بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Qashidah Lamiyyah
(Syair Akidah Ahlissunnah Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Bagian ke-2
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) terhadap
Qashidah Lamiyyah yang menerangkan tentang akidah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H), yang menunjukkan bahwa
akidah Beliau adalah akidah Ahlussunnah wal Jamaah, akidah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan merupakan akidah imam
yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah) semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
وَأَرُدُّ
عُهْدَتَهَا إِلَى نُقَّالِهَا
وَأَصُونُهَا عَنْ كُلِّ مَا يُتَخَيَّلُ
Aku kembalikan
nash-nashnya kepada mereka yang meriwayatkannya
Aku jaga
nash-nashnya dari sikap membayangkannya
**********
Syarah (Penjelasan):
Maksud bait syair di atas adalah, bahwa
dalil-dalil yang datang berkenaan dengan sifat Allah Beliau sebutkan seperti
yang disebutkan oleh para periwayatnya tidak seperti kaum Mu’aththilah
yang meniadakannya, namun dalam memahaminya tidak membayangkannya seperti kaum Musyabbihah
yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Dalam bait di atas, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menyebutkan manhaj Ahussunnah wal Jamaah dalam menetapkan sifat Allah,
yaitu: (1) menetapkan sifat Allah mengikuti apa yang Allah sebutkan dalam
kitab-Nya, dan Rasul shallallahu alaihi wa sallam sebutkan dalam As Sunnah, (2)
menyucikan Allah Ta’ala dari segala sifat kekurangan dan dari kesamaan dengan
makhluk-Nya, dan (3) tidak berusaha mengetahui lebih lanjut hakikat sifat Allah
itu.
**********
قُبْحَاً
لِمَنْ نَبَذَ القُرَانَ وَرَاءَهُ
وَإِذَا اسْتَدَلَّ يَقُولُ قَالَ الأخْطَلُ
Keburukan bagi
mereka yang mengenyampingkan Kitabullah
Ketika berdalih,
malah mengambil ucapan Al Akhthal
**********
Syarah (Penjelasan):
Dalam bait syair di atas, Syaikhul Islam
mencela mereka yang mengenyampingkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam, namun malah berpegang dengan pendapat Al Akhthal;
seorang penyair Nasrani yang hidup di masa Bani Umayyah. Termasuk di dalamnya
mereka yang berpaling dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi
wa sallam, namun berpegang kepada pendapat Ahli Filsafat atau Ahli Kalam.
**********
وَالْمُؤْمِنُونَ
يَرَونَ حَقًا رَبَّهمُ
وَإِلَى السَّمَاءِ بِغَيرِ كَيفٍ يَنْزِلُ
Kaum mukmin
nanti akan melihat Rabb mereka dengan benar
Dan turunnya
Allah ke langit dunia adalah benar tanpa menanyakan kaifiyat turunnya
**********
Syarah (Penjelasan):
Dalam bait di atas, Syaikhul Islam
menerangkan, bahwa kaum mukmin nanti akan melihat Allah di akhirat berdasarkan
dalil-dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ
نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri.--Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (Qs. Al Qiyamah: 22-23)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu ia
berkata, “Kami pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat
Rabb kita pada hari Kiamat?” Beliau menjawab, “Apakah kalian kesulitan
menyaksikan matahari dan bulan ketika cuaca cerah?” Kami menjawab, “Tidak.” Beliau
bersabda,
فَإِنَّكُمْ لاَ
تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ رَبِّكُمْ يَوْمَئِذٍ إِلَّا كَمَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَتِهِمَا
“Sesungguhnya kalian tidak akan kesulitan
melihat Rabb kalian pada hari itu sebagaimana kalian tidak kesulitan melihat
keduanya (matahari dan bulan).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
**********
وأُقِرُّ
بِالْمِيْزَانِ وَالْحَوْضِ الَّذِي
أَرْجُوا بِأَنِّي مِنْهُ رِيًّا أنْهَلُ
Aku meyakini adanya mizan (timbangan
amal) dan haudh (telaga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam)
Aku berharap dapat menghilangkan
dahagaku dengan meminumnya pertama kali
**********
Syarah (Penjelasan):
Termasuk Akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah mengimani adanya
mizan dan haudh sebagaimana disebutkan dalilnya dalam Al Qur’an atau As Sunnah.
Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ
الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ
مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka
tidak ada seseorang yang dirugikan barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu)
hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah
Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Qs. Al Anbiya: 47)
Tentang haudh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ نَاسٌ
مِنْ أَصْحَابِي الحَوْضَ، حَتَّى عَرَفْتُهُمْ اخْتُلِجُوا دُونِي، فَأَقُولُ:
أَصْحَابِي، فَيَقُولُ: لاَ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Akan ada segolongan dari umatku yang hendak mendatangi telagaku,
sedangkan aku mengenal mereka, namun mereka ditarik dan dijauhkan dariku, lalu
aku berkata, “Umatku!” Kemudian dikatakan, “Engkau tidak mengetahui apa yang
mereka ada-adakan setelahmu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
**********
وَكَذَا
الصِّرَاطَ يُمَدُّ فَوْقَ جَهنَّمٍ
فَمُسَلَّمٌ
نَاجٍ وَآخرُ مُهْمَلُ
Demikian pula aku yakini adanya
shirath (jembatan) yang dibentangkan di atas neraka Jahannam
Di antara mereka
ada yang selamat, sedangkan yang lain tidak
**********
Syarah (Penjelasan):
Dalil adanya shirath adalah sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam berikut,
"Kemudian disiapkan titian dan dibentangkan di
atas neraka Jahannam,” kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apa titian itu?”
Beliau bersabda,
مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ،
عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلاَلِيبُ، وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ
عُقَيْفَاءُ، تَكُونُ بِنَجْدٍ، يُقَالُ لَهَا: السَّعْدَانُ، المُؤْمِنُ
عَلَيْهَا كَالطَّرْفِ وَكَالْبَرْقِ وَكَالرِّيحِ، وَكَأَجَاوِيدِ الخَيْلِ
وَالرِّكَابِ، فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ، وَنَاجٍ مَخْدُوشٌ، وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ، حَتَّى يَمُرَّ آخِرُهُمْ يُسْحَبُ سَحْبًا
“Jembatan yang licin dan menggelincirkan, di atasnya ada
besi bengkok dan besi yang bagian atasnya bengkok, duri yang lebar dan bengkok
seperti yang ada di Nejed (dataran tinggi), yang disebut duri pohon Sa’dan.
Orang mukmin yang berada di atas jembatan itu ada yang melintasnya sekejap
mata, ada yang seperti kilat, ada yang seperti angin, dan ada yang secepat kuda
dan kendaraan pilihan. Ketika itu ada yang selamat tanpa cacat, ada yang
selamat namun terkena cabikan besi, dan ada yang terjatuh ke neraka, sehingga
manusia yang terakhir melewatinya dengan diseret-seret.” (HR. Bukhari no. 7439)
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu berkata, “Sampai
berita kepadaku, bahwa jembatan itu lebih halus daripada sehelai rambut, dan
lebih tajam daripada pedang.”
**********
والنَّارُ
يَصْلاَها الشَّقِيُّ بِحِكْمَةٍ
وَكَذَا
التَّقِيُّ إِلَى الْجِنَانِ سَيَدْخُلُ
Neraka akan
dimasuki oleh orang yang celaka karena kebijaksanaan Allah
Sedangkan orang
yang bertakwa akan masuk surga
**********
Syarah (Penjelasan):
Dalam bait ini Syaikhul Islam menetapkan
adanya surga dan neraka, keduanya telah ada sekarang, dan bawa surga dan neraka
adalah tempat yang abadi. Surga akan dimasuki oleh orang-orang yang bertakwa,
sedangkan neraka akan dimasuki oleh orang-orang yang celaka (orang-orang
kafir). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ
بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَزِيزًا حَكِيمًا (56) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا ظَلِيلًا (57)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali
kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya
mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.--Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang
saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai
istri-istri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi
nyaman.” (Qs. An Nisaa’:
56-57)
Demikian pula, Beliau menetapkan bahwa
orang-orang kafir masuk ke neraka karena hikmah dan keadilan-Nya, dan bahwa Dia
sama sekali tidak berbuat zalim kepada mereka.
**********
وَلِكُلِّ
حَيٍّ عَاقِلٍ في قَبْرِهِ
عَمَلٌ
يُقَارِنُهُ هُنَاكَ ويُسْأَلُ
Orang yang hidup
dan berakal (mukallaf) saat berada di kubur
Akan ditemani
amalnya dan akan ditanya
**********
Syarah (Penjelasan):
Dalam bait di atas, Syaikhul Islam
menyebutkan salah satu Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu adanya fitnah kubur
(ujian dengan pertanyaan di alam kubur), nikmat kubur, dan azabnya, dan bahwa
yang akan menemani seseorang di kubur adalah amalnya.
Dari Anas, dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, Beliau bersabda,
اَلْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ
فِي قَبْرِهِ، وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ
نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ، فَأَقْعَدَاهُ، فَيَقُولاَنِ لَهُ: مَا كُنْتَ
تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَيَقُولُ:
أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ: انْظُرْ إِلَى
مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ،
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا،
وَأَمَّا الكَافِرُ - أَوِ المُنَافِقُ - فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِي، كُنْتُ أَقُولُ
مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ، ثُمَّ يُضْرَبُ
بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ، فَيَصِيحُ صَيْحَةً
يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Seorang hamba ketika telah diletakkan di
kubur, lalu ditinggalkan, dan kawan-kawannya pun telah pergi sehingga ia pun
mendengar bunyi sandal mereka, maka dua malaikat akan mendatanginya dan
mendudukkannya, kemudian bertanya, “Apa pendapatmu tentang orang ini –yakni
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam-?” Ia pun menjawab, “Aku bersaksi bahwa
Beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya,” lalu dikatakan, “Lihatlah tempatmu di
neraka, Allah telah menggantinya dengan tempat di surga,” Beliau bersabda,
“Lalu orang itu melihat kedua tempat itu. Adapun orang kafir atau munafik, maka
jawabannya adalah, “Aku tidak tahu, aku mengatakan sebagaimana yang dikatakan
manusia.” Kemudian dikatakan kepadanya, “Engkau tidak tahu dan tidak pula
mengikuti orang yang mengerti,” lalu ia dipukul dengan palu godam besar dari
besi di antara kedua telinganya, sehingga ia berteriak dengan teriakan yang
didengar oleh makhluk di sekitarnya kecuali jin dan manusia.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
**********
هَذَا اعْتِقَادُ
الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ
وَأَبِي
حَنِيْفَةَ ثُمَّ أَحْمَدَ يُنْقَلُ
Ini merupakan
akidah Imam Syafi’i dan Malik
Demikian pula akidah
Imam Abu Hanifah dan Ahmad
**********
Syarah (Penjelasan):
Pada bait di atas, Syaikhul Islam menyatakan,
bahwa akidah yang Beliau sampaikan juga merupakan akidah para imam madzhab yang
empat, yaitu Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad rahimahumullah.
Imam Syafi’i adalah salah satu Imam madzhab,
nama Beliau Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, lahir pada tahun 150 H di Gaza. Di
antara gurunya adalah Imam Malik bin Anas. Di antara karya tulisnya adalah Al
Umm. Sufyan bin Uyaynah berkata, “Jika ia wafat, maka berarti telah wafat
orang paling mulia di zamannya.” Ia wafat pada tahun 204 H di Mesir. (Lihat
Tarikh Baghdad 51/267, 348 dan Siyar A’lamin Nubala 10/5-6, 18,
45).
Imam Malik adalah imam Darul hijrah
(Madinah). Nasab Beliau Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Harits Al
Ashbahi. Lahir pada tahun 93 H. Ibnu Mahdiy berkata, “Imam Ahli Hadits yang
dijadikan panutan itu ada empat, yaitu: Sufyan di Kufah, Malik di Hijaz, Al
Auza’iy di Syam, dan Hammad bin Zaid di Bashrah.” Ia wafat pada tahun 179 H
(Lihat Tartib Al Madarik 1/104-153).
Nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin
Tsabit bin Zutha At Taimiy Al Kufiy. Ia lahir pada tahun 80 H, hidup di masa
para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang kecil, ia sempat melihat
Anas bin Malik radhiyallahu anhu.
Imam Malik pernah ditanya, “Pernahkah engkau
melihat Abu Hanifah?” Ia menjawab, “Ya. Aku melihat Beliau adalah seorang yang
sekiranya ia berbicara kepadamu tentang tiang ini bisa dijadikannya sebagai
emas, tentu ia mampu menyebutkan alasan-alasannya.”
Ali bin Ashim berkata, “Kalau sekiranya ilmu
Imam Abu Hanifah ditimbang dengan ilmu ulama pada zamannya, tentu ia lebih
mengungguli.”
Abu Hanifah pernah ditanya, “Termasuk kelompok manakah engkau?” Ia
menjawab, “Aku termasuk mereka yang tidak mencela salaf, beriman kepada takdir,
dan tidak mengkafirkan salah seorang kaum muslimin karena dosa yang
dilakukannya.” (Al Bidayah wan Nihayah 9/336)
Pernyataan Imam Abu Hanifah ini merupakan bukti bahwa Beliau
termasuk Ahlussunnah wal Jamaah, dan bahwa Beliau berlepas diri dari kelompok
yang mencela para sahabat seperti Syiah, demikian pula Beliau berlepas diri dari kaum Qadariyyah
yang mengingkari takdir, serta berlepas diri dari kaum Khawarij yang
mengkafirkan kaum muslimin karena dosa besar.
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H dalam usia
70 tahun (Lihat Wafayatul A’yan 5/405-415 dan Siyar A’lamin Nubala
6/390-403).
Imam Ahmad adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal Asy Syaibani. Lahir pada tahun 164 H di Baghdad. Imam Syafi’i
rahimahullah berkata, “Ahmad adalah imam dalam delapan perkara; imam dalam
bidang hadits, imam dalam bidang fiqih, imam dalam hal Al Qur’an, imam dalam
hal kefakiran, imam dalam hal kezuhudan, imam dalam hal kewaraan, dan imam
dalam hal Sunnah.” Ia juga berkata, “Aku tinggalkan Baghdad, dan aku tidak meninggalkan
orang yang lebih bertakwa, lebih wara, lebih fakih, dan lebih berilmu daripada
Ahmad bin Hanbal.”
Ali bin Al Madini berkata, “Allah memuliakan
agama ini dengan Ash Shiddiq pada hari terjadinya permurtadan, dan dengan Ahmad
pada hari terjadinya ujian.”
Ia wafat pada tahun 241 H di Baghdad (Lihat Tarikh
Baghdad karya Al Khathib Al Baghdadi 6/90, Thabaqat Al Hanabilah
karya Abu Ya’la 1/5, dan Siyar A’lamin Nubala karya Adz Dzahabi
11/178-179, 196, dan 334).
**********
فَإِنِ
اتَّبَعْتَ سَبِيْلَهُمْ فَمُوَفَّقٌ
وَإنِ
ابْتَدَعْتَ فمَا عَلَيْكَ مُعَوَّلُ
Jika engkau
mengikuti jalan mereka, berarti engkau mendapatkan taufik
Tetapi jika
engkau mengada-ada dengan berbuat bid’ah, maka engkau sama sekali tidak
memiliki sandaran
**********
Syarah (Penjelasan):
Dalam dua bait syair di atas, Syaikhul Islam
menyatakan, bahwa mereka yang mengikuti akidah Ahlussunnah tersebut yang
merupakan akidah para imam yang empat pula, berarti ia telah mendapatkan taufik
untuk mengikuti kebenaran. Tetapi barang siapa yang tidak mau mengambil akidah
itu, bahkan menetapkan beberapa pernyataan baru yang tidak pernah dinyatakan
Rasulullah shallallahu alaih wa sallam dan para sahabatnya, maka berarti telah
datang dengan membawa perkara yang baru dalam agama ini yang tidak ada
sandarannya, padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami
ini yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menyimak Pembacaan Manzhumah Lamiyyah
Bagi yang ingin mendengar pembacaan syair
Manzhumah Laamiyyah silahkan simak di sini : https://www.youtube.com/watch?v=ZqqJ9Xru-ZQ
(dibacakan oleh Muhammad Asy Syarif bin Idris Hawil) atau di sini : https://www.youtube.com/watch?v=qshWBmmwiUI
(dibacakan oleh Abu Hurairah Al Libiy).
Selesai dengan pertolongan Allah dan
taufik-Nya.
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina
Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan Hadidi bin Musa, M.PdI
Maraji’: At Ta’liqaat Alal Laamiyyah (Khalid
bin Mahmud Al Juhanniy), http://majles.alukah.net/t114718/ Maktabah Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar