Sifat-Sifat Para Sahabat radhiyallahu anhum (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫أصحاب رسول الله‬‎
Sifat-Sifat Para Sahabat radhiyallahu anhum (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sifat para sahabat sehingga mereka memperoleh kemuliaan di dunia dan akhirat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
5. Memutuskan ikatan Jahiliyyah dan berwala (setia) kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itu adalah golongan yang beruntung.” (Qs. Al Mujadilah: 22)
Contoh dalam hal ini adalah Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, ketika ia mendengar berita bahwa ayahnya, yaitu Abdullah bin Ubay pernah didatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa saalm saat ia berada di bawah naungan bangunan tinggi, ia berkata dengan lancang, “Ibnu Abi Kabsyah (maksudnya Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam) membuat kami tertimpa debu,” lalu anaknya mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah memuliakanmu. Jika engkau berkenan, aku akan membawa kepalanya ke hadapanmu,” maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarangnya dan berkata, “Jangan, bahkan berbaktilah kepada ayahmu dan bergaullah dengan baik.” (Disebutkan oleh Al Haitsami dalam Al Majma’ (9/308), ia berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, para perawinya adalah tsiqah.”)
Hanzhalah bin Abi Amir pernah meminta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk membunuh ayahnya ketika ayahnya menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarangnya. (Sebagaimana disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Ishabah 1/360, ia berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dengan isnad yang hasan.”)
Disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa Abu Aziz bin Umair bin Hisyam saudara seayah Mush’ab bin Umair tertawan dalam perang Badar. Abu Aziz berkata, “Mush’ab bin Umair melewatiku, sedangkan orang Anshar sedang menawanku, lalu Mush’ab berkata, “Ikat dengan kuat tangannya. Sesungguhnya ibunya orang kaya, mungkin ia akan menebusnya.” Abu Aziz berkata, “Wahai saudaraku, apakah begini pesanmu terhadapku?” Mush’ab berkata, “Sesungguhnya dia saudaraku; bukan kamu.” Lalu ibunya bertanya tentang tebusan orang Quraisy yang paling mahal, maka disampaikan, yaitu empat ribu dirham,” ibunya pun mengirimkan empat ribu dirham untuk menebus anaknya.” (Sirah Ibnu Hisyam 1/646)
Bahkan Abu Ubaidah terpaksa membunuh ayahnya pada perang Badar ketika ayahnya hendak membunuh dirinya, sedangkan Abu Ubaidah terus menghindar, namun karena ayahnya berusaha terus untuk membunuhnya, maka Abu Ubaidah pun terpaksa membunuh ayahnya.
6. Tidak tertipunya mereka oleh gemerlap kesenangan dunia
Suatu ketika Sa’ad bin Abi Waqqash mengirimkan Rib’i bin Amir ke Qadisiyyah untuk menemuri Rustum komandan pasukan Persia. Rib’i menemui Rustum di ruangannya yang dihiasi bantal dan permadani dari sutra  yang bercampur mutiara dan yaqut. Rustum juga mengenakan mahkota sambil duduk di ranjang emas, sedangkan Rib’i menemuinya dengan mengenakan pakaian tebal, tameng, dan berada di atas kuda yang pendek. Ia terus memasukinya hingga berada di atas permadani, lalu turun dan mengikat kudanya dengan bantal-bantal yang ada, ia mendatangi Rustum sambil mengenakan senjata, baju besi dan penutup kepala dari besi, lalu para prajuritnya berkata, “Letakkan senjatamu.” Rib’i menjawab, “Bukan aku yang datang sendiri ke sini, tetapi aku datang karena undanganmu. Jika engkau membiarkanku begini, maka aku akan lanjutkan, dan jika kalian menolak, maka aku akan kembali.” Rustum pun berkata, “Izinkan dia masuk.” Maka Rib’i masuk sambil bersandar dengan tombaknya di atas bantal-bantal yang ada sehingga bantal-bantal itu robek.” Rustum bertanya, “Apa yang kalian bawa?” Rib’i menjawab, “Allah mengirim kami untuk mengeluarkan siapa yang dikehendaki-Nya dari peribadatan kepada hamba menuju peribadatan kepada Allah, dari sempitnya dunia menuju kelapangannya, dan dari kezaliman berbagai agama menuju keadilan Islam.” (Tarikh Ath Thabari 3/520 cet. Darul Ma’arif)
7. Cintanya mereka terhadap persatuan dan tidak berpecah belah
Para sahabat radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang berusaha melakukan sebab-sebab kemenangan yang di antaranya bersatu dan tidak berpecah-belah karena mengikuti firman Allah Ta’ala,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…dst.” (Qs. Ali Imran: 103)
Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Al Mushannaf dari hadits Qatadah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman di awal kekhilafahannya melakukan shalat di Mekah dan Mina dua rakaat (diqashar), namun Utsman setelah itu melakukannya empat rakaat, lalu berita ini sampai kepada Ibnu Mas’ud, ia pun mengucapkan istirja (innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un), lalu ia berdiri shalat dan melakukannya empat rakaat, kemudian dirinya ditanya, “Mengapa engkau istirja lalu melakukan shalat empat rakaat?” Ia menjawab, “Perselisihan itu buruk.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
8. Segera bertaubat dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla ketika tergelincir
Contohnya adalah Abu Lubabah bin Abdul Mundzir yang mengikat dirinya di salah satu tiang masjid ketika dirinya merasa telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam sehingga turu ayat yang menunjukkan diterima taubatnya.
Demikian pula tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk tanpa alasan, lalu mereka mengakui kesalahan mereka di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak pura-pura berudzur atau mengemukakan alasan dusta sebagaimana yang dilakukan kaum munafik, mereka pun dijauhi selama lima puluh hari, hingga kemudian turun ayat yang menunjukkan diterimanya taubat mereka.
9. Saling menanggung derita satu sama lain dan saling tolong-menolong
Mereka bersikap demikian sebagai bentuk pengamalan terhadap firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (Qs. Al Hujurat: 11)
Allah menyebut tentang kaum Anshar dalam firman-Nya,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.“ (Qs. Al Hasyr: 9)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya aku sedang kesusahan.” Maka Beliau membawa kepada salah seorang istrinya dan istrinya berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak punya apa-apa selain air.” Lalu Beliau membawa kepada istrinya yang lain, dan istrinya yang lain mengucapkan kata-kata yang sama, yaitu, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak punya apa-apa selain air.” Maka Beliau bersabda (kepada para sahabat), “Siapakah yang mau menjamu orang ini pada malam ini semoga Allah merahmatinya?” Lalu salah seorang dari Anshar bangun dan berkata, “Saya wahai Rasulullah,” maka ia membawanya ke rumahnya, dan bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu punya sesuatu?” Istrinya menjawab, “Tidak, selain makanan untuk anak-anak kita.” Orang Anshar itu berkata (kepada istrinya), “Sibukkanlah mereka (anak-anaknya) dengan sesuatu.” Jika tamu kita masuk, maka padamkanlah lampu dan tunjukkanlah kepadanya bahwa kita sedang makan. Jika ia duduk untuk makan, maka bangunlah menuju lampu hingga kamu memadamkannya. Maka mereka semua duduk dan tamu itu pun makan. Ketika pagi harinya, orang Anshar itu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Allah kagum terhadap tindakan kamu berdua kepada tamumu pada malam tadi.” (HR. Muslim)  
Dari Ibrahim bin Sa’ad, dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Saat kaum Muhajirin tiba di Madinah, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Ar Rabi, lalu Sa’ad berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya, maka aku akan bagi hartaku dua bagian, dan aku memiliki dua istri, maka silahkan perhatikan, maka yang paling menarik bagimu lalu sampaikan kepadaku agar aku talak, dan jika sudah habis masa iddahnya, silahkan engkau nikahi,” maka Abdurrahman bin Auf berkata, “Semoga Allah memberkahi dirimu,keluargamu, dan hartamu. Tolong tunjukkan di mana pasar?” Maka ditunjukkanlah kepadanya pasar Bani Qainuqa. Ketika itu, setiap kali Abdurrahman bin Auf pulang ia selalu membawa kelebihan aqith (semacam keju) dan samin, dan terus begitu hingga tiba suatu hari dimana pada dirinya tedapat bekas warna kuning, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Aku telah menikah.” Beliau bertanya, “Apa (mahar) yang engkau berikan kepadanya?” Ia menjawab, “Sebuah emas.” (Hr. Bukhari)
Lihat pula Abu Bakar yang menikahi Asma bin Umais untuk mengurus keperluannya dan keperluan anak-anak Asma setelah Ja’far bin Abi Thalib gugur sebagai syahid dalam perang Mu’tah.
Bersambung…
 Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: At Tarbiyah Ala Manhaj Ahlissunnah wal Jama’ah (Dr. Ahmad Farid), Maktabah Syamilah versi 3.45, Untaian Mutiara Hadits (Penulis), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger