بسم الله الرحمن الرحيم
Risalah Masjid (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan risalah tentang masjid,
semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Berbicara di Masjid
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Boleh berbicara dengan pembicaraan yang mubah di masjid, terkait dengan urusan
dunia maupun lainnya yang mubah meskipun sampai tertawa dan semisalnya selama
mubah. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samurah ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak bangun dari tempat shalatnya yang Beliau
shalat Subuh di sana sampai terbit matahari. Saat matahari terbit, barulah
Beliau bangun. Ketika itu, mereka (para sahabat) melakukan obrolan hingga
membahas masalah Jahiliyah yang lalu, lalu mereka tertawa, sedangkan Beliau
hanya tersenyum.” (Hr. Muslim)
Bolehnya Makan, Minum, dan Tidur di Masjid
Dari Ibnu Umar ia berkata, “Kami di zaman
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidur di masjid, kami tidur siang di
sana pada saat masih masih muda.”
Imam Nawawi berkata, “Telah shahih riwayat,
bahwa Ashabush shuffah (para sahabat yang tinggal di serambi masjid),
orang-orang Urn (salah satu kabilah bangsa Arab), Ali, Shafwan bin Umayyah, dan
jamaah para sahabat mereka semua tidur di masjid. Bahkan Tsumamah pernah tidur
di masjid sebelum masuk Islam. Semua itu terjadi di zaman Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.”
Imam Syafi’i dalam Al Umm berkata,
“Jika orang musyrik saja bisa tinggal di masjid, apalagi orang muslim.”
Dalam Al Mukhtashar disebutkan, “Tidak
mengapa orang musyrik bermalam di semua masjid selain Masjidilharam.”
Abdullah bin Harits berkata, “Kami pernah
makan roti dan daging di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di
masjid.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad hasan)
Menganyam Jari-Jemari
Dimakruhkan menganyam jari-jemari ketika
keluar menuju shalat dan ketika berada di masjid saat menanti waktu shalat.
Selain itu, tidak mengapa menganyam jari-jemari meskipun berada di masjid.
Dari Ka’ab ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا تَوَضَّأَ
أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى المَسْجِدِ فَلَا
يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ»
“Apabila salah seorang di antara kamu
berwudhu, lalu ia memperbagus wudhunya, kemudian keluar menuju masjid, maka
janganlah ia menganyam jari-jemarinya, karena ia berada dalam shalat.” (Hr.
Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Shalat di Antara Tiang-Tiang
Boleh bagi imam dan orang yang
shalat sendiri melakukan shalat di antara tiang-tiang. Hal ini berdasarkan
hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam saat masuk Ka’bah, melakukan shalat di antara tiang-tiang.
Sa’id bin Jubair, Ibrahim At Taimiy, dan
Suwaid bin Ghaflah pernah mengimami kaum mereka di antara tiang-tiang.
Adapun bagi makmum, maka makruh
melakukan shalat di antara tiang-tiang ketika tempatnya masih lapang, karena
hal itu dapat memutuskan shaf, namun tidak makruh ketika keadaan sempit.
Dari Anas ia berkata, “Kami dilarang melakukan
shalat di antara tiang-tiang dan dijauhkan daripadanya.” (Hr. Hakim, dan ia
menshahihkannya)
Dari Mu’awiyah bin Qurrah, dari ayahnya ia
berkata, “Kami dilarang membuat shaf di antara tiang-tiang di zaman Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, dan dijauhkan daripadanya sejauh-jauhnya.” (Hr.
Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dalam Sunannya
larangan hal itu dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah radhiyallahu
anhum.
Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Tidak diketahui
ada yang menyelisihinya dari kalangan para sahabat.”
Beberapa Tempat Dilarang Shalat
Telah ada riwayat-riwayat yang melarang melakukan shalat di tempat-tempat
berikut ini:
1. Tempat pemakaman atau kuburan
Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan
Nasrani; mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” (Hr. Ahmad,
Bukhari, Muslim, dan Nasa’i)
Dalam riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu
Martsad Al Ghanawi, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تُصَلُّوا إِلَى
الْقُبُورِ، وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا»
“Janganlah kalian shalat menghadap kubur dan
jangan duduk di atasnya.”
Dari Jundab bin Abdullah Al Bajalliy ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda – lima
hari sebelum wafatnya –,
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ
قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا
الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ingatlah! Sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian menjadikan kubur para nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid.
Ingatlah! Janganlah menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku
melarang kalian terhadap hal itu.” (Hr. Muslim)
Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Ummu
Salamah pernah menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
tentang gereja yang dilihatnya di Habasyah bernama Mariyah, dilihatnya di dalam
gereja itu terdapat banyak gambar-gambar, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا
مَاتَ فِيهِمُ العَبْدُ الصَّالِحُ، أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ، بَنَوْا عَلَى
قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ
الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ»
“Mereka jika seorang yang saleh di antara
mereka meninggal dunia, maka mereka bangunkan masjid di atas kuburnya dan
membuat gambar-gambar itu. Mereka adalah seburuk-buruk manusia di sisi Allah.”
(Hr. Bukhari, Muslim, dan Nasa’i)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia
berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زُوَّارَاتِ الْقُبُورِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
melaknat wanita yang sering ziarah kubur.” (Hr. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al
Albani)
Sebagian ulama membawa larangan shalat di
dekat kuburan sebagai larangan makruh, dan keadaannya sama saja baik kuburan
itu di depan orang yang shalat maupun di belakangnya. Namun menurut kami,
larangan tersebut menunjukkan haram, wallahu a’lam.
Menurut ulama madzhab Zhahiri, larangan di
atas adalah larangan yang menunjukkan haram, dan bahwa shalat di tempat
pemakaman adalah batal.
Menurut Ulama madzhab Hanbali, bahwa larangan tersebut tertuju jika
kuburannya terdiri dari tiga buah kubur atau lebih. Jika hanya satu atau dua buah
kubur, maka shalat di dalamnya sah namun makruh ketika kubur di arah kiblat.
Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –termasuk ulama
madzhab Hanbali- tidak menyetujui pendapat tersebut, bahkan membantahnya dan
menyebutkan dari sebagian besar para pengikut madzhab Imam Ahmad, bahwa tidak
ada bedanya, baik hanya satu kubur maupun lebih. Ia (Ibnu Taimiyah) berkata
dalam Al Ikhtiyarat Al Ilmiyyah, “Tidak sah shalat di pemakaman dan
menghadap kepadanya. Dilarangnya hal itu adalah untuk mencegah jalan ke arah
syirik. Sebagian ulama yang semadzhab dengan kami menyebutkan, bahwa jika hanya
satu atau dua buah kubur tidak mengapa shalat di situ, karena tidak terkena
kata ‘pemakaman atau pekuburan’, karena pemakaman itu jika terdiri dari tiga
kubur atau lebih. Tetapi tidak ada pada pernyataan Imam Ahmad dan para
pengikutnya secara umum yang membedakan hal tersebut, bahkan pendapat mereka,
alasan dan pendalilan mereka secara umum melarang shalat meskipun hanya satu
buah kubur, dan inilah yang benar. Pekuburan adalah semua tempat yang di sana
dikubur mayit, bukan jamak dari kata qabr (kubur). Para ulama yang semadzhab
dengan kami berkata, “Semua area yang masuk ke dalam kata pekuburan, yaitu
sekitar kuburan adalah tidak boleh dilakukan shalat di dalamnya. Hal ini
menunjukkan, bahwa larangan tersebut mencakup satu kubur berikut area
sekitarnya yang menjadi bagiannya. Al Amidi dan lainnya menyebutkan, bahwa
tidak boleh shalat di sana, yakni masjid yang kiblatnya menghadap kubur sampai
antara dinding (masjid) dengan kuburan ada penghalang lain. Sebagian mereka
menyatakan, bahwa itulah yang dinyatakan Imam Ahmad.”
Syaikhul Islam juga menyebutkan dalam Al
Fatawa dan lainnya tentang kesepakatan para ulama terhadap makruhnya shalat
di masjid yang dibangun di atas kuburan, ia juga menyebutkan adanya pernyataan
batal dalam madzhab Imam Ahmad.
Faedah:
Abu Musa Al Asy’ariy dan Umar bin Abdul Aziz
pernah shalat di gereja.
Asy Sya’bi, Atha, dan Ibnu Sirin memandang hal
itu tidak mengapa.
Bukhari berkata, “Ibnu Abbas melakukan shalat
di gereja kecuali jika ada patung-patung di dalamnya.”
Ada surat dari Najran kepada Umar, bahwa
mereka (kaum muslimin) tidak menemukan tempat yang lebih bersih dan lebih bagus
daripada gereja, maka Umar menuliskan surat yang isinya, “Siramilah dengan air
yang dicampur daun bidara, dan shalatlah di sana.”
Adapun ulama madzhab Hanafi dan madzhab
Syafi’i, mereka menganggap makruh shalat pada kedua tempat itu (gereja dan
biara) secara mutlak.
2. Kamar mandi dan tempat pembaringan unta
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ
وَالْمَقْبَرَةَ
“Bumi itu semuanya masjid kecuali kamar mandi
dan pekuburan.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim, Baihaqi, dan lain-lain,
dishahihkan oleh Al Albani)
Makruhnya shalat di kamar mandi adalah karena
sebagai tempat yang mudah terkena najis.
Menurut Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan ulama madzhab
Zhahiri, tidak sah shalat di situ.
Adapun larangan shalat di tempat pembaringan
unta (tempat menambat unta) adalah berdasarkan hadits Abdullah bin Mughaffal Al Muzanniy, bahwa Rasulullah shallalahu
alaihi wa sallam bersabda,
«صَلُّوا فِي مَرَابِضِ
الْغَنَمِ، وَلَا تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ، فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنَ
الشَّيَاطِينِ»
“Shalatlah di tempat pembaringan (kandang) kambing,
dan jangan shalat di tempat pembaringan unta, karena ia diciptakan dari setan-setan.”
(Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Menurut Al Khaththabi, maksud unta diciptakan
dari setan-setan adalah karena di dalamnya terdapat sifat mudah lari yang
terkadang merusak (membuat tidak fokus) shalat seseorang.
Catatan:
Dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk ke Baitullah bersama Usamah bin Zaid,
Bilal, dan Utsman bin Thalhah, lalu pintu Baitullah pun ditutup. Saat mereka
buka, maka aku yang pertama kali masuk, dan bertanya kepada Bilal, “Apakah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tadi melakukan shalat?” Ia menjawab, “Ya,
di antara dua tiang Yamani.” (Hr. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah
versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah (www.dorar.net), Tamamul
Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), http://library.islamweb.net/hadith/rawysrch.php,
Aunul Ma’bud (Muhammad Asyraf Al Azim Abadi), dll.
0 komentar:
Posting Komentar