Fiqh Azan dan Iqamat (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الأذان‬‎
Fiqh Azan dan Iqamat (5)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang Azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Jeda antara iqamat dan pelaksanaan shalat
Boleh ada jeda antara iqamat dengan pelaksanaan shalat dengan adanya pembicaraan atau lainnya, dan iqamat tidak perlu diulangi meskipun jedanya panjang.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘alaihi ia berkata, “Shalat pernah telah diiqamatkan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berbincang-bincang dengan seseorang di pojok masjid. Beliau tidak segera melakukan shalat, sehingga sebagian sahabat tertidur.” (HR. Bukhari)
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ingat, bahwa dirinya junub sedangkan iqamat sudah dikumandangkan, lalu Beliau kembali ke rumahnya, mandi, lalu kembali ke masjid dan melakukan shalat bersama para sahabatnya tanpa mengulangi iqamat lagi.
Bid’ah-bid’ah dalam azan
Azan adalah ibadah, dan prinsipnya bahwa ibadah itu harus ada contoh. Kita tidak boleh menambahkan dalam agama kita sesuatu yang bukan daripadanya atau bahkan menguranginya. Dalam hadits shahih disebutkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengadakan dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan daripadanya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari)
Berikut ini beberapa contoh bid’ah dalam azan:
1.     Seorang muazin mengucapkan “Asyhadu anna sayyidana Muhammadar Rasulullah,” pada saat azan atau iqamat.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa tidak boleh menambahkan kata-kata pada kalimat-kalimat yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan boleh pada selainnya.
2.     Mengusap kedua mata dengan kedua ujung jari telunjuk setelah kedua jari itu dicium saat mendengar muazin mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Disebutkan, bahwa orang yang melakukannya akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam Al Maqashid disebutkan, “Tidak sahih sama sekali hadits itu. Demikian pula tidak sahih hadits yang diriwayatkan oleh seorang shufi bernama Abul Abbas bin Abu Bakz Ar Raddad Al Yamani dalam bukunya Mujibat Ar Rahmah wa Azaim Maghfirah dengan sanad yang di dalamnya terdapat banyak orang majhul di samping terputus pula, yaitu dari Khadhir ‘alaihis salam, ia berkata, “Barang siapa yang berkata pada saat muazin mengucapkan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan kata-kata, “Marhaban bi habibiy wa qurrati ‘ainiy Muhammad ibni Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” kemudian ia cium kedua ibu jari  dan meletakkannya pada kedua matanya, maka dia tidak akan buta, dan tidak akan pernah sakit mata, dsb.”
Semua itu tidak ada yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa salam.
3.     Menyanyikan azan dan melakukan kesalahan di dalamnya dengan menambah huruf, harakat, atau mad.
Hal ini hukumnya makruh. Jika sampai membuat merubah makna atau membuat samar, maka hukumnya haram.
Dari Yahya Al Bakka, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya aku benci kepadamu karena Allah, “ lalu ia berkata kepada kawan-kawannya, “Sesungguhnya ia menyanyikan azan dan mengambil upah karenanya.”
4.     Puji-pujian sebelum tiba waktu Subuh.
Dalam kitab Al Iqna’ dan syarahnya (kitab fiqh madzhab Hanbali) disebutkan, “Selain azan berupa tasbih (dzikr dan puji-pujian), nyanyian, mengeraskan suara ketika berdoa, dan semisalnya yang dilakukan di menara bukanlah sunnah. Dan tidak ada seorang pun di kalangan ulama yang mengatakan bahwa hal itu dianjurkan. Bahkan hal tersebut termasuk ke dalam bid’ah yang dibenci, karena hal itu tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman para sahabatnya, dan tidak ada dasar sama sekali di zaman mereka yang bisa dijadikan rujukan. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menyuruh melakukannya dan tidak boleh diingkari orang yang meninggalkannya, dan tidak boleh dikaitkan bantuan rezeki (upah) karena melakukan hal itu, karena sama saja membantu terhadap perkara bid’ah, dan hal itu tidak perlu dilakukan meskipun disyaratkan oleh pewaqaf karena menyelisihi Sunnah.”
Dalam Kitab Talbis Iblis disebutkan, “Aku melihat orang yang bangun di malam hari berada di atas menara, lalu ia memberi nasihat, berdzikr, dan membaca Al Qur’an dengan suara keras, sehingga membuat manusia susah tidur dan membuat kacau pikiran orang-orang yang sedang shalat tahajjud. Semua ini termasuk hal-hal yang munkar.”
Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Apa saja yang diada-adakan seperti tasbih (dzikr dan puji-pujian) dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum tiba waktu Subuh dan sebelum shalat Jum’at, maka itu bukan bagian azan, baik secara bahasa maupun syara’.”
5.     Mengeraskan bacaan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan. Hal ini termasuk bid’ah yang dibenci.
Ibnu Hajar dalam Al Fatawa Al Kubra berkata, “Para syaikh (guru) kami dan lainnya telah diminta fatwa tentang shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan dengan cara yang biasa dilakukan para muazin, maka mereka menjawab, “Secara asal (membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ada sunnahnya, namun tatacaranya bid’ah.”
Syaikh Muhammad Abduh –mufti negara Mesir- pernah ditanya tentang shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan, maka ia menjawab, “Adapun azan, maka disebutkan dalam kitab Al Khaniyah, bahwa hal itu tidak disyariatkan untuk selain shalat fardhu. Jumlahnya ada lima belas kalimat, dan kalimat terakhir menurut kami adalah Laailaahaillallah. Adapun kalimat yang disebutkan sesudah atau sebelumnya, maka hal itu termasuk hal-hal yang diada-adakan dan bid’ah. Dibuat untuk melagukan bukan untuk maksud lainnya, dan tidak ada seorang pun yang berpendapat bolehnya melagukan semacam ini. Dan tidak dianggap mereka yang mengatakan, bahwa hal semacam itu adalah bid’ah hasanah, karena semua bid’ah dalam ibadah misalnya seperti ini adalah buruk. Barang siapa yang mengatakan, bahwa di dalamnya tidak ada bentuk melagukan, maka ia dusta.”
Selesai, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger