Sujud Tilawah (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سجود التلاوة‬‎
Sujud Tilawah (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sujud tilawah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Syarat sujud tilawah
Jumhur (mayoritas) para Ahli Fiqih mensyaratkan dalam sujud tilawah syarat yang sama dalam shalat, yaitu harus suci, menghadap kiblat, dan menutup aurat. (Ibnu Abidin 2/106, Ad Dasuqi 1/307, Al Majmu’ 4/63, dan Al Mughni 1/650).
Adapun Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak mensyaratkan demikian, karena sujud tilawah bukanlah shalat, bahkan sebagai ibadah (lainnya), dan sudah menjadi maklum, bahwa suatu jenis ibadah tidak disyaratkan harus suci. Ini pula yang menjadi pendapat Ibnu Umar, Asy Sya’bi, dan Bukhari, dan inilah yang rajih, insya Allah. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sujud ketika membaca surat An Najm, lalu ikut sujud pula bersama Beliau kaum muslimin, kaum musyrik, jin, dan manusia. (HR. Bukhari (1071) dan Tirmidzi (575))
Imam Syaukani rahimahullah berkata, “Tidak ada dalam hadits-hadits yang berkenaan dengan sujud tilawah sesuatu yang menunjukkan bahwa orang yang melakukan sujud tilawah harus berwudhu. Orang-orang yang hadir mendengarkan bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ikut sujud bersama Beliau, ternyata tidak ada nukilan, bahwa Beliau memerintahkan salah seorang di antara mereka untuk bewudhu, bahkan jauh sekali kemungkinan bahwa mereka dalam keadaan berwudhu. Demikian pula kaum musyrik ikut melakukan sujud, padahal mereka adalah najis, dan tidak sah wudhu mereka.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa ia melakukan sujud (tilawah) dalam keadaan tidak berwudhu. Hal ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar.
Adapun riwayat Baihaqi dari Ibnu Umar - disebutkan dalam Al Fat-h, bahwa isnadnya shahih – ia berkata, “Seseorang tidak melakukan sujud tilawah kecuali dalam keadaan suci,” maka menurut Al Hafizh ketika memadukan kedua riwayat itu, bahwa suci di sini adalah suci dari hadats besar, atau sifatnya lebih memilih, sedangkan yang sebelum jika kondisi darurat. Demikian pula tidak ada dalam hadits-hadits itu hal yang menunjukkan harus suci pakaian dan tempatnya. Adapun menutup aurat dan menghadap kiblat ketika mampu, maka ada yang berpendapat, bahwa hal itu diperhatikan (untuk dilakukan) berdasarkan kesepakatan ulama.” (Nailul Awthar 3/125).
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqhis Sunnah berkata, “Selama sujud tersebut bukan sebagai shalat, maka tidak disyaratkan menghadap kiblat sebagaimana telah disebutkan dari Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah. Akan tetapi, tidak diragukan lagi, bahwa sujud tilawah yang dilakukan dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, tentu lebih utama dan sempurna, dan tidak patut meninggalkannya jika tidak ada udzur. Adapun mensyaratkan suci dan menghadap kiblat, maka tidak demikian, wallahu a’lam.” (Shahih Fiqhis Sunnah hal. 450)
Tatacara sujud tilawah
Para Ahli Fiqh sepakat, bahwa sujud tilawah dilakukan sekali saja.
Prakteknya sama seperti sujud dalam shalat.
Boleh bertakbir dan boleh juga tidak, dan tidak ada salam di dalamnya.
Sujud tilawah yang dilakukan oleh orang yang berjalan dan orang yang menaiki kendaraan
Barang siapa yang membaca atau mendengar ayat sajdah, sedangkan dirinya dalam keadaan berjalan atau menaiki kendaraan, lalu ingin sujud, maka ia bisa berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja ia menghadap.
Dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah ditanya tentang sujud di atas hewan kendaraan, maka ia menjawab, “Sujudlah dan berisyaratlah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (4210) dengan sanad yang shahih).
Demikian pula telah shahih berisyarat dengan kepala bagi orang yang jalan dari sebagian kaum salaf seperti kawan-kawan Ibnu Mas’ud dan lainnya.
Bacaan sujud tilawah
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dalam sujud karena membaca Al Qur’an di malam hari; Beliau mengucapkannya beberapa kali dalam sujud, yaitu:
«سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ»
“Wajahku sujud kepada Rabb yang telah menciptakannya, membuka pendengaran dan penglihatannya dengan kuasa dan kekuatan-Nya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’I, dishahihkan oleh Al Albani. Hakim menambahkan kalimat, Fatabaarakallahu ahsanul khaliqin (artinya: Mahasuci Allah sebaik-baik Pencipta), dan dishahihkan oleh Tirmidzi serta Ibnus Sakan.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Ada seorang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, semalam, ketika tidur aku bermimpi sepertinya diriku shalat di belakang sebuah pohon, lalu aku sujud, kemudian ikut sujud pula pohon mengikuti sujudku. Aku mendengar pohon itu mengucapkan,
اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ
“Ya Allah, catatlah untukku di sisi-Mu sebagai pahala, gugurkanlah dosaku karenanya, dan jadikanlah ia sebagai simpanan di sisi-Mu, dan terimalah sujudku itu sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu, yaitu Dawud.”
Ibnu Abbas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat sajdah, lalu sujud. Aku mendengar Beliau mengucapkan sama seperti yang diucapkan orang itu tentang ucapan pohon (yang sujud).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)
Namun apabila ia sujud tilawah dalam shalat, maka hendaknya ia mengucapkan sebelumnya, “Subhaana Rabbiyal A’laa.
Sebagian ulama ada yang mendhaifkan kedua hadits di atas, sehingga berpendapat cukup membaca, “Subhaana Rabbiyal A’laa.”
Abu Dawud berkata, “Aku mendengar Ahmad saat ditanya tentang ucapan ketika sujud Al Qur’an (sujud tilawah), ia menjawab, “Adapun aku, maka aku mengucapkan, “Subhaana Rabbiyal A’laa.” (Masaa’il Abi Dawud hal. 93).
Sujud tilawah dalam shalat
Boleh bagi imam dan seorang yang shalat sendiri[i] membaca ayat sajdah dalam shalat yang dijaharkan (dikeraskan) maupun disirkan, dan melakukan sujud ketika membacanya.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Rafi ia berkata, “Aku pernah shalat Isya bersama Abu Hurairah, lalu ia membaca surat idzas samaa’un syaqqat (QS. Al Insyiqaq) dan melakukan sujud di sana, maka aku berkata, “Wahai Abu Hurairah, sujud apa ini?” Ia menjawab, “Aku melakukan sujud di belakang Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku senantiasa sujud hingga aku bertemu dengannya.”
Imam Nawawi berkata, “Menurut kami, tidak makruh membaca ayat sajdah bagi imam sebagaimana bagi orang yang shalat sendiri, baik dalam shalat yang disirkan maupun dijaharkan, dan ia melakukan sujud saat membacanya.”
Imam Malik berkata, “Makruh secara mutlak.”
Abu Hanifah berkata, “Makruh dalam shalat yang disirkan; bukan pada shalat yang dijaharkan.”
Penyusun kitab Al Bahr berkata, “Menurut madzhab kami dianjurkan sujudnya ketika ia selesai salam agar tidak mengacaukan para makmum.”
Anjuran sujud tilawah ini berlaku baik dalam shalat fardhu maupun sunah. Inilah madzhab jumhur ulama, baik dalam shalat sendiri atau berjamaah, baik ketika sir (pelan) maupun jahar.
Menurut kami, akan tetapi makruh bagi imam melakukan sujud tilawah dalam shalat yang disirkan agar tidak mengacaukan makmum. Dan inilah yang dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Akan tetapi ulama madzhab Syafi’i berkata, “Tidak makruh, akan tetapi dianjurkan menunda sujudnya setelah selesai shalat agar tidak membuat bingung para makmum, dan dilakukan ketika tidak terlalu panjang jedanya.” (Al Majmu’ 4/72, dan Nihayatul Muhtaj 2/95).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), dll.




[i] Bagi makmum harus mengikuti imamnya ketika sujud meskipun makmum tidak mendengar imamnya membaca ayat sajdah. Dan ketika imam membaca ayat sajdah, namun tidak sujud, maka makmum pun tidak sujud; ia harus mengikuti imamnya. Demikian pula ketika makmum membaca ayat sajdah atau mendengar dari pembaca Al Qur’an lainnya yang tidak bersamanya dalam shalat itu, maka ia tidak melakukan sujud tilawah, bahkan bisa melakukannya setelah selesai dari shalat itu.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger