah Ta’ala,
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf: 67)
Ayat ini menunjukkan, bahwa yang akan tetap menjadi teman akrab di dunia dan akhirat hanyalah orang-orang yang bertakwa. Adapun mereka yang tidak bertakwa, meskipun di dunia akrab dengan kita, maka akan menjadi musuh bagi kita.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah At Tafsir versi 05, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’an was Sunnah), Aunul Ma’bud (Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi), Tuhfatul Ahwadziy (Abul Alaa Muhammad Al Mubarakfuri), Faidhul Qadir (Imam Al Manawi), Ash Shahihul Musnad Min Asbabin Nuzul (Muqbil bin Hadiy Al Wadi’i), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Untaian Mutiara Hadits (Penulis), http://shrajhi.com/Media/ID/6941, http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?hflag=1&bk_no=1228&pid=874075http://www.darulfatwa.org, http://www.jazan.org/vb/showthread.php?t=234937, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger