بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih
Shalat Ied/Hari
Raya (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat ‘Ied (Hari Raya) yang banyak kami rujuk kepada kitab Fiqhus sunnah
karya Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah,
semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, aamin.
15. Anjuran mengucapkan
selamat
Dari Jubair bin
Nufair ia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat
berjumpa pada hari raya, maka sebagian mereka berkata kepada yang lain,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
“Semoga Allah
menerima amal kami dan kamu.” (Al Hafizh As Suyuthiy dalam Wushulul Amani fi
Ushulit Tahani berkata, “Isnadnya hasan,”)
Ibnut Turkumani
dalam Al Jauharun Naqi 3/320 menyebutkan riwayat Muhammad bin Ziyad, ia
berkata, “Aku bersama Abu Umamah Al Bahiliy dan lainnya dari kalangan para
sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka apabila pulang, maka sebagian
mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Taqabbalallahu minna wa minka.”
(Imam Ahmad bin hanbal berkata, “Isnadnya jayyid.”)
16. Takbir pada
hari raya
Takbir pada dua
hari raya adalah sunnah.
Dalil takbir pada
saat Idul Fitri, Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Sedangkan dalil
takbir pada saat Idul Adh-ha, Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah
(dengan menyebut nama) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Qs. Al Baqarah: 203)
Ibnu Abbas
berkata, “Maksudnya adalah hari-hari tasyriq.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ
الْمُحْسِنِينَ
“Demikianlah Allah
telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap
hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (Qs. Al Hajj: 37)
Menurut jumhur
(mayoritas) para ulama, bahwa takbir pada saat Idul Fitri dari sejak keluar
menuju lapangan shalat Ied sampai dimulai khutbah. Mengenai hal ini ada
riwayat-riwayat namun dhaif, tetapi ada riwayat yang shahih dari Ibnu Umar dan
sahabat lainnya. Hakim berkata, “Ini adalah Sunnah yang berlaku di kalangan
Ahli hadits.” Bahkan ini pula yang dipegang oleh Imam Malik, Ahmad, Ishaq, dan
Abu Tsaur.
Namun sebagian
ulama berpendapat, bahwa takbir pada saat Idul Fitri dimulai dari sejak melihat
hilal (bulan sabit tanda awal bulan Syawwal) sampai berangkat ke lapangan dan
sampai imam hadir.
Sedangkan untuk
Idul Adh-ha waktunya dari subuh hari Arafah sampai Ashar hari tasyriq, yakni
11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Telah shahih
praktek hal ini dari Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.
Al Hafizh dalam Al
Fath berkata, “Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang hal itu dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun
yang paling shahih adalah riwayat dari para sahabat, dari pernyataan Ali dan
Ibnu mas’ud, bahwa waktunya dari Subuh hari Arafah sampai akhir hari-hari
Mina.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan lainnya).
Bahkan ini pula
yang dipegang oleh Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad, dan menjadi
madzhab Umar dan Ibnu Abbas.
Dan takbir pada
hari-hari tasyriq tidak pada waktu tertentu, bahkan dianjurkan di setiap waktu
pada hari-hari itu.
Imam Bukhari
berkata, “Umar radhiyallahu anhu bertakbir di kemahnya di Mina, lalu penghuni
masjid mendengar takbirnya, maka mereka pun bertakbir dan penghuni pasar juga
bertakbir hingga Mina bergemuruh suara takbir.”
Ibnu Umar
bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, setelah shalat, ketika di tempat
pembaringan, di kemah, di majlis, dan saat berjalan pada hari-hari itu.
Adapun Maimunah,
maka ia bertakbir pada hari nahar. Kaum wanita juga bertakbir di belakang Aban
bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam hari tasyriq bersama kaum pria di
masjid.
Al Hafizh berkata,
“Atsar-atsar (riwayat dari para sahabat) tersebut menunjukkan adanya takbir
pada hari-hari itu setelah shalat dan dalam keadaan lainnya, hanyasaja ada
khilaf di kalangan ulama tentang waktunya. Di antara mereka ada yang hanya
melakukan takbiran pada saat selesai shalat, ada pula yang hanya melakukan
seusai shalat fardhu, tidak seusai shalat sunah. Ada pula yang mengkhususkan
untuk kaum laki-laki, tidak bagi kaum wanita. Demikian pula ada yang
mengkhususkan dalam keadaan berjamaah, tidak sendiri. Demikian pula ada yang
mengkhususkan untuk shalat yang dilakukan pada waktunya, bukan shalat yang
diqadha, atau untuk orang yang mukim bukan untuk orang yang sedang safar, atau
untuk penduduk suatu kota, bukan yang tinggal di pelosok kampung. Namun yang
tampak dari pendapat pilihan Imam Bukhari adalah bahwa takbiran itu untuk
semuanya, dan atsa-atsar yang disebutkannya menguatkan hal itu.”
Riwayat paling
shahih terkait lafaz takbir adalah riwayat yang disebutkan Abdurrazzaq dari
Salman, ia berkata, “Ucapkanlah takbir:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ كَيِرْاً
“Allah Mahabesar.
Allah Mahabesar. Allah Mahabesar-sungguh Mahabesar.”
Telah ada pula
riwayat dari Umar dan Ibnu Mas’ud, bahwa mereka bertakbir:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَ اَللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ
“Allah mahabesar.
Allah mahabesar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Allah
mahabesar, dan milik Allah segala pujian.”
Hal ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, yakni dengan menyebutkan lafaz Allahu akbar
2 x, sedangkan dalam riwayat lain milik Ibnu Abi Syaibah juga dengan
menyebutkan tiga kali lafaz Allahu akbar, meskipun yang lebih terkenal adalah
yang menyebutkan 2 x (Lihat Al Irwa 3/125-126).
Imam Baihaqi
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ucapan takbirnya,
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ اَللهُ اَكْبَرُ وَاَجَلُّ اَللهُ اَكْبَرُ عَلىَ مَاهَدَانَا
“Allah mahabesar.
Allah mahabesar. Allah mahabesar, dan untuk Allah segala puji. Allah Mahabesar
dan Mahaagung. Allah Mahabesar atas petunjuk-Nya kepada kami.”
Wa
shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam
walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid
Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus
Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar