بسم
الله الرحمن الرحيم
Hal-Hal Yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Shalat (1)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang hal-hal yang dibolehkan bagi orang yang shalat, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hal-Hal Yang Dibolehkan
Bagi Orang Yang Shalat
1. Menangis dan merintih.
Hal ini sama saja, baik
menangis karena takut kepada Allah atau karena sebab lainnya, seperti merintih
karena musibah atau rasa sakit yang dideritanya selama disebabkan oleh perasaan
jiwa yang begitu mendalam yang sulit ditolak. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ
آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Mereka
itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi
dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dari
keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri
petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha
Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Qs. Maryam: 58)
Ayat di atas mencakup
orang yang sedang shalat dan selainnya.
Dari Abdullah bin Asy
Syikhkhir ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
shalat, sedangkan di dadanya terdengar
suara mendidih seperti periuk yang mendidih karena menangis.” (Hr. Ahmad, Abu
Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menshahihkannya)
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu ia berkata, “Di tengah-tengah kami tidak ada yang menunggang
kuda pada perang Badar selain Miqdad bin Al Aswad, dan tidak ada yang berdiri
selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ketika itu berdiri shalat
di bawah pohon sambil menangis hingga tiba pagi hari.” (Hr. Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban, dinyatakan shahih oleh Syaikh Adil Al Azzazi)
Dari Aisyah radhiyallahu
anha tentang sakit Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelang wafatnya,
bahwa Beliau bersabda, “Perintahkanlah Abu Bakar agar mengimami manusia!”
Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Bakar seorang yang lembut
hatinya, ia tidak kuasa menahan air matanya, dan ketika membaca Al Qur’an ia
menangis.” Aisyah berkata, “Aku tidak mengucapkan demikian melainkan karena
khawatir manusia merasa pesimis dengan Abu Bakar karena sebagai orang yang
pertama menduduki posisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,” maka Beliau
Beliau bersabda,
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ
“Suruhlah
Abu Bakar mengimami manusia, sesungguhnya kalian seperti wanita di zaman
Yusuf.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi, ia menshahihkannya)
Maksud ‘wanita di zaman
Yusuf’ adalah bahwa Aisyah radhiyallahu anha ketika menampakkan kebalikan yang
ada di dalam hatinya sama seperti wanita di zaman Nabi Yusuf yang mengundang
kaum wanita dengan menampakkan bahwa maksudnya hendak memuliakan mereka,
padahal maksudnya hendak menampakkan ketampanan Yusuf ‘alaihis salam.
Keputusan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam untuk menetapkan Abu Bakar sebagai imam padahal
keadaan Beliau ketika shalat sering menangis menunjukkan bolehnya menangis.
Umar bin Khathtab
radhiyallahu anhu juga pernah shalat Subuh dan membaca surat Yusuf, sehingga
ketika sampai ayat ‘Innamaa asyku batstsiy wa huzniy ilallah’ (Qs.
Yusuf: 86) maka terdengar keras suara tangisnya. (Hr. Bukhari, Sa’id bin
Manshur, dan Ibnul Mundzir)
Dalam atsar (riwayat) di
atas terdapat bantahan terhadap mereka yang berpendapat bahwa menangis di dalam
shalat dapat membatalkan shalat ketika muncul dua huruf, baik karena takut
kepada Allah atau karena selain itu. Demikian pula pernyataan bahwa menangis
ketika muncul dua huruf menjadi sebuah ucapan adalah pernyataan yang tidak bisa
diterima, karena menangis adalah suatu perkara, sedangkan ucapan adalah perkara
lain.
2. Menengok saat
dibutuhkan
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika
shalat pernah menoleh ke kanan atau ke kiri, namun tidak sampai membengkokkan
lehernya ke belakang punggungnya (menoleh ke belakang).” (Hr. Ahmad, dan
dinyatakan isnadnya shahih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Abu Dawud meriwayatkan
dengan sanadnya yang sampai kepada Sahl bin Hanzhaliyah, ia berkata, “Saat
diiqamatkan shalat (Subuh), maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memulai shalat, dan Beliau menoleh ke lereng di bukit.” Abu Dawud berkata,
“Beliau (waktu itu) mengirim penunggang kuda ke lereng untuk berjaga di malam
hari.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Anas bin Sirin ia
berkata, “Aku melihat Anas bin Malik memperhatikan sesuatu ketika shalat.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad)
Jika tidak dibutuhkan,
maka hukumnya makruh tanzih (sekedar makruh) karena bertentangan dengan
kekhusyuan yang diperintahkan serta sama saja tidak menghadap kepada Allah Azza
wa Jalla.
Dari Aisyah radhiyallahu
anha ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam tentang menoleh di dalam shalat? Maka Beliau bersabda,
اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ
العَبْدِ
“Itu
adalah penjambretan dari setan terhadap shalat seorang hamba.” (Hr. Ahmad,
Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Dalam hadits Harits Al
Asy’ariy disebutkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat, agar
ia menjalankannya, demikian pula Bani Israil menjalankannya…dst.” Di antara
perintah itu adalah, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian shalat. Jika
kalian telah menjalankannya, maka jangan menoleh, karena Allah menghadapkan
wajah-Nya kepada wajah seorang hamba dalam shalatnya selama ia tidak menoleh.”
(Hr. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Apa yang disebutkan di
atas adalah terkait menoleh dengan wajah saja bukan dengan badan. Adapun
menoleh dengan seluruh badan dan berpindah dari arah kiblat, maka hal ini dapat
membatalkan shalat berdasarkan kesepakatan para ulama karena tidak menghadap
kiblat yang merupakan syarat shalat.
3. Membunuh ular,
kalajengking, serangga yang menggigit, dan hewan lainnya yang berbahaya
meskipun untuk membunuhnya dibutuhkan gerakan yang banyak.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اقْتُلُوا الْأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلَاةِ: الْحَيَّةَ،
وَالْعَقْرَبَ
“Bunuhlah
dua binatang hitam dalam shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (Hr. Ahmad dan
para pemilik kitab Sunan, dishahihkan oleh Al Albani)
4. Berjalan sedikit
karena ada kebutuhan.
Dari Aisyah radhiyallahu
anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat di
rumah, sedangkan pintu terkunci, aku datang dan meminta dibukakan pintu, maka
Beliau berjalan dan membukakan pintu untukku, lalu kembali lagi ke tempat
shalatnya. Ketika itu pintunya menghadap ke kiblat.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud,
Nasa’i, Tirmidzi dan ia menghasankannya)
Maksud pintunya
menghadap kiblat adalah pintunya di arah kiblat, yakni Beliau tidak berpindah
dari kiblat saat maju untuk membukakan pintu dan ketika kembali ke tempat
semula.
Dari Al Arzaq bin Qais
ia berkata, “Abu Barzah Al Aslamiy pernah berada di Ahwaz (suatu tempat di
Irak) di tepi sungai. Ketika itu kekang hewannya dipegang tangannya sambil ia
melakukan shalat, saat hewannya mundur, maka Abu Barzah ikut mundur, lalu ada
seorang khawarij berkata, “Ya Allah, hinakanlah orang tua ini, mengapa ia
shalat seperti itu?” Seusai shalat, maka Abu Barzah berkata, “Aku telah
mendengar ucapanmu. Sesungguhnya aku telah berperang bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam sebanyak enam, tujuh, atau delapan kali. Aku
menyaksikan keadaan Beliau dan kemudahan yang diajarkan. Sesungguhnya mundurku
bersama hewan lebih ringan bagiku daripada meninggalkannya sehingga ia kembali
ke tempat biasanya dan malah menyusahkanku. Ketika itu Abu Barzah shalat Ashar
dua rakaat.” (Hr. Ahmad, Bukhari, dan Baihaqi)
Adapun berjalan yang
banyak, maka Al Hafizh dalam Al Fat-h menyatakan, bahwa para Ahli Fiqih sepakat
banyak berjalan dalam shalat fardhu dapat membuatnya batal, sehingga hadits Abu
Barzah dibawa maksudnya, bahwa itu gerakan yang sedikit.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa
sallam.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah
Haditsiyyah (http://hdith.com
), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi), dll.
0 komentar:
Posting Komentar