Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة العيدين‬‎
Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat ‘Ied (Hari Raya) yang banyak kami rujuk kepada kitab Fiqhus sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
10. Orang yang sah melakukan shalat Ied
Shalat Ied sah dilakukan oleh laki-laki dan wanita baik mereka sedang safar maupun mukim, baik secara berjamaah maupun masing-masing, di rumah, masjid, atau di lapangan.
Barang siapa yang tertinggal dari shalat Ied berjamaah, maka hendaknya ia mengerjakan shalat Ied dua rakaat. Imam Bukhari berkata, “Bab: Apabila tertinggal shalat Ied, maka ia kerjakan dua rakaat.”
Demikian pula bagi kaum wanita, mereka yang berada di rumah, atau di dusun-dusun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
هَذَا عِيْدُنَا أَهْلُ الْاِسْلاَمِ
“Ini adalah hari raya kita kaum muslim.”
Anas bin Malik pernah menyuruh maula (budak yang dimerdekakann)nya, yaitu Ibnu Abi Utbah agar mengumpulkan orang-orang di sudut rumahnya, lalu Anas mengumpulkan istri dan anaknya lalu shalat sebagaimana penduduk suatu kota shalat dan melakukan takbir seperti mereka.
Ikrimah berkata, “Penduduk As Sawad pernah berkumpul untuk shalat Ied, mereka melakukan shalat Ied dua rakaat sebagaimana yang dilakukan imam.”
Atha berkata, “Apabila seseorang tertinggal shalat Ied, maka ia kerjakan shalat dua rakaat,”
11. Khutbah Ied
Dari Abu Sa’id ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adh-ha ke lapangan[i], dan yang pertama kali Beliau lakukan adalah shalat, kemudian Beliau salam lalu berdiri menghadap manusia, sedangkan manusia duduk di shaf mereka. Ketika itu, Beliau menasihati, mewasiatkan, dan memerintahkan mereka. Jika Beliau hendak mengirim pasukan dan hendak memerintahkan mereka, maka Beliau melakukannya saat itu. Setelah itu, pulang.”
Abu Sa’id juga berkata, “Manusia tetap keadaannya demikian sehingga aku keluar bersama Marwan dalam shalat Idul Fitri atau Idul Adh-ha yang ketika itu ia menjabat sebagai gubernur Madinah. Ketika kami tiba di lapangan, ternyata mimbarnya dibuat oleh Katsir bin Ash Shalt. Saat itu Marwan hendak menaiknya sebelum shalat, maka aku menarik bajunya, tetapi ia membalas tarikan itu dan naik ke atas mimbar, lalu ia berkhutbah sebelum shalat, maka aku berkata kepadanya, “Demi Allah, kamu telah merubah!” Marwan menjawab, “Wahai Abu Sa’id, apa yang engkau ketahui sekarang sudah hilang.” Abu Sa’id berkata, “Demi Allah, yang aku ketahui lebih baik daripada yang aku tidak ketahui.” Ia menjawab, “Sesungguhnya manusia tidak mau duduk kepada kami jika (khutbah) setelah shalat, maka aku jadikan sebelum shalat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin As Saib ia berkata, “Aku pernah hadir shalat Ied bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah selesai shalat, Beliau bersabda,
«إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ»
“Kami akan berkhutbah. Barang siapa yang ingin duduk mendengarkan khutbah, silahkan duduk. Dan barang siapa yang ingin pergi, silahkan pergi.” (Hr. Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Riwayat yang menyebutkan, bahwa pada pelaksanaan Ied ada dua kali khutbah yang disela-selanya imam duduk adalah dha’if.”
Imam Nawawi berkata, “Tidak sahih sama sekali adanya beberapa kali khutbah.”
Dianjurkan mengawali khutbah dengan hamdalah (ucapan Alhamdulillah), dan tidak dihafal dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain itu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengawali semua khutbahnya dengan hamdalah, dan tidak dihafal dari Beliau dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Beliau mengawali kedua khutbah Ied dengan takbir, namun Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunannya dari Sa’id muazin Nabi shallallahu alaihi sallam, bahwa Beliau bertakbir di sela-sela khutbah dan memperbanyak takbir pada khutbah Ied[ii]. Meskipun demikian, hal ini tidak menunjukkan, bahwa khutbah Ied diawali dengan takbir.
Para ulama berbeda pendapat tentang mengawali khutbah Ied dan khutbah shalat Istisqa (minta kepada Allah agar diturunkan hujan). Ada yang mengatakan, bahwa kedua khutbah itu diawali dengan takbir, ada pula yang mengatakan, bahwa khutbah istisqa diawali istighfar, dan ada pula yang mengatakan, bahwa kedua khutbah itu diawali hamdalah.
Syaikhul Islam Taqiyyuddin berkata, “Inilah yang benar, karena Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda,
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ فَهُوَ أَجْذَمُ
“Setiap perkara yang tidak diawali hamdalah, maka perkara itu kurang.” [iii]
Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa mengawali semua khutbahnya dengan hamdalah. Adapun pernyataan banyak para Ahli Fiqih, bahwa untuk khutbah shalat istisqa diawali dengan istighfar dan khutbah dua hari raya diawali dengan takbir, maka tidak ada di sana sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sama sekali, bahkan dalam As Sunnah menyelisihi hal itu, yaitu mengawali semua khutbah dengan hamdalah.”
2. Mengqadha shalat Ied
Abu Umair bin Anas berkata, “Para pamanku dari kalangan Anshar sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepadaku, bahwa suatu ketika hilal (bulan sabit) bulan Syawwal tertutup bagi mereka, dan pada pagi harinya mereka masih berpuasa, lalu datang rombongan di akhir siang dan bersaksi di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruh para sahabat berbuka dan keluar untuk shalat Ied keesokan harinya.” (Hr. Ahmad, Nasa’I, dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)
Dalam hadits ini terdapat hujjah bagi mereka yang berpendapat bahwa sekumpulan orang apabila tertinggal shalat Ied karena ada uzur, maka mereka keluar untuk shalat Ied pada keesokan harinya.
13. Bermain, bersuka ria,  bersenandung, dan makan-makan pada hari raya
Permainan yang mubah, bersuka ria, bersenandung yang baik dan bersenang-senang pada hari raya termasuk syiar agama yang Allah syariatkan pada hari raya sebagai hiburan bagi jasmani dan penyegaran jiwa.
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari dimana mereka bersuka ria pada kedua hari itu, maka Beliau bersabda,
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Sebelumnya kalian memiliki dua hari, dimana kalian bersuka ria pada keduanya, namun Allah telah mengganti dengan yang lebih baik daripada keduanya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adh-ha.” (Hr. Nasa’i dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani)
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Kaum Habasyah pernah bermain pada hari raya di dekat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu aku melihatnya dari balik pundak Beliau, kemudian Beliau merendahkan pundaknya, sehingga aku dapat melihat mereka dari pundaknya hingga aku puas, lalu aku berpaling.” (Hr. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Para periwayat hadits di atas juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Abu Bakar pernah menemui kami pada hari raya sedangkan kami memiliki dua gadis kecil yang bersenandung menyebutkan peristiwa Bu’ats[iv], peristiwa dimana pada hari itu terbunuh para pahlawan Aus dan Khazraj, lalu Abu Bakar berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, bukankah itu nyanyian setan?!” Ia mengucapkan kata-kata itu tiga kali, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَإِنَّ الْيَوْمَ عيدنا
“Wahai Abu Bakar, sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.”
Sedangkan dalam lafaz Bukhari disebutkan, bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemuiku, sedangkan di dekatku ada dua gadis kecil yang bernyanyi dengan nyanyian Bu’ats, lalu Beliau berbaring di atas tempat tidurnya dan memalingkan mukanya, kemudian Abu Bakar masuk dan membentakku serta berkata, “Apakah nyanyian setan ada di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam?” Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Biarkanlah kedua gadis kecil itu.” Saat Beliau lengah, maka aku berisyarat kepada keduanya lalu mereka berdua keluar. Pada hari  raya orang-orang berkulit hitam memainkan perisai dan tombak, terkadang aku meminta Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melihat dan terkadang Beliau bertanya, “Kamu ingin melihat?” Aku menjawab, “Ya,” maka Beliau menegakkanku di belakangnya, pipiku di pipinya sedangkan Beliau bersabda, “Lanjutkanlah wahai Bani Arfadah (panggilan untuk orang-orang Habasyah),” sehingga ketika aku telah bosan, Beliau bertanya, “Apakah sudah cukup?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau pun bersabda, “Kalau begitu pergilah,”
Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “As Siraj meriwayatkan dari jalan Abuz Zanad dari Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika itu bersabda,
لِتَعْلَمَ يَهُوْدُ الْمَدِيْنَةِ أَنَّ فِي دِيْنِنَا فُسْحَةٌ، إِنِّي بُعِثْتُ بِحَنِيْفِيَّةٍ سَمْحَةٍ
“Agar orang-orang Yahudi Madinah tahu bahwa dalam agama kita ada kelonggaran. Sesungguhnya aku diutus membawa agama yang lurus dan mudah.”
Dalam riwayat Ahmad dan Muslim dari Nubaisyah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَياَّمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ، وَذِكْرٍ ِللهِ عَزَّوَجَلَّ
“Hari tasyriq adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.”
14. Keutamaan beramal saleh pada 10 pertama bulan Dzulhijjah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ»
“Tidak ada hari dimana beramal saleh pada hari-hari itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini,” maksudnya 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sekalipun jihad fi sabillah?”
Beliau bersabda,
«وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ»
“Sekalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang yang keluar dengan jiwa-raga dan hartanya kemudian tidak bersisa lagi.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Muslim dan Nasa’i)
Ibnu Umar dan Abu Hurairah pada sepuluh pertama bulan Dzulhijjah keluar ke pasar sambil bertakbir dan manusia pun bertakbir mengikutinya (Hr. Bukhari)
Sa’id bin Jubair saat memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sangat bersungguh-sungguh sekali beribadah sehingga hampir saja tidak ada yang mampu menandinginya.
Al Auza’i berkata, “Sampai berita kepadaku, bahwa beramal saleh pada salah satu hari di antara sepuluh pertama bulan Dzulhijjah seperti berperang di jalan Allah yang siangnya dia berpuasa dan malamnya berjaga kecuali jika seseorang sampai mati syahid.” Ia berkata, “Seorang dari Bani Makhzum menyampaikan hadits ini kepadaku dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
Bersambung...
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.


[i] Jaraknya dengan masjid Madinah kira-kira 1.000 hasta.
[ii] Menurut Syaikh Al Albani bahwa isnad hadits ini dhaif, karena ada seorang yang dhaif di samping ada seorang yang majhul, sehingga tidak bisa dipakai alasan untuk mengatakan disunnahkan bertakbir di sela-sela khutbah.
[iii] Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits di atas namun dengan lafaz kullu kalaamin laa yubda’u…dst. Namun hadits ini dinyatakan dhaif oleh Syaikh Al Albani rahimahullah.
[iv] Bu’ats adalah nama benteng milik suku Aus. Peristiwa Bu’ats adalah peristiwa yang masyhur di kalangan bangsa Arab, dimana pada saat itu terjadi peperangan besar antara Aus dan Khazraj.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger