بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Azan
dan Iqamat (2)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang Azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Syarat
sahnya azan dan iqamat
1.
Islam, oleh karenanya tidak sah dilakukan oleh orang kafir.
2.
Berakal, oleh karenanya tidak sah dilakukan oleh orang yang gila,
orang yang mabuk, dan anak yang belum tamyiz (bisa membedakan), sebagaimana
ibadah yang lain.
3.
Laki-laki, oleh karenanya tidak sah dilakukan oleh wanita karena
suaranya adalah fitnah, juga dari khuntsa (banci) karena tidak diketahui apakah
ia laki-laki atau bukan.
4.
Azan
dilakukan pada waktu shalat, oleh
karenanya tidak sah sebelum tiba waktunya selain azan Subuh yang pertama dan
azan Jum’at, maka boleh dilakukan sebelumnya. Sedangkan iqamat dilakukan ketika
hendak berdiri melakukan shalat.
5.
Azan
harus tertib dan berurutan sebagaimana yang disebutkan dalam As Sunnah, demikian pula iqamat. Nanti akan disebutkan tata cara azan
dan iqamat, insya Allah.
6.
Azan
dan Iqamat harus menggunakan bahasa Arab dan dengan lafaz yang disebutkan dalam
As Sunnah.
Sifat
yang dianjurkan dimiliki seorang muazin
1.
Mengharapkan
wajah Allah dalam azannya.
Dari Utsman bin
Abil Ash ia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai
imam (shalat) bagi kaumku.” Maka Beliau bersabda,
«أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ
وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا»
“Engkau imam
mereka. Perhatikanlah orang yang lemah dari kalangan mereka, dan angkatlah
muazin yang tidak mengambil upah terhadap azannya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i,
Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Akan tetapi, lafaz Tirmidzi isinya, “Sesungguhnya
akhir wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, “Angkatlah muazin
yang tidak mengambil upah terhadap azannya.” Tirmidzi berkata setelah
meriwayatkan hadits tersebut, “Hadits hasan. Dan inilah yang diamalkan di
kalangan mayoritas Ahli Ilmu. Mereka memakruhkan mengambil upah terhadap azan,
dan menganjurkan agar muazin mengharap pahala terhadap azannya.”)
2.
Hendaknya
ia memiliki sifat adil dan amanah,
karena ia telah mendapatkan amanah yang dijadikan rujukan dalam hal shalat dan
puasa.
3.
Hendaknya
ia baligh dan berakal. Namun tetap sah
azan yang dilakukan anak kecil yang sudah tamyiz (bisa membedakan).
4.
Hendaknya
ia mengetahui waktu-waktu shalat,
sehingga ia dapat azan di awal waktu.
5.
Hendaknya
suaranya keras agar terdengar oleh manusia.
6.
Hendaknya ia suci dari hadats kecil dan hadats besar.
Hal ini
berdasarkan hadits Al Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau sedang buar air
kecil, lalu ia mengucapkan salam kepada Beliau, namun Beliau tidak menjawabnya
sampai Beliau berwudhu, lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
alasannya,
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى
طُهْرٍ
“Sesungguhnya
aku tidak suka menyebut nama Allah Azza wa Jalla kecuali dalam keadaan suci.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah).
Namun jika
seseorang mengumandangkan azan dalam keadaan tidak suci, maka hukumnya boleh
namun makruh menurut ulama madzhab Syafi’i. Tetapi menurut madzhab Imam Ahmad,
ulama madzhab Hanafi, dan lainnya tidak makruh.
7.
Hendaknya ia mengumandangkan azan dalam keadaan berdiri dan
menghadap kiblat.
Ibnul Mundzir
berkata, “Telah ijma’ (sepakat), bahwa azan dalam keadaan berdiri adalah Sunnah,
karena keadaan tersebut lebih dapat didengar. Dan termasuk Sunnah
pula adalah menghadap kiblat ketika azan.”
Di samping itu,
karena para muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan
azan dengan menghadap kiblat. Jika kurang memperhatikan arah kiblat, maka
makruh namun tetap sah.
8.
Meletakkan dua jari di telinganya, dan mengalihkan wajahnya (kepala, leher, dan dadanya; tidak semua badannya) ke
sebelah kanan ketika mengucapkan, “Hayya ‘alash shalah”, dan ke sebelah kiri
ketika mengucapkan, “Hayya ‘alal falah.”
Imam Nawawi
berkata, “Ini merupakan tatacara yang paling shahih.”
Abu Juhaifah
berkata, “Bilal mengumandangkan azan, lalu aku memperhatikan mulutnya kesana
dan kemari; ke kanan dan ke kiri, (sambil mengucapkan) Hayya ‘alash shalah
dan Hayya ‘alal falah.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Adapun tetang
berputasnya badan muazin, maka menurut Baihaqi, tidak disebutkan dalam
riwayat-riwayat yang shahih. Dalam Al Mughniy dari Imam Ahmad
disebutkan, “Tidak perlu berputar, kecuali jika berada di Menara dengan tujuan
memperdengar dua penduduk yang berbeda arah.”
9.
Memasukkan jari ke telinganya.
Bilal berkata,
“Aku letakkan jariku di telingaku, lalu aku mengumandangkan azan.”
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Tirmidzi
berkata, “Ahli Ilmu menganjurkan agar muazin memasukkan kedua jarinya ke
telinganya ketika azan.”
10.
Hendaknya ia agak lamban ketika mengumandangkan azan, dan agak cepat ketika mengumandangkan iqamat.
11.
Hendaknya ia tidak berbicara di sela-sela iqamat.
Adapun berbicara
di sela-sela azan, maka dimakruhkan oleh sebagian Ahli Ilmu, namun dianggap
rukhshah (adanya keringanan) oleh Al Hasan, Atha’, dan Qatadah.
Abu Dawud
berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ahmad, “Bolehkah seseorang berbicara di
sela-sela azannya?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia ditanya lagi, “Bagaimana jika ia
berbicara di sela-sela iqamatnya?” Ia menjawab, “Tidak boleh. Hal itu, karena
di saat iqamat ia dianjurkan bersegera (cepat mengumandangkannya).
12.
Mengeraskan suaranya ketika azan meskipun hanya seorang diri
di tengah padang pasir.
Dari Abdullah
bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah dari ayahnya, bahwa Abu Sa’id radiyallahu
‘anhu pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku melihat dirimu senang membawa
kambing dan tinggal di padang pasir. Jika engkau bersama kambing-kambingmu dan
di tengah padang pasir, maka keraskanlah suara azanmu, karena tidak ada yang
mendengar suara azan seseorang baik jin maupun manusia, atau sesuatu selainnya
melainkan akan bersaksi untuknya pada hari Kiamat.” Abu Sa’id berkata, “Aku
mendengar hal ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad,
Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Tatacara
azan dan iqamat
Berikut beberapa
tatacara azan:
1.
Menyebutkan
empat kali takbir yang pertama dan mennyebutkan dua kali setelahnya, sehingga
jumlahnya 15 kalimat, yaitu sebagai berikut:
Allahu akbar 4X
Asyhadu
allaailaahaillallah 2X
Asyhadu anna
muhammadar rasuulullah 2X
Hayya ‘alash
shalaah 2X
Hayya ‘alal falaah 2X
Allahu akbar 2X
Laailaahaillallah 1X
Tatacara seperti ini berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid yang
telah disebutkan sebelumnya.
Inilah tatacara
azan yang dianjurkan, karena Bilal biasa mengumandangkan dengan lafaz seperti
itu, baik ketika mukim maupun safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sampai Beliau meninggal dunia. Tetapi jika dilakukan tarji’,
yakni mengucapkan dua kalimat syahadat
dengan suara rendah, kemudian diulangi lagi dengan suara keras sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Dawud (503), atau menyebutkan dua kali lafaz iqamat,
maka tidak mengapa karena ini termasuk ikhtilaf yang mubah. Dan dianjurkan pada
azan Subuh setelah mengucapkan, “Hayya ‘alal falah” menambahkan “Ash
Shalatu khairum minan naum” (artinya: shalat itu lebih baik daripada tidur)
dua kali. Hal ini berdasarkan hadits Abu Mahdzurah, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Jika kamu mengumandangkan
azan Subuh, kamu ucapkan, “Ash Shalatu khairum minan naum.”) (HR.
Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i
628).
2.
Menyebutkan
empat kali takbir dan mentarji’ dua kalimat syahadat (mengulang dua kalimat
syahadat dengan suara keras setelah sebelumnya dengan suara rendah), sehingga
jumlahnya 19 kalimat. Tatacara seperti ini berdasarkan hadits Abu Mahdzurah, bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan azan kepadanya dengan jumlah 19
kalimat (HR. Lima ahli hadits, Tirmidzi berkata, "Hadits hasan
shahih.")
Contoh
dengan tarji' adalah mengucapkan, “Asyhadu alllaailaahaillallah, asyhadu
allaailaahaillallah, asyhadu anna muhammadar rasuulullah, asyhadu anna
muhammadar rasuulullah" dengan suara rendah, kemudian diulangi lagi
dengan suara keras.
3.
Menyebutkan
dua kali takbir dengan mentarji’ dua kalimat syahadat, sehingga jumlahnya 17
kalimat. yaitu sebagai berikut:
Allahu akbar 2X
Asyhadu
allaailaahaillallah 2X
Asyhadu anna
muhammadar rasuulullah 2X
Lalu dua kalimat
syahadat tersebut ditarji’.
Hayya ‘alash
shalaah 2X
Hayya ‘alal falaah 2X
Allahu akbar 2X
Laailaahaillallah 1X
Tatacara seperti
ini berdasarkan hadits Abu Mahdzurah yang diriwayatkan oleh Muslim.
Bersambung...
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S.
Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.
0 komentar:
Posting Komentar