بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (41)
(Berhakim Kepada Selain Allah Azza wa Jalla)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut
lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At
Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk
kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih
bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab
: Berhakim Kepada Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Firman Allah Ta’ala,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا
بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى
الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61) فَكَيْفَ إِذَا
أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ
إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)
“Tidakkah
kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari
Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya.--Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk)
kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya
kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu.--Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang
munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri,
kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami
sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang
sempurna." (Qs. An Nisaa’: 60-62)
**********
Penjelasan:
Penulis (Syaikh M. At
Tamimi) memasukkan masalah ini ke dalam kitab tauhidnya adalah karena termasuk
bagian tauhid dan konsekwensinya adalah menjadikan kitabullah dan sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam sebagai hakim dalam berbagai perselisihan, karena
hal ini termasuk konsekwensi dua kalimat syahadat.
Dalam ayat di atas Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingkari orang yang mengaku beriman kepada kitab yang
Allah turunkan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan kepada para
nabi sebelumnya alaihimus salam, namun dalam menyelesaikan masalah malah
memilih mendatangi selain Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alahi wa
sallam, ia malah memilih berhakim kepada thagut yang Allah memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengingkarinya, dan setan hendak menyesatkan
mereka yang berhakim kepada thagut itu dari jalan yang hak (benar) kepada jalan
yang batil. Dan ketika mereka diajak berhakim kepada kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, mereka malah berpaling menyombongkan
diri, maka bagaimanakah keadaan mereka nantinya ketika mendapatkan musibah, lalu
mereka butuh mendatangi Rasul agar
Beliau berdoa kepada Allah menghilangkan musibah yang menimpa mereka, lalu
mereka datang sambil meminta maaf terhadap tindakan mereka bahwa mereka tidak
bermaksud menyelisihi melainkan hendak berbuat baik dan mengadakan pendekatan
dengan manusia. Mereka menyampaikan alasan ini agar sikap mereka dibenarkan.
Kesimpulan:
1. Wajibnya
berhakim kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam,
ridha terhadap hal itu dan menerimanya.
2. Orang
yang tidak mau berhakim kepada syariat Islam belum dikatakan mukmin, bukan
sebagai orang yang hendak mengadakan perbaikan meskipun menyatakan bahwa
dirinya bermaksud mengadakan perbaikan.
3. Berhukum
kepada selain yang Allah turunkan adalah thagut, dan barang siapa yang berhukum
dengan selain yang Allah turunkan, maka sama saja ia berhakim kepada thagut.
4. Wajibnya
kafir kepada thagut.
5. Peringatan
agar waspada terhadap tipu daya setan dan usahanya menghalangi manusia dari
jalan yang lurus.
6. Barang
siapa yang diajak berhukum kepada hukum Allah, maka wajib diikuti dan diterima,
jika menolaknya berarti ia seorang munafik.
7. Pengakuan
‘bermaksud mengadakan perbaikan’ bukanlah sebagai alasan yang diterima ketika
berhadapan dengan hukum Allah, karena hukum Allah untuk memperbaiki kondisi
manusia.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا
نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Dan apabila dikatakan
kepada mereka, "Janganlah kamu mengadakan kerusakan di muka bumi.” Mereka
menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Qs. Al Baqarah: 11)
**********
Penjelasan:
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di antara
sifat kaum munafikin, yaitu ketika mereka dilarang berbuat maksiat yang
menjadikan bumi menjadi rusak karena mendatangkan berbagai hukuman dan azab,
serta ketika mereka diperintahkan mengerjakan ketaatan yang menjadikan kondisi
bumi menjadi baik, mereka malah mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang
yang mengadakan perbaikan. Mereka memandang kerusakan sebagai perbaikan; karena
hati mereka yang telah tertimpa penyakit. Disebutkan ayat di atas dalam bab ini
adalah untuk menerangkan, bahwa barang siapa yang mengajak berhakim kepada
selain yang Allah turunkan atau menyeru kepada maksiat, maka berarti ia telah datang
membawa kerusakan yang besar di bumi.
Abu Bakar bin Iyasy rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada penduduk bumi sedangkan mereka berada dalam kerusakan, maka Allah
memperbaiki kondisi mereka dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh
karena itu, barang siapa yang mengajak untuk mengikuti selain petunjuk yang
dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia
termasuk orang-orang yang mengadakan kerusakan.”
Kesimpulan:
1. Peringatan dari berhukum dengan undang-undang dan aturan yang
bertentangan dengan syariat meskipun para penyerunya menyatakan bahwa maksud
mereka baik.
2. Pernyataan ‘mengadakan perbaikan’ bukanlah sebagai alasan untuk
meninggalkan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla.
3. Peringatan
agar tidak ujub dengan pendapatnya.
4. Orang
yang sakit hatinya melihat kebenaran sebagai kebatilan, dan melihat kebatilan
sebagai kebenaran.
5. Niat
yang baik tidak bisa membenarkan sikap menyelisihi syariat.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (Qs. Al A’raaf: 56)
**********
Penjelasan:
Allah Subhanahu wa
Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya melakukan kerusakan di muka bumi berupa
mengerjakan maksiat dan mengajak kepada kemaksiatan setelah Allah
memperbaikinya dengan mengutus para rasul yang menerangkan syariat-Nya dan
mengajak mereka menaati Allah Azza wa Jalla. Dengan demikian, beribadah kepada
selain Allah, berdoa kepada selain-Nya, menyekutukan-Nya, berbuat zalim dan
maksiat merupakan perkara-perkara yang merusak bumi.
Dalam ayat di atas
terdapat isyarat bahwa mengajak berhakim kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala sama saja berusaha mengadakan kerusakan di muka bumi.
Kesimpulan:
1. Semua
maksiat merusak kondisi bumi.
2. Ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam merupakan perkara yang
memperbaiki bumi.
3. Berhakim
kepada selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan usaha merusak bumi.
4. Baiknya
kondisi masyarakat atau rakyat hanya tercapai dengan berhakim kepada kitab yang
Allah turunkan dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
**********
Firman Allah Ta’ala,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al Maidah: 50)
**********
Penjelasan:
Jahiliyah adalah kondisi
sebelum datangnya Islam dan semua yang menyelisihi Islam.
Dalam ayat di atas Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingkari mereka yang meninggalkan hukum Allah –padahal
hukum-Nya mengandung kebaikan, keadilan, dan mencegah dari semua keburukan-
malah berpaling kepada hukum selain-Nya yang hanya merupakan ide, pendapat, dan
hawa nafsu yang ditetapkan sebagian orang tanpa bersandar kepada syariat Allah
sebagaimana yang dilakukan kaum Jahiliyyah.
Ayat di atas
menunjukkan, bahwa mereka yang mencari hukum selain Allah Azza wa Jalla seperti
undang-undang dan aturan buatan, maka sama saja menginginkan hukum Jahiliyyah.
Kesimpulan:
1. Wajibnya
berhukum dengan hukum Allah.
2. Ketetapan
yang menyelisihi syariat Allah termasuk hukum Jahiliyyah.
3. Berhukum
kepada hukum selain Allah Azza wa Jalla termasuk kekufuran.
**********
Dari Abdullah bin Amr
radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ
بِهِ
“Tidak sempurna iman
salah seorang di antara kamu hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Hadits shahih. Telah diriwayatkan kepada kami dalam kitab Al Hujjah
dengan isnad yang shahih.”
**********
Penjelasan:
Al Hafizh Ibnu Rajab Al
Hanbali berkata, “Penyusun kitab Al Hujjah adalah Syaikh Abul Fath Nashr bin
Ibrahim Al Maqdisi Asy Syafi’i, seorang Ahli Fiqih yang zuhud dan tinggal di
Damaskus. Nama kitabnya adalah ‘Al Hujjah ala Tarikil Mahajjah’ yang
memuat pokok-pokok agama sesuai kaedah Ahlul hadits was sunnah. Hadits tersebut
disebutkan oleh Al Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Al Arba’in, dimana pada
bagian awalnya ia mensyaratkan agar hadits dan atsarnya shahih yang telah
disepakati oleh para penukil tentang keadilan periwayatnya, dan disebutkan oleh
para imam di kitab musnad mereka. Selanjutnya ia menyebutkan dari Thabrani
dengan sanad berikut:
Telah menceritakan
kepada kami Abu Zaid Abdurrahman bin Hatim Al Muradi, telah menceritakan kepada
kami Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats
Tsaqafi, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dari Uqbah bin Aus,
dari Abdullah bin Amr ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga hawa
nafsunya mengikuti apa yang aku bawa dan tidak menyimpang darinya.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Hafizh
Abu Bakar bin Ashim Al Ashbahani, dari Ibnu Warah, dari Nu’aim bin Hammad,
telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, telah menceritakan
kepada kami sebagian syaikh kami Hisyam atau selainnya, dari Ibnu Sirin, dan
seterusnya, namun tanpa lafaz ‘dan tidak menyimpang darinya.’ Al Hafizh
Abu Musa Al Madini berkata, “Hadits ini diperselisihkan terhadap Nu’aim. Dan
disebutkan di sana, “Telah menceritakan kepada kami sebagian syaikh kami, telah
menceritakan kepada kami Hisyam atau selainnya.”
Al Hafizh Ibnu Rajab
melanjutkan kata-katanya, “Penshahihan terhadap hadits ini sangat jauh sekali
karena beberapa sisi, di antaranya: Hadits tersebut diriwayatkan secara sendiri
oleh Nu’aim bin Hammad Al Marwazi. Nu’aim ini meskipun dianggap tsiqah oleh
banyak para imam, dan disebutkan oleh Bukhari, namun para imam Ahli Hadits
hanyalah berhusnuzhzhan (bersangka baik) kepadanya karena kuatnya berpegang
dengan sunnah dan kerasnya membantah Ahli Bid’ah, namun mereka menisbatkan
dirinya wahm (keliru) dan samar beberapa hadits baginya, dan ketika mereka
mengetahui hadits-hadits yang munkar darinya, mereka pun menghukuminya dhaif
(lemah). Shalih bin Muhammad Al Hafizh meriwayatkan dari Ibnu Ma’in saat
ditanya tentang Nu’aim, ia menjawab, “Tidak ada apa-apanya, akan tetapi ia
seorang yang berpegang dengan sunnah.” Shalih berkata, “Ia menyampaikan hadits
dengan hafalannya dan memiliki banyak riwayat munkar yang tidak
dimutaba’ahkan.” Abu Dawud berkata, “Pada diri Nu’aim ada kurang lebih 20
hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang tidak memiliki dasar.” Nasa’i
berkata, “Dha’if.” Sesekali ia menyatakan, “Tidak tsiqah,” dan menyatakan,
“Banyak menyendiri dalam hadits yang cukup banyak dari para imam yang terkenal
sehingga ia termasuk orang yang tidak bisa dijadikan hujjah.” Abu Zur’ah Ad
Dimasyqi berkata, “Ia memaushulkan hadits-hadits yang dimauqufkan manusia,”
yakni memarfukan yang mauquf. Abu Arubah Al Harrani berkata, “Keadaannya
gelap.” Abu Sa’id bin Yunus berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits yang munkar
dari orang-orang yang tsiqah.” Bahkan yang lain sampai menyatakan bahwa ia
memalsukan hadits. Selain itu, di manakah kawan-kawan Abdul Wahhab Ats Tsaqafi,
kawan-kawan Hisyam bin Hassan, dan kawan-kawan Ibnu Sirin dari meriwayatkan
hadits yang Nu’aim meriwayatkannya secara sendiri?” Di samping itu, pada Nu’aim
diperselisihkan isnadnya, sesekali disebutkan diriwayatkan darinya, dari Ats
Tsaqafi, dari Hisyam, dan diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, telah
menceritakan kepada kami sebagian guru kami Hisyam atau selainnya, sehingga
jika demikian, maka Syaikh Ats Tsaqafi tidak diketahui orangnya. Demikian juga
sesekali disebutkan, telah diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, telah
menceritakan kepada kami sebagian guru kami, telah menceritakan kepada kami
Hisyam atau selainnya, maka berdasarkan riwayat ini Ats Tsaqafi meriwayatkan
dari seorang syaikh yang majhul, sedangkan syaikhnya meriwayatkan dari seorang
yang tidak disebutkan namanya, sehingga bertambah majhul isnadnya. Selain itu,
dalam isnadnya terdapat Uqbah bin Aus As Sudusay Al Bashri yang disebut juga Ya’qub
bin Aus, dimana haditsnya disebutkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah
dari Abdullah bin Amr, ada yang menyebutkan Abdullah bin Umar, sehingga
isnadnya mudhtharib (goncang). Ya’qub tersebut telah ditsiqahkan oleh Al Ijliy,
Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban. Ibnu Khuzaimah berkata, “Ibnu Sirin seorang yang
mulia meriwayatkan darinya.” Ibnu Abdil Bar berkata, “Majhul.” Al Ghallabiy
dalam tarikhnya berkata, “Mereka berpendapat, bahwa ia tidak mendengar hadits
dari Abdullah bin Amr, ia hanya menyatakan, “Abdullah bin Amr berkata.“
Berdasarkan keterangan ini, maka riwayatnya dari Abdullah bin Amr adalah
terputus, wallahu a’lam. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/393)
Dengan demikian, hadits
di atas adalah dhaif, akan tetapi maknanya benar sesuai dengan firman Allah
Ta’ala,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ
تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An Nisaa’: 65)
Maksud hadits di atas
adalah seseorang tidak sempurna imannya dengan keimanan yang wajib sampai
nafsunya sesuai dengan apa yang dibawa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berupa
perintah, larangan, dsb. Ia pun mencintai apa yang Beliau perintahkan dan
membenci apa yang Beliau larang.
Kesimpulan:
1. Wajib
mencintai apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berupa
syariat serta mengamalkannya.
2. Wajib
membenci semua yang menyelisihi syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
3. Tidak
beriman orang yang hatinya cenderung menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam.
**********
Asy Sya’biy berkata, “Pernah
terjadi pertengkaran antara orang munafik dan orang yahudi. Orang Yahudi itu
berkata, “Mari kita berhakim kepada Muhammad,” karena ia mengetahui bahwa
Beliau tidak menerima suap, sedangkan orang munafik itu berkata, “Mari kita
berhakim kepada orang Yahudi,” karena ia tahu bahwa orang-orang Yahudi menerima
suap, maka keduanya sepakat mendatangi seorang dukun di Juhainah dan meminta
keputusan kepadanya, lalu turunlah ayat, “Tidakkah kamu memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?....dst. (Lihat Qs. An
Nisaa’: 60-62).”
**********
Asy Sya’bi adalah Amir
bin Syurahbil, atau Amir bin Abdullah bin Syurahbil Asy Sya’bi Al Himyariy Abu
Amr Al Kufi, seorang tsiqah, hafizh, ahli fiqih dari kalangan tabi’in. Ada yang
berpendapat, bahwa ia wafat pada tahun 103 H, semoga Allah merahmatinya.
Menurut Imam Asy Sya’bi
rahimahullah, ayat di atas (Qs. An Nisaa’: 60-62) turun berkenaan dengan
seorang yang mengaku beriman namun berhakim kepada selain Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam karena menghindar dari keputusan Beliau yang adil,
dan membuatnya berhakim kepada thagut tanpa peduli bahwa hal itu bertentangan
dengan konsekwensi iman, dimana hal tersebut menunjukkan dusta pengakuannya
beriman.
Dengan demikian, bahwa
berhukum kepada selain syariat Allah bertentangan dengan keimanan kepada Allah
dan kepada kitab-kitab-Nya.
Kesimpulan:
1. Wajibnya
berhukum kepada syariat Allah.
2. Berhakim
kepada selain syariat Allah bertentangan dengan konsekwensi keimanan.
3. Berhukum
kepada selain Allah adalah sifat orang-orang munafik.
4. Membuka
tabir kaum munafik, bahwa mereka lebih buruk dan berbahaya dari orang-orang
yang jelas-jelas kafir.
5. Haramnya
mengambil suap, dan bahwa yang demikian adalah akhlak orang-orang Yahudi,
dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat baik pemberi maupun
penerimanya.
**********
Ada yang mengatakan,
bahwa ayat tersebut (Qs. An Nisaa’: 60-62) turun berkenaan dengan dua orang
yang bertengkar, yang satu berkata, “Ayo kita bawa masalah ini kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam,” sedangkan yang lain berkata, “Ayo kita bawa
kepada Ka’ab Al Asyraf,” lalu keduanya menyampaikan masalah itu kepada Umar dan
salah satunya menyampaikan masalah mereka kepadanya, maka Umar berkata kepada
orang yang tidak ridha dengan keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, “Benarkah demikian?” Ia menjawab, “Ya.” Umar pun menebas leher orang
itu dengan pedang.
**********
Penjelasan:
Ka’ab Al Asyraf adalah
seorang Yahudi dari suku Thayyi’, ibunya dari Bani Nadhir, ia seorang yang
sangat memusuhi Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Riwayat di atas
disebutkan oleh Ats Tsa’labi sebagaimana tercantum dalam Ad Durrul Mantsur
(2/582), demikian pula diriwayatkan oleh Al Kalbi sebagaimana disebutkan dalam Fathul
Bari (5/37) dari Ibnu Abbas. Al Hafizh berkata, “Isnad ini meskipun dha’if
(lemah), tetapi menjadi kuat karena ada jalur Mujahid, disebutkan oleh Thabari
dalam tafsirnya (1/154) dengan isnad yang shahih.”
Atsar di atas merupakan
pendapat lain tentang sebab turunnya Qs. An Nisaa’: 60-62, dan dalam kisah
tersebut saat berita itu sampai ke telinga Umar, maka Umar memastikan
pernyataannya itu. Setelah jelas masalahnya, maka Umar membunuh orang yang
tidak ridha dengan keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu. Hal
ini menunjukkan kufurnya orang yang lebih mengutamakan hukum selain hukum Allah
Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1. Berhakim
kepada selain Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk
menyelesaikan masalah merupakan kekufuran.
2. Mengajak
berhakim kepada selain Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa
sallam merupakan sifat orang-orang munafik.
3. Disyariatkan
marah karena Allah dan agama-Nya.
4. Disyariatkan
mengingkari kemungkaran dengan tangan bagi yang mampu.
5. Bersikap
tatsabbut (hati-hati dan memastikan sesuatu) sebelum bertindak.
6. Mengetahui
yang hak (benar) menghendaki untuk mengamalkan dan tunduk mengikutinya.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Jami’ul
Ulum wal HIkam (Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali), Maktabah Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar