بسم الله الرحمن الرحيم
Sutrah Bagi Orang Yang Shalat
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang sutrah bagi orang yang shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (Definisi) Sutrah
Sutrah artinya sesuatu
yang diletakkan di depan orang yang shalat agar tidak dilewati.
Hukum sutrah
Dianjurkan bagi orang
yang shalat menjadikan di depannya sutrah untuk menghalangi orang lain lewat di
depannya serta menghalangi pandangannya dari melihat apa yang ada setelahnya.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang
di antara kamu shalat, maka shalatlah dengan sutrah, dan mendekatlah
kepadanya.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan shahih oleh Al
Albani)
Dari
Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika keluar (untuk
shalat) pada hari raya, memerintahkan disiapkan tombak, lalu diletakkan di
depannya untuk shalat menghadap kepadanya, sedangkan orang-orang di belakang Beliau.
Beliau melakukan hal itu ketika safar, lalu diikuti oleh para pemerintah
(setelahnya). (Hr.
Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Ulama
madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat, bahwa dianjurkan menyiapkan sutrah bagi
orang yang shalat adalah ketika dikhawatirkan akan dilewati seseorang. Jika
dirasakan aman dari dilewati orang lain, maka tidak dianjurkan. Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam pernah shalat di tanah lapang, sedangkan di depan Beliau tidak ada
apa-apa. (Hr. Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi, ia berkata, “Hadits ini memiliki
syahid dengan isnad yang lebih shahih daripada hadits ini dari Al Fadhl bin
Abbas.” Namun hadits ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul
Minnah karena beberapa alasan yang ia sebutkan di sana, di antaranya karena
terdapat rawi bernama Hajjaj bin Arthah seorang mudallis dan ia melakukan
‘an’anah, sedangkan syahid yang disebutkan Baihaqi adalah munqathi (terputus)
karena Abbas tidak berjumpa pamannya, yaitu Al Fadhl, wallahu a’lam).
Dengan
sesuatu apa dianggap sebagai sutrah?
Sutrah
tercapai dengan sesuatu yang dipancangkan oleh orang yang shalat meskipun
dengan ujung sejadahnya.
Dari
Shaburah bin Ma’bad ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَسْتَتِرْ لِصَلَاتِهِ، وَلَوْ بِسَهْمٍ
“Apabilah salah seorang di antara kamu shalat,
maka adakanlah sutrah meskipun dengan anak panah.” (Hr. Ahmad dan Hakim, ia
berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.” Haitsami berkata, “Para perawi Ahmad
adalah para perawi kitab shahih.”)
Telah
datang riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau terkadang
shalat menghadap ke tiang yang ada di masjid, terkadang menghadap ke pohon,
terkadang menghadap ke tempat tidur yang ketika itu di atasnya ada Aisyah
radhiyallahu anha sedang berbaring tidur, dan terkadang menghadap ke
kendaraannya sebagaimana Beliau juga pernah shalat menghadap ke kayu pelana.
Dari
Thalhah ia berkata, “Kami pernah shalat, sedangkan hewan-hewan lewat di hadapan
kami, lalu ia menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
maka Beliau bersabda,
مِثْلُ
مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ تَكُونُ بَيْنَ يَدَيْ أَحَدِكُمْ، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا
مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seukuran kayu pelana
(kira-kira sejengkal) yang diletakkan di depan salah seorang di antara kalian
(sudah cukup), lalu tidak masalah baginya sesuatu yang lewat di depannya.” (Hr.
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan ia berkata, “Hasan
shahih.”)
Sutrah
imam adalah sutrah bagi makmum
Hal
ini berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata,
“Kami pernah turun bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari jalan
tinggi Adzakhir (tempat yang berada dekat dengan Mekkah), lalu tiba waktu
shalat, kemudian Beliau shalat menghadap ke dinding, menjadikannya sebagai
kiblat, sedangkan kami shalat di belakangnya, lalu ada seekor anak kambing yang
hendak lewat di hadapannya, maka Beliau berusaha menolaknya, sehingga perut
Beliau menempel ke dinding, dan kambing itu pun lewat di belakangnya.” (Hr.
Ahmad, dan Abu Dawud, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku pernah datang sambil menaiki
keledai, dimana ketika itu aku hampir baligh. Saat itu, Nabi shallallahu alaihi
wa sallam shalat mengimami manusia di Mina, lalu aku lewat di depan sebagian
shaf, aku lepas keledai untuk mencari makan, dan aku masuk ke dalam shaf, namun
tidak ada seorang pun yang mengingkariku.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Hadits
di atas menunjukkan bolehnya lewat di depan makmum, dan bahwa sutrah hanyalah
disyariatkan bagi imam dan orang yang shalat sendiri.
Anjuran
mendekat kepada sutrah
Imam
Al Baghawi rahimahullah berkata, “Ahli Ilmu menganjurkan agar seseorang
mendekat kepada sutrah, dimana jarak antara dirinya dengan sutrah seukuran yang
cukup untuk melakukan sujud, demikian pula antara shaf yang satu dengan shaf
yang lain. Dalam hadits sebelumnya disebutkan, “Dan mendekatlah kepadanya.”
Dari Bilal, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam melakukan shalat, dimana jarak antara Beliau dengan dinding seukuran
kurang lebih tiga hasta. (Hr. Ahmad, Nasa’i, dan Bukhari menyebutkan semakna
dengan itu)
Dari
Sahal bin Sa’ad ia berkata, “Jarak tempat shalat Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam dengan dinding seukuran jalan yang bisa dilewat kambing.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Haramnya
lewat di depan orang yang shalat (di bawah sutrahnya)
Hadits-hadits
yang ada menunjukkan haramnya melewati orang yang shalat di bawah sutrahnya,
dan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Dari Busr bin Sa’id, ia berkata,
“Sesungguhnya Zaid bin Khalid pernah mengutusnya menemui Abu Juhaim untuk
bertanya kepadanya hadits yang didengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam tentang orang yang lewat di depan orang yang shalat, lalu Abu Juhaim
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ
يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ
أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Kalau sekiranya orang yang lewat di depan
orang yang shalat mengetahui hukuman yang menimpanya, tentu ia berdiri selama
40 lebih baik baginya daripada melewati orang yang sedang salat).” (Hr. Jamaah
Ahli Hadits)
Abu Nashr meriwayatkan
dari Busr, ia berkata, “Aku tidak tahu, apakah Beliau bersabda, “40 hari, 40
bulan, atau 40 tahun,”
Dalam Fathul Bari
disebutkan, “Zhahir hadits tersebut menunjukkan larangan lewat di depan
orang yang shalat secara mutlak meskipun tidak mendapatkan jalan, bahkan
hendaknya ia berhenti sampai orang yang shalat selesai melakukan shalat. Hal
ini juga diperkuat oleh kisah Abu Sa’id yang akan datang. Maksud hadits di atas
adalah kalau sekiranya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui
seberapa besar dosa yang menimpanya karena melewati orang yang shalat, tentu ia
lebih memilih berdiri dalam waktu tersebut agar tidak terkena dosa.”
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Ibnu Hibban dan lainnya menyatakan, bahwa
larangan yang disebutkan dalam hadits adalah ketika seseorang shalat memakai
sutrah, jika tidak menghadap sutrah, maka tidak haram lewat di depannya.”
Abu
Hatim Ibnu Hibban menyatakan demikian berdasarkan riwayatnya dalam shahihnya
dari Muththalib bin Abi Wada’ah ia berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam seusai thawaf mendatangi pinggiran tempat thawaf, lalu shalat
dua rakaat. Ketika itu antara Beliau dengan orang-orang yang thawaf tidak ada
penghalang.”[i]
Ibnu
Hibban juga berkata, “Dalam riwayat tersebut terdapat dalil bolehnya seseorang
melewati orang yang shalat jika ia tidak shalat dengan sutrah, dan di dalamnya
juga terdapat dalil yang jelas, bahwa ancaman keras berkenaan dengan orang yang
lewat di depan orang yang shalat adalah ketika orang yang shalat memakai
sutrah; bukan orang yang shalat tanpa memakai sutrah yang menghalanginya.”
Dalam
Ar Raudhah disebutkan, “Kalau sekiranya seseorang shalat tanpa sutrah,
atau ada sutrah namun dirinya berada jauh darinya, maka yang lebih shahih
adalah ia tidak berhak menolaknya karena sikap remehnya, dan tidak haram ketika
itu lewat di hadapannya, akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya.”
Disyariatkan
menolak orang yang lewat di depan orang yang shalat
Jika
orang yang shalat telah memakai sutrah, maka disyariatkan baginya untuk menolak
orang yang lewat di hadapannya, baik manusia atau hewan. Tetapi jika lewat di
atas sutrah, maka tidak disyariatkan menolaknya, dan tidak mengapa dilewati.
Dari
Humaid bin Hilal, ia berkata, “Aku bersama kawanku pernah mengingat-ingat
hadits, tiba-tiba Abu Shalih As Saman berkata, “Aku akan menyampaikan kepadamu
hadits yang kudengar dari Abu Sa’id dan sikapnya yang kulihat. Saat aku dan Abu
Sa’id Al Khudri shalat Jum’at dengan sutrah yang menghalangi manusia, tiba-tiba
ada seorang pemuda dari Bani Abi Mu’aith hendak lewat di hadapannya, maka ia
segera menolaknya di dadanya. Orang itu memperhatikan, dan ternyata ia tidak
menemukan jalan selain melewati depan Abu Sa’id, maka ia mengulangi lagi dengan
maksud dapat melewatinya, lalu Abu Sa’id menolaknya dengan tolakan yang lebih
keras dari yang pertama, kemudian ia berhenti dan mendapat celaan dari Abu
Sa’id, lalu ia mendatangi kerumunan orang, kemudian masuk ke rumah Marwan dan
mengadukan kepadanya hal yang dialaminya, lalu Abu Sa’id juga masuk dan
mendatangi Marwan, lalu Marwan berkata, “Ada apa engkau dengan putera saudaramu
sehingga ia datang mengadukan tentang dirimu?” Abu Sa’id berkata, “Aku
mendengar Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda,
«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ
فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى
فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ»
“Apabila salah seorang
di antara kamu shalat ke sutrah yang menghalangi manusia, lalu ada seorang yang
hendak melintas di hadapannya, maka tolaklah. Jika tetap hendak lewat di
hadapannya, maka perangilah, karena dia adalah setan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Sesuatu
yang dapat memutuskan shalat
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا
قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ
مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ
الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ
الْأَسْوَدُ» قُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي،
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي
فَقَالَ: «الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ»
Dari
Abu Dzar ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka dapat menghalanginya jika
ada sesuatu seukuran kayu pelana (kira-kira sejengkal). Jika tidak ada sesuatu seukuran
kayu pelana, maka shalatnya dapat diputuskan oleh keledai, wanita (baligh), dan
anjing hitam.” Aku pun bertanya, “Wahai Abu Dzar, mengapa anjing hitam, tidak
anjing merah atau kuning?” Ia menjawab, “Wahai putera saudaraku, aku bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu sebagaimana yang engkau
tanyakan kepadaku, lalu Beliau menjawab, “Anjing hitam adalah setan.” (Hr.
Muslim)
Menurut
Imam Ahmad, bahwa maksud memutuskan di hadits tersebut adalah membatalkan shalat
seseorang. Namun menurut mayoritas ulama, bahwa shalat tidaklah batal karena
sebab di atas. Mereka mentakwil maksud ‘memutuskan shalat’ pada hadits di atas kurang
sempurnanya shalat karena disubukkannya hati karena perkara-perkara ini.
Menurut
sebagian ulama, anjing hitam disebut setan adalah karena keadaannya yang suka
menggigit, kotor, sedikit manfaatnya, dan sering mengantuk. Ada pula yang
mengatakan, karena lebih berbahaya daripada yang lain. Ada pula yang
menafsirkan hadits di atas, bahwa setan dapat merubah bentuk menjadi anjing
hitam, wallahu a’lam.
Catatan:
Ada pertanyaan yang
diajukan kepada Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
“Saat saya berdiri
melakukan shalat, tiba-tiba puteri saya yang usianya tiga tahun dan saudaranya
yang berusia setahun setengah datang menghampiri saya, mereka bermain seperti yang
biasa dilakukan anak-anak lainnya, lalu apa sikap saya terhadap mereka, apakah
shalat saya sah ketika anak-anakku lewat di depanku dan di sekitarku?”
Jawab: Shalat tetap sah.
Dan jika mudah mencegah mereka (anak-anak), maka itulah yang diinginkan
syariat, yakni yang disyariatkan adalah mencegah orang yang lewat di depanmu,
baik itu anak-anak, hewan, atau lainnya karena ada sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat menghadap
sesuatu yang menghalanginya dari manusia, lalu ada seorang yang hendak lewat,
maka cegahlah. Jika menolak, maka perangilah, karena ia adalah setan.”
Maksudnya, jika mudah mencegah anak-anak atau hewan, hendaknya dicegah sesuai
kemampuanmu. Namun jika engkau tidak mampu mencegahnya, maka tidak mengapa,
kecuali jika yang lewat adalah wanita (baligh), keledai, atau anjing hitam,
maka tiga hal itu dapat memutuskan shalat berdasarkan sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, “Akan diputuskan shalat seorang muslim oleh wanita, keledai,
dan anjing hitam jika di depannya tidak ada seukuran cagak pelana,”
(Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya). Adapun selain tiga hal ini, maka
tidak memutuskan, tetapi mengurangi pahala. Apabila ada seorang laki-laki yang
lewat, maka akan mengurangi pahala atau ada anak kecil yang lewat, maka dapat
mengurangi pahala jika ia tidak menghalangi padahal mampu, atau hewan lainnya
selain anjing hitam juga dapat mengurangi pahala. Tetapi tidak ada yang memutuskan
selain tiga hal tersebut, yakni membatalkan shalat, yaitu wanita jika sempurna
(baligh), keledai, dan anjing hitam. Adapun anak yang belum baligh, maka tidak
memutuskan.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/14365/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%85%D8%B1%D9%88%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B7%D9%81%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%85%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B5%D9%84%D9%8A%D9%86)
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah
(www.dorar.net),
Syarhun Nawawi ala Shahih Muslim (Imam Nawawi), Aunul Ma’bud Syarh Sunan
Abi Dawud (Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi), dll.
[i] Namun hadits ini didhaifkan oleh Al Albani
karena melalui riwayat Katsir bin Katsir bin Muththalib yang diperselisihkan
isnadnya. Ibnu Uyaynah berkata, “Darinya, dari sebagian keluarganya, bahwa ia
mendengar kakeknya, yaitu Muththalib...dst.” Ibnu Juraij berkata, “Telah
mengabarkan kepadaku Katsir bin Katsir, dari ayahnya, dari kakeknya.” Sufyan
berkata, “Aku pun pergi mendatangi Katsir dan bertanya, “Adakah hadits yang
engkau riwayatkan dari ayahmu?” Ia menjawab, “Aku tidak mendengarnya dari
ayahku. Bahkan sebagian keluargaku menceritakan kepadaku dari kakekku
Muththalib.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi. Ia juga berkata, “Ada
yang mengatakan, dari Ibnu Juraij, dari Katsir , dari ayahnya ia berkata, “Telah
menceritakan kepadaku orang-orang terkemuka dari Bani Muththalib, dari
Muththalib. Namun riwayat Ibnu Uyaynah lebih kuat.” Syaikh Al Albani
menyatakan, “Poros riwayat ini ada pada sebagian keluarga Katsir, dan tidak
disebutkan namanya sehingga majhul.”
0 komentar:
Posting Komentar