بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih
Shalat Ied/Hari
Raya (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang fiqih shalat ‘Ied (Hari Raya)
yang banyak kami rujuk kepada kitab Fiqhus sunnah karya Syaikh Sayyid
Sabiq rahimahullah, semoga Allah Subhaanahu wa
Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Pengantar
Shalat Iedain (dua
hari raya) disyariatkan pada tahun pertama hijriah. Hukumnya sunnah mu’akkadah
(sangat ditekankan), dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam senantiasa
melakukannya dan memerintahkan kaum pria dan wanita menghadirinya.
Ada beberapa
pembahasan terkait shalat Iedain seperti yang akan kami sebutkan di
bawah ini:
1.
Anjuran mandi, mengenakan wewangian, dan memakai pakaian yang paling bagus pada
hari raya
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenakan kain
burdah berwarna merah pada hari raya. (Hr. Thabrani dalam Al Awsath, dishahihkan
oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1279)
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenakan pakaian
yang paling bagus, dan Beliau memiliki pakaian (khusus) yang Beliau pakai untuk
hari raya dan shalat Jumat.”
2.
Makan dulu sebelum berangkat shalat Idul Fitri, tidak pada shalat Idul Adh-ha
Disunahkan makan
beberapa butir kurma dalam jumlah ganjil sebelum berangkat shalat Idul Fitri,
dan menunda makan pada shalat Idul Adh-ha hingga setelah pulang dari lapangan
shalat Ied, lalu makan dari daging hewan kurbannya jika ia berkurban.
Dari Anas, bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya Idul Fitri
sampai makan beberapa butir kurma, dan Beliau makan dalam jumlah ganjil. (Hr.
Ahmad dan Bukhari)
Dari Buraidah ia
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasanya tidak berangkat pada hari
raya Idul Fitri hingga Beliau makan, dan tidak makan pada hari raya Idul Adh-ha
hingga Beliau pulang.” (Hr. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, dishahihkan oleh
Al Albani. Ahmad menambahkan, “Lalu Beliau makan dari daging hewan kurbannya.”)
Dalam Al
Muwaththa dari Sa’id bin Al Musayyib disebutkan, bahwa manusia
diperintahkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri.
Ibnu Qudamah
berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan tentang anjuran makan dulu
sebelum berangkat shalat Idul Fitri.”
3. Keluar
menuju lapangan shalat Ied
Shalat Ied boleh
dilakukan di masjid, namun melakukannya di lapangan di luar kampung lebih utama[i],
tentunya ketika tidak ada uzur seperti hujan dan sebagainya. Hal itu, karena
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat Ied di lapangan[ii], dan
tidak melakukan shalat Ied di masjidnya selain sekali saja karena uzur hujan.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa para sahabat terkena guyuran hujan pada hari
raya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Ied dengan mereka di
masjid. (Hr. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim. Dalam isnadnya ada seorang yang
majhul. Al Hafizh dalam At Talkhish berkata, “Isnadnya dha’if.” Adz
Dzahabi berkata, “Hadits ini munkar.”)
4.
Ikut sertanya kaum wanita dan anak-anak ke lapangan shalat Ied
Disyariatkan
kaum wanita dan anak-anak keluar ke lapangan untuk shalat Ied, baik gadis,
janda, wanita muda maupun wanita tua, bahkan sekalipun wanita haidh. Hal ini
berdasarkan hadits Ummu Athiyyah ia berkata, “Kami diperintahkan untuk
mengeluarkan wanita gadis dan wanita haidh pada hari raya, agar mereka
menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin, namun wanita haidh menjauhi
lapangan shalat Ied.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku pernah keluar bersama Nabi shallallahu
alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri atau Idul Adh-ha, lalu Beliau shalat,
setelah itu berkhutbah, kemudian mendatangi kaum wanita, menasihati mereka,
mengingatkan, dan memerintahkan mereka bersedekah.” (Hr. Bukhari)
5.
Melewati jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulang)
Kebanyakan Ahli
Ilmu berpendapat tentang sunnahnya menuju lapangan shalat Ied melalui jalan
yang berbeda dengan pulangnya, baik ia sebagai imam maupun makmum.
Dari Jabir
radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari raya
melewati jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulangnya).” (Hr. Bukhari)
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam
biasanya ketika hari raya pulang melewati jalan yang berbeda ketika berangkatnya.”
(Hr. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi)
6.
Waktu shalat Ied
Waktu shalat Ied
dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak (kurang lebih tiga meter)
sampai matahari tergelincir.
Jundab berkata,
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam
shalat Idul Fitri bersama kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan
melakukan shalat Idul Adh-ha ketika matahari setinggi satu tombak.”
Imam Syaukani
berkata, “Hadits ini merupakan hadits terbaik terkait penentuan waktu shalat
Ied.”
Syaikh Al Albani
berkata, “Ya, jika hadits itu shahih.” Dalam Al Irwa ia berkata, “Akan
tetapi Al Mu’alla bin Hilal yang merupakan salah satu rawi dalam isnadnya
adalah seorang yang disepakati para kritikus tentang kedustaannya sebagaimana
dikatakan Al Hafizh dalam Taqribnya.”
Hanyasaja ada
hadits shahih terkait hal ini dari Abdullah bin Busr, bahwa ia pernah keluar
bersama manusia untuk shalat Idul Fitri atau Idul Adh-ha, namun ia mengingkari
keterlambatan imam, ia berkata, “Kami ketika bersama Nabi shallallahu alaihi wa
sallam sudah selesai di waktu ini. Hal itu terjadi ketika waktu tasbih (shalat
Dhuha).” (Lihat Tamamul Minnah)
Ibnu Qudamah
berkata, “Disunahkah memajukkan pelaksanaan shalat Idul Adh-ha agar waktu
berkurban semakin lapang, dan disunahkan menunda pelaksanaan shalat Idul Adh-ha
agar waktu pengeluaran zakat Fitri semakin longgar, dan aku tidak mengetahui
adanya khilaf dalam hal ini.”
7.
Azan dan Iqamat untuk shalat Ied
Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila
sampai di lapangan segera memulai shalat tanpa azan dan iqamat, dan tanpa
ucapan “Ash Shalatu Jaami’ah.” Bahkan sunnahnya adalah tidak melakukan semua
itu.”
Dari Ibnu Abbas
dan Jabir radhiyallahu anhum, bahwa keduanya berkata, “Tidak dikumandangkan
azan pada hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adh-ha.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Dalam riwayat
Muslim dari Atha, ia berkata, “Jabir memberitahukan kepadaku, bahwa tidak ada
azan untuk shalat Idul Fitri saat imam belum hadir maupun setelah hadir,
demikian pula tidak dikumandangkan iqamat dan panggilan apa pun. Dengan
demikian, ketika itu tidak ada azan maupun iqamat.”
8.
Takbir pada shalat Ied
Shalat Ied
terdiri dari dua rakaat, dimana pada rakaat pertama
disunnahkan seseorang bertakbir sebelum membaca Al Fatihah sebanyak tujuh kali
takbir setelah takbiratul ihram, sedangkan para rakaat kedua disunahkan
bertakbir lima kali di luar takbir bangkit dari sujud untuk berdiri, sambil mengangkat kedua tangan di setiap kali takbir[iii].
Dari Amr bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bertakbir pada shalat Ied dua belas kali takbir; tujuh takbir pada rakaat
pertama, dan lima takbir pada rakaat kedua. Beliau juga tidak melakukan shalat
sebelum dan setelahnya.” (Hr. Ahmad dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih lighairih
oleh Syaikh Al Albani)
Imam Ahmad
berkata, “Saya berpegang kepada hadits ini.”
Dalam riwayat
Abu Dawud dan Daruquthni disebutkan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
اَلتَّكْبِيْرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُوْلَى
وَخَمْسٌ فِي الْآخِرَةِ، وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا
“Takbir dalam
shalat Idul Fitri tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat
kedua. Bacaan Al Qur’an dilakukan setelah takbir itu.”
Inilah pendapat
yang paling kuat, dan menjadi madzhab mayoritas Ahli Ilmu dari kalangan
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Ibnu Abdil Bar
berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari
jalur-jalur yang hasan, bahwa Beliau bertakbir pada shalat Iedain tujuh kali
pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua berasal dari hadits
Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Jabir, Aisyah, Abu Waqid, dan Amr bin Auf Al
Muzzanniy.”
Bahkan tidak ada
riwayat yang shahih maupun dhaif yang menyelisihi hal ini, dan hal ini juga
yang pertama kali dilakukan[iv].
Nabi shallallahu
alaihi wa sallam diam sejenak antara masing-masing takbir, namun tidak dihafal
dari Beliau dzikir tertentu antara takbir-takbir itu, akan tetapi Thabrani dan
Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang kuat[v] dari
ucapan dan praktek Ibnu Mas’ud, bahwa ia memuji Allah dan menyanjung-Nya serta
bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam[vi].
Dan telah
diriwayatkan demikian dari Hudzaifah dan Abu Musa.
Namun perlu
diketahui, bahwa takbir ini sunah, yang jika ditinggalkan baik sengaja atau
lupa tidak membuat shalat Ied batal.
Ibnu Qudamah
berkata, “Aku tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
Imam Syaukani
bahkan menguatkan, bahwa apabila takbir ini ditinggalkan karena lupa, maka
tidak perlu sujud sahwi.
9.
Shalat sunah sebelum shalat Ied dan setelahnya
Tidak ada
riwayat yang shahih bahwa shalat Ied ada shalat sunnah qabliyyah maupun
ba’diyyah. Tidak ada riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para
sahabatnya saat tiba di lapangan melakukan shalat baik sebelumnya maupun
setelahnya.
Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar
pada hari raya lalu shalat dua rakaat (shalat Ied), dan tidak melakukan shalat
sebelumnya maupun setelahnya.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu anhuma, bahwa ia pernah keluar pada hari raya, namun ia tidak
melakukan shalat sebelumnya maupun setelahnya, dan ia sebutkan, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melakukan seperti yang dilakukannya.
Imam Bukhari
menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ia (Ibnu Abbas) membenci shalat
sebelum shalat Ied.
Adapun shalat
sunah mutlak, maka Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fat-h berkata, “Tidak
ada dalil khusus yang melarang, kecuali jika dilakukan pada waktu yang makruh
seperti pada hari-hari lainnya.”
Bersambung...
Wa
shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam
walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid
Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus
Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.
[i] Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan, bahwa lapangan di luar kampung
lebih utama selain Mekkah, karena shalat Ied di Masjidil Haram lebih utama.
[ii] Yakni lapangan di pintu timur kota Madinah.
[iii] Diriwayatkan demikian dari Umar dan anaknya. Menurut Syaikh Al
Albani, bahwa riwayat dari Umar ini sanadnya dha’if, adapun dari anaknya, maka
ia tidak mengetahui riwayat itu sampai saat ini.
[iv] Menurut ulama madzhab Hanafi, bahwa takbir pada rakaat pertama tiga
kali setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca Al Qur’an, sedangkan pada
rakaat kedua juga tiga kali setelah membaca Al Qur’an.
[v] Namun menurut Syaikh Al Albani
dalam Tamamul Minnah, bahwa pada sanad Thabrani terdapat
keterputusan sebagaimana yang dinyatakan Haitsami dalam Al Majma, adapun isnad Baihaqi, maka dianggap cacat oleh
Ibnu Turkumani dalam Al Jauharun Naqiy, bahwa dalam sanadnya terdapat
seorang yang perlu dikaji keadaannya. Syaikh Al Albani berkata, “Mungkin
orang yang diisyaratkan itu adalah Muhammad bin Ayyub, namun aku tidak
mengenalinya. Dalam lingkup para perawi ada sekumpulan orang yang memiliki nama
ini, bahkan Ibnul Qayyim telah mengisyaratkan dalam Zadul Ma’ad tentang
kelemahan atsar dari Ibnu Mas’ud ini, dan itulah yang lebih rajah (kuat). Ibnut
Turkumani juga menguatkan dengan mengatakan, “Baihaqi telah menyebutkan
perkataan Ibnu Mas’ud pada bab sebelumnya dari beberapa jalan, sedangkan Ibnu
Abi Syaibah menyebutkannya dari jalan yang lebih banyak dari itu, dan
disebutkan pula oleh selain keduanya, namun tidak disebutkan dzikir antara
masing-masing takbir. Menurut kami, tidak ada riwayat demikian dalam hadits
yang bersanad dan dari salah seorang kaum salaf kecuali pada jalur yang lemah
ini, sedangkan dalam hadits Jabir yang disebutkan setelah ini dan dalam
sanadnya juga terdapat seorang yang masih butuh perlu disingkap keadaannya, di
samping terdapat Ali bin Ashim, dimana Yazid bin Harun berkata tentangnya,
“Kami senantiasa mengenalinya dengan suka berdusta.” Ia juga berkata, “Kalau
hal itu disyariatkan, tentu dinukilkan kepada kita dan tentu kaum salaf
radhiyallahu anhum tidak akan melalaikannya.”
Syaikh Al
Albani berkata, “Lalu aku menemukan jalur lain untuk atsar Ibnu Mas’ud ini saat
aku mentahqiq kitab Fadhlush Shalati alan Nabi shallallahu alaihi wa sallam karya
Ismail Al Qadhiy, dan aku sebtutkan di sana bahwa isnadnya hasan, dan
dishahihkan oleh Al Hafizh As Sakhawi dalam Al Qaulul Badi fish Shalati alal
Habibisy Syafi hal. 151 cet. Hindiyyah, lihat Fadhlush Shalah 37/38
cet. Al Maktab Al Islami, juga lihat Al Irwa no. 642.”
[vi] Imam Ahmad dan Syafi’i menganjurkan untuk memisah antara
masing-masing takbir dengan dzikrullah, seperti mengucapkan ‘Subhaanallah
wal hamdulillah wa Laailaahaillallah wallahu akbar’. Akan tetapi menurut
Abu Hanifah dan Malik, bahwa takbir diucapkan secara berurutan tanpa diselahi
dzikir.
0 komentar:
Posting Komentar