Fiqih Darurat

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الضرورات تبيح المحظورات‬‎
Fiqih Darurat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang fiqih darurat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Ta’rif (definisi) Darurat
Para fuqaha (Ahli Fiqih) terdahulu memberikan beberapa definisi terkait tentang darurat, intinya bahwa darurat adalah kondisi terpaksa yang jika seseorang tidak melakukan yang diharamkan, maka dirinya akan binasa atau hampir binasa. Binasa atau hampir binasa ini didasari oleh hal yang yakin atau perkiraan kuat.
Dalam kondisi darurat, ada kaidah fiqih yang masyhur, yaitu:
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kondisi darurat membolehkan yang diharamkan.”
Kaidah ini didasari oleh firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Baqarah: 173)
Allah membolehkan mengkonsumsi yang haram karena darurat, karena Dia menginginkan kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan bagi kita (lihat Qs. Al Baqarah: 185 dan Qs. Al Maidah: 6), bahkan Dia hendak memberikan keringanan kepada kita (lihat Qs. An Nisaa: 28), Dia juga Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya sehingga menetapkan syariat ini.
Contoh Kondisi Darurat
Para fuqaha (Ahli Fiqih) sepakat, bahwa orang yang kelaparan yang berada dalam kondisi darurat yang tidak memperoleh makanan yang halal untuk menghindarkan kebinasaan dari dirinya, maka tidak mengapa mengkonsumsi yang haram apabila tidak mendapati selainnya. Orang tersebut boleh memakan yang haram namun seukuran yang dapat menghilangkan kondisi darurat (tanpa berlebihan), karena Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Maidah: 3)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala juga berfirman,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs. An Nahl: 106)
Oleh karena itu, apabila seorang muslim diancam akan disiksa dengan sebenarnya sampai ia mau mengucapkan kata-kata kufur, namun hatinya tetap tenang dengan keimanan, maka dia tidak kafir karena kata-kata itu.
Termasuk juga tidak mengapa menolak gangguan orang yang menganiayanya meskipun sampai membuat penganiaya itu terbunuh.
Akan tetapi, dalam keadaan bagaimanakah suatu keadaan dianggap sebagai darurat? Dan apa maksud darurat? Apakah setiap kesulitan yang dirasakan dianggap sebagai darurat?
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa darurat adalah kondisi dimana jika tidak dilakukan perkara haram itu maka dirinya akan binasa atau mendapatkan bahaya berat yang menimpa salah satu dari yang lima ini; agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan. Ketika inilah tidak mengapa bagi seseorang mendatangi yang haram karena darurat.
Perhatikan pernyataan ini ‘maka dirinya akan binasa atau mendapatkan bahaya yang berat’ seperti akan hilangnya anggota badannya, maka dalam kondisi ini ia boleh melakukan yang haram itu karena darurat.
Pernyataan ini juga butuh perincian. Oleh karenanya, kita tidak boleh meninggalkan jihad fi sabilillah karena untuk menjaga jiwa sambil mengatakan, “Meninggalkan jihad adalah darurat, karena jihad menyebabkan nyawa terbunuh.” Bahkan tidak demikian, karena menjaga agama jauh lebih tinggi, sedangkan jihad sesuatu yang mesti untuk menjaga agama.
Di samping itu, dalam hal darurat ada perkara yang didahulukan dan diakhirkan. Misalnya kerongkongan seseorang tersumbat suatu makanan, dimana ia tidak memperoleh untuk memasukkan makanan itu kecuali khamr (arak) agar dapat menelan makana itu, karena jika tidak maka ia akan meninggal dunia, maka ia diperbolehkan mengkonsumsi khamr sekedar untuk memasukkan sumbatan makanan itu dan menyelamatkan dirinya dari kebinasaan sekalipun mengakibatkan bahaya pada akalnya.
Batasan Darurat
Menggunakan kaedah “Adh Dharuratu tubihul mahzhuraat” (kondisi darurat menghalalkan yang haram) ada batasannya, yaitu:
Pertama, seseorang tidak boleh menjatuhkan dirinya dalam kondisi darurat.
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang membinasakan hartanya dan makanannya yang halal, dimana dirinya mengetahui bahwa setelahnya ia terpaksa mengkonsumsi yang haram, maka orang ini berdosa karena menjatuhkan dirinya ke dalam kondisi darurat.
Kedua, adanya kondisi darurat dan  tidak ada sarana untuk menyingkirkan darurat kecuali dengan yang haram, dan perkara haram ini secara pasti dapat menghilangkan darurat itu; bukan didasari perkiraan yang tidak kuat (ragu-ragu).
Ketiga, darurat disesuaikan dengan ukuran atau kadarnya.
Oleh karena itu, jika seseorang terpaksa harus berdusta padahal ia masih bisa melakukan tauriyah (pernyataan yang mengandung beberapa kemungkinan yang bisa masuk ke dusta atau benar), maka tidak boleh baginya berdusta.
Jika seseorang dipaksa mengucapkan kata-kata kufur, maka hatinya tidak boleh ikut kufur.
Jika seseorang boleh tayammum karena darurat, maka setelah mampu menggunakan air, ia tidak boleh lagi bertayammum.
Termasuk juga tidak boleh bagi seorang dokter laki-laki menyingkap bagian yang sakit dari aurat wanita, kecuali sesuai ukuran bagian yang sakit; tidak melebihinya, tentunya setelah sebelumnya wanita atau mahramnya mencarikan dokter wanita terlebih dahulu. Di samping itu, harus didampingi mahramnya, dan jika cukup dengan dilihat, maka tidak boleh disentuh, dan jika bisa memakai penghalang, maka tidak boleh menyentuh langsung. Demikian juga jika untuk pemeriksaan hanya cukup sebentar, maka tidak boleh lama-lama disingkap.
Keempat, bahaya tidak boleh disingkirkan dengan yang semisalnya atau yang lebih berbahaya lagi daripadanya.
Oleh karena itu, jika seseorang berkata kepadanya, “Bunuhlah si fulan! Jika tidak, maka aku akan rampas hartamu,” maka tidak baginya membunuh orang itu. Bahkan kalau pun seseorang berkata kepadanya, “Bunuhlah si fulan! Jika tidak, maka kami akan membunuhmu.” Padahal si fulan itu seorang muslim yang terpelihara darahnya, maka tidak boleh menurutinya dengan membunuhnya, karena jiwa yang satu dengan yang lain adalah sama terpelihara, maka bagaimana diperbolehkan membunuh muslim yang lain demi menyelamatkan dirinya? Oleh karena itu, para ulama berkata, “Tidak boleh bagi tentara muslim memerangi tentara muslim tanpa alasan yang benar meskipun mereka dipaksa (akan dibunuh).”
Demikian pula apabila seorang tentara muslim dipaksa memberitahukan musuh jalan untuk menembus negeri muslim agar mereka dapat menguasainya, maka tidak boleh baginya menunjukkannya kepada musuh.
Kelima, waktu kebolehan mendatangi yang haram dibatasi selama masih dalam kondisi darurat.
Faedah:
1. Apa batasan paksaan yang jika menimpa seseorang, maka diperbolehkan melakukan yang haram? Yakni apakah ketika seseorang diancam akan dicambuk sekali atau dua kali cukup membuat seseorang melakukan yang diharamkan?
Para Ahli fiqih berkata, “Cambukan yang dianggap ikrah (terpaksa dan darurat) adalah cambukan atau pukulan yang dapat mengakibatkan nyawa melayang, atau salah satu anggota badan binasa, atau menerima rasa sakit yang tidak sanggup dipikulnya.”
2. Paksaan yang menjadikan kondisi darurat juga syaratnya adalah: (a)  orang yang memaksa mampu melakukan ancaman itu, (b) orang yang dipaksa tahu atau memiliki perkiraan kuat bahwa pemaksa mampu menjalankan ancaman itu, (c) orang yang dipaksa tidak mampu menyingkirkan hal itu dari dirinya baik dengan melawan atau melarikan diri, (d) ancaman yang ditimpakan kepadanya menggunakan sesuatu yang membuat binasa dirinya atau menimbulkan bahaya besar seperti membuatnya terbunuh atau binasa salah satu anggota badannya, atau penyiksaan yang meninggalkan bekas, atau penjara yang lama, (e) paksaan dilakukan segera, misalnya diancam akan segera dibunuh, sehingga jika ancamannya masih lama diberlakukan seperti besok, atau lusa, maka tidak dianggap sebagai ikrah (paksaan).
 3. Seorang muslim juga harus berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan kondisi darurat yang menimpa dirinya.
Para ulama berkata, “Ketika diperbolehkan bagi kaum muslim pada suatu masa mengadakan perdamaian dengan musuh karena darurat setelah terpenuhi syarat syar’i, maka kaum muslim harus berusaha keluar dari kondisi darurat itu yang membuat mereka terpaksa berdamai dengan musuh.”
Maksud terpenuhi syarat syar’i adalah ketika yang melakukan shulh (damai) adalah khalifah kaum muslim yang diangkat mereka atau wakilnya yang diangkat oleh khalifah, dan bahwa shulh itu lebih baik bagi kaum muslim dan tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar, dan tentunya waktunya dibatasi sebagaimana yang diterangkan para Ahli Fiqih, dimana batas maksimalnya adalah 10 tahun berdasarkan Shulhul Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Meskipun begitu, kaum muslim harus berusaha menyingkirkan kelemahan dari diri mereka, dan berusaha memperkuat diri dan melakukan persiapan untuk menghadapi musuh.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: At Tasahul fil ihtijaj bidh dharurah (Khutbah Syaikh M. Bin Shalih Al Munajjid), https://islamqa.info , https://www.alukah.net/sharia/0/122270/ dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger