بسم
الله الرحمن الرحيم
Fatwa Ulama Seputar Zakat (3)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Allah Subhaanhu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43)
Berikut kami hadirkan fatwa ulama seputar zakat, semoga Allah menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Pemberian Zakat Kepada Penuntut Ilmu
Pertanyaan: Apa hukum memberikan zakat kepada penuntut
ilmu?
Jawab: Penuntut ilmu yang fokus menuntut ilmu
syar’i meskipun ia mampu bekerja boleh diberi zakat, karena menuntut ilmu
bagian dari jihad fi sabilillah, sedangkan Allah Tabaraka wa Ta’ala menjadikan
jihad fi sabilillah sebagai salah satu pihak yang berhak menerima zakat. Dia
berfirman,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (Qs. At Taubah: 60)
Adapun penuntut ilmu yang fokus menuntut ilmu
duniawi, maka tidak diberikan zakat, dan kita katakan kepadanya, ”Engkau
sekarang berbuat untuk dunia, dan engkau bisa memperoleh dunia dengan
pekerjaanmu, sehingga kami tidak berikan zakat.”
Akan tetapi kalau kita temukan seseorang
mampu berusaha untuk makan, minum, dan bertempat tinggal, tetapi ia butuh
menikah namun tidak memiliki biaya untuk menikah, maka bolehkah kita memberinya
dari zakat untuk ia menikah? Jawab, ”Ya, boleh bagi kita menikahkanya dengan
harta zakat dan diberi mahar secara utuh.”
Jika ada yang bertanya, ”Mengapa menikahkan
orang yang fakir dari harta zakat boleh meskipun yang diberikan kepadanya
banyak?” Kita katakan, ”Karena kebutuhan manusia untuk menikah terkadang
mendesak seperti butuhnya ia kepada makan dan minum.” Oleh karena itu, Ahli
Ilmu berkata, ”Wajib bagi orang yang menafkahi seseorang menikahkannya jika
hartanya cukup untuk itu.” Oleh karenanya, wajib bagi seorang ayah menikahkan
puteranya jika putranya butuh menikah sedangkan putranya tidak memiliki biaya
untuk menikah. Akan tetapi saya mendengar sebagian orang tua yang melupakan
keadaan mereka sewaktu muda saat anaknya minta menikah, ia malah berkata,
”Menikahlah dengan keringat dahimu (dari usahamu sendiri),” Ini tidak boleh dan
haram baginya jika ia mampu menikahkannya, dan kelak anaknya akan protes
kepadanya pada hari Kiamat jika orang tuanya tidak mau menikahkannya padahal
mampu.
Namun di sini ada sebuah permasalahan, yaitu
jika seseorang memiliki beberapa anak; dimana di antara mereka ada yang sudah
mencapai usia menikah, lalu ia menikahkannya, dan di antara mereka ada yang
masih kecil, apakah boleh baginya mewasiatkan sesuatu dari hartanya berupa
mahar untuk anak-anaknya yang masih kecil karena ia telah memberikan kepada
anaknya yang dewasa? Jawab, ”Tidak boleh bagi seseorang yang menikahkan
anak-anaknya yang besar untuk memberikan wasiat berupa mahar untuk anak-anaknya
yang kecil, akan tetapi wajib baginya ketika salah seorang anaknya mencapai
usia menikah untuk menikahkannya seperti anaknya yang pertama. Adapun berwasiat
untuknya setelah dirinya meninggal, maka hukumnya haram. Dalilnya adalah sabda
Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ
لِوَارِثٍ
”Sesungguhnya Allah telah memberikan hak
kepada yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat untuk Ahli Waris.” (Hr. Abu
Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani) (Fatawa
Arkanil Islam 51/440)
Seseorang Memberikan Zakat Kepada Keluarganya
Yang Ushul (Ayah dst. Ke atas) dan Yang Furu (Anak dst. Ke bawah)
Pertanyaan: Apa hukum seseorang memberikan zakat kepada
ushul dan furunya?
Jawab: Memberikan zakat baik kepada ushul
maupun furu, yakni kepada ayah, ibu dan seterusnya ke atas atau kepada
putra-putranya dan putri-putrinya dan seterusnya ke bawah jika untuk
menggugurkan kewajiban nafkahnya maka tidak sah, seperti jika seseorang
memberikan zakat untuk menggugurkan nafkah yang wajib ditanggungnya jika mereka
dicukupkan dengan zakat. Tetapi jika tidak untuk menggugurkan kewajibannya maka
sah seperti halnya ketika seseorang membayarkan utang ayahnya yang masih hidup,
atau ia memiliki cucu dan harta putranya tidak bisa menanggung nafkah mereka,
istri dan anak-anaknya, maka diberikan kepada cucunya zakat, karena menafkahi
mereka tidak wajib baginya dalam keadaan ini, sedangkan memberikan zakat kepada
ushul dan furu dalam keadaan yang sah lebih diutamakan daripada kepada selain
mereka, karena di dalamnya terdapat sedekah dan silaturrahim.” (Majmu Fatawa
wa Rasail Ibni Utsaimin 18/415)
Orang Yang Ditanggung Nafkahnya Tidak Berhak
Menerima Zakat
Pertanyaan: Seorang yang memiliki anak atau ibu atau
saudari yang dirinya berkewajiban menafkahi mereka, lalu ia ingin mengeluarkan
zakat, sedangkan anda berpendapat bahwa tidak sah mengeluarkan zakat kepadanya,
maka siapakah yang berkewajiban menafkahi mereka?
Jawab: Setiap orang yang dirinya berkewajiban
menafkahinya, maka tidak boleh memberikan zakat kepadanya sebagai nafkah.
Tetapi jika dalam rangka membayar utang, maka tidak mengapa. Oleh karena itu,
jika misalnya seorang ayah punya utang, sedangkan anak ingin membayarkan
utangnya dari zakatnya, sedangkan ayahnya tidak sanggup membayar utangnya, maka
tidak mengapa. Demikian pula ibu dan anak. Adapun jika engkau memberikan
kepadanya zakatmu karena nafkah maka tidak boleh, karena dengan begitu hartamu
bertambah, sedangkan nafkah wajib kepada kedua orang tua; baik ibu maupun ayah,
anak laki-laki dan perempuan, demikian pula orang yang akan engkau warisi jika
ia meninggal dunia, yakni setiap orang yang jika meninggal dunia maka engkau
akan mewarisinya, maka engkau harus menafkahinya. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذالِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُو"اْ أَوْلَادَكُمْ فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللهَ
وَاعْلَمُو"اْ أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Baqarah: 233)
Allah mewajibkan ahli waris memberikan upah
terhadap penyusuan, karena penyusuan sama dengan nafkah.” (Majmu Fatawa wa
Rasail Ibni Utsaimin 18/416)
Ibu Susu dan Saudari Sepersusuan Diberi Zakat
Pertanyaan: Apakah ibu susu dan saudari sepersusuan
bisa menerima zakat?
Jawab: Ya. Ibu susu dan saudari
sepersusuan bisa menerima zakat apabila termasuk mustahik zakat. Hal itu,
karena ibu susu dan saudari sepersusuan tidak wajib dinafkahi, sehingga bisa
menerima zakat dengan syarat sebagai mustahik zakat. (Majmu Fatawa wa Rasail
Ibni Utsaimin 18/415)
Memberikan Zakat Kepada Ahli Bid’ah
Pertanyaan: Bolehkah memberikan zakat kepada Ahli
Bid’ah?
Jawab: Bid’ah terbagi dua:
Pertama, bid’ah yang dapat menjadikan seseorang
kafir keluar dari Islam. Untuk bid’ah ini, maka tidak boleh memberikan zakat
kepada pelakunya. Misalnya orang yang berkeyakinan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dapat mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepadanya atau
meminta pertolongan kepadanya, atau meyakini bahwa dzat Allah ada di setiap
tempat, atau mengingkari ketinggian Allah Azza wa Jalla di atas seluruh
makhluk-Nya, dan bid’ah-bid’ah semacamnya.
Kedua, bid’ah di bawahnya, yakni yang tidak
menjadikan pelakunya jatuh ke dalam kekafiran, maka pelakunya masih muslim, dan
boleh diberi zakat jika termasuk golongan (yang berhak menerima zakat) yang
disebutkan Allah dalam kitab-Nya. (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin
18/431).
Memberikan Zakat Kepada Orang Kafir, Fasik,
dan Kepada Orang Yang Tidak Shalat
Pertanyaan: Bolehkah memberikan zakat kepada orang
kafir dan fasik, atau memberikannya kepada orang yang tidak shalat, atau
memberikannya kepada orang yang nantinya menggunakannya untuk bermaksiat kepada
Allah?
Jawab: Adapun orang kafir, maka tidak diberikan
zakat kecuali termasuk orang yang dibujuk hatinya untuk memeluk Islam. Jika
termasuk golongan itu, maka tidak mengapa memberikan kepadanya. Adapun orang
fasik dari kalangan kaum muslimin, maka boleh diberi zakat, akan tetapi
memberikannya kepada orang yang lebih baik dalam beragama lebih diutamakan.
Sedangkan orang tidak shalat, maka orang yang meninggalkannya kafir dan murtad,
tidak boleh diberi zakat, karena meninggalkan shalat adalah kekafiran yang
mengeluarkan dari Islam, sehingga tidak termasuk orang yang berhak menerima
zakat kecuali jika ia mau bertaubat dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla dan
menjalankan shalat, maka berhak menerima zakat. Dan tidak sepatutnya memberikan
zakat kepada orang yang menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah Azza wa
Jalla seperti halnya orang yang ketika kita beri harta zakat, ia malah
membelikan alat-alat yang diharamkan yang digunakannya untuk mengerjakan
perkara haram, atau akan membeli rokok untuk merokok, dan sebagainya. Orang
seperti ini tidak patut diberi zakat, karena dengan begitu kita membantunya
berbuat dosa dan pelanggaran, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ آلْعِقَابِ
”Dan janganlah tolong-menolong di atas dosa
dan pelanggaran. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” (Qs. Al Maidah: 2)
Jika kita tahu atau menurut perkiraan kuat
kita bahwa ia akan menggunakannya untuk yang haram, maka haram memberikan
kepadanya berdasarkan ayat di atas. (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni
Utsaimin 18/431)
Zakat Perhiasan Yang Dipakai Wanita
Pertanyaan: Para ulama rahimahumullah dan para
sahabat radhiyallahu anhum sebelumnya telah berbeda pendapat tentang
zakat perhiasan pada wanita seperti emas dan perak yang berupa kalung, gelang,
cincin, dan sebagainya ketika telah mencapai nishab, yakni 20 mitsqal emas (1
mitsqal = 4.25 gram, 20 mitsqal = 85 gram emas) dan 140 mitsqal perak (595 gram
perak) yang ukurannya dengan emas yang berlaku sekitar 11 3/7 junaih (Saudi),
sedangkan berdasarkan perak ukurannya 56 dirham atau uang yang senilai
dengannya. Inilah batas minimal nishab, selebihnya lebih berhak lagi kena
zakat. Sebagian Ahli Ilmu dari kalangan sahabat dan setelahnya berpendapat,
bahwa wanita mesti mengeluarkan zakat pada perhiasannya ketika mencapai nishab
berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan wajibnya zakat pada emas dan perak.
Ulama yang lain berpendapat, tidak wajib karena keadaannya yang dipakai. Namun
yang rajih (kuat) adalah wajibnya zakat berdasarkan keumuman dalil yang
menunjukkan wajibnya zakat pada emas dan perak, karena Nabi shallallahu alaihi
wa sallam saat ditanya Ummju Salamah tentang perhiasan, ”Apakah ini termasuk
simpanan?” Beliau bersabda, ”Jika telah mencapai (ukuran) dizakatkan lalu
dizakatkan, maka bukan simpanan (yang terancam).”[i] Di
samping itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang
wanita yang mengenakan dua gelang emas, ”Apakah kamu telah mengeluarkan
zakatnya?” Ia menjawab, ”Belum.” Beliau bersabda, ”Sukakah engkau jika Allah
memakaikan kepadamu dua gelang dari api?” [ii]
Jika seorang wanita tidak memiliki sesuatu
yang harus dizakatkan selain perhiasan, maka hendaknya ia menjual perhiasan
atau meminjam sesuatu yang bisa dikeluarkan zakatnya, tetapi jika suami atau
selainnya mengeluarkan zakatnya dengan izin si wanita, maka tidak mengapa, wallahu
waliyyut taufiq. (Majmu Fatawa Ibnu Baz 14/95)
Zakat Barang Dagangan
Pertanyaan: Seseorang bermuamalah dengan berbagai jenis
barang dagangan, seperti pakaian, perabot, dan lain-lain, bagaimanakah
mengeluarkan zakatnya?
Jawab: Wajib baginya mengeluarkan zakat ketika
telah sempurna haul (setahun menggunakan kalender hijriah) pada barang yang
disiapkan untuk didagangkan, tentunya ketika barang-barang itu telah mencapai
nishab emas atau perak, berdasarkan hadits-hadits yang datang berkenaan dengan
itu, di antaranya hadits Samurah bin Jundab dan Abu Dzar radhiyallahu anhuma. (Majmu
Fatawa Ibnu Baz 14/157)
Wallahu
a’lam wa shallallau ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam wal
hamdulillahi Rabbil alamin.
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=40463 dll.
[i] Hr. Abu Dawud dan
Daruquthni, dishahihkan oleh Hakim.
[ii] Hr. Abu Dawud, Nasa’i, dan Tirmidzi, dinyatakan
isnadnya kuat oleh Al Hafizh.
0 komentar:
Posting Komentar