Sujud Tilawah (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سجود التلاوة‬‎
Sujud Tilawah (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang sujud tilawah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Sujud Tilawah
Barang siapa yang membaca ayat sajdah atau mendengarnya, maka dianjurkan untuk bertakbir lalu sujud sekali[i], kemudian bertakbir untuk bangun dari sujud. Inilah yang disebut sujud tilawah, dimana di dalamnya tidak ada tasyahhud dan salam.
Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang membaca ayat sajdah di luar shalat, maka ia mengucapkan, “Allahu akbar,” (lalu sujud).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 3/349/5930, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah).
Keutamaan sujud tilawah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي، يَقُولُ: يَا وَيْلِي - أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِيَ النَّارُ
“Apabila anak Adam membaca ayat sajdah, lalu sujud, maka setan menyingkir sambil menangis dan berkata, “Celakalah aku, anak Adam diperintahkan bersujud, lalu ia sujud, maka ia berhak memperoleh surga, sedangkan aku diperintahkan bersujud,  namun aku enggan melakukannya, maka bagiku neraka.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah)
Hukum sujud tilawah
Jumhur ulama berpendapat, bahwa sujud tilawah merupakan sunnah bagi pembaca dan pendengar[ii]. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari dari Umar, bahwa ia pernah membaca surat An Nahl pada hari Jumat di atas mimbar, sehingga ketika sampai ayat sajdah, ia turun dan melakukan sujud, kemudian orang-orang pun ikut sujud, lalu pada hari Jumat berikutnya, ia membaca lagi dan ketika sampai ayat sajdah, maka ia berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya kita tidak diperintahkan (secara wajib) untuk sujud; barang siapa yang bersujud, maka ia telah benar, dan barang siapa yang tidak sujud, maka tidak ada dosa baginya.”
Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan sujud, kecuali jika kita mau.”
Jamaah Ahli Hadits selain Ibnu Majah meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ia berkata, “Aku pernah membaca di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, namun Beliau tidak melakukan sujud di sana.” (Diriwayatkan pula oleh Daruqutni, ia menambahkan, “Sehingga tidak ada di antara kami yang sujud,”).
Al Hafizh dalam Al Fat-h merajihkan, bahwa meninggalkan sujud tilawah maksudnya untuk menerangkan kebolehan, demikianlah yang dikuatkan oleh Imam Syafi’i.
Hal ini diperkuat pula oleh hadits riwayat Al Bazzar dan Daruquthni dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud pada surat An Najm, lalu kami pun sujud bersama Beliau.” Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, ”Para perawinya adalah tsiqah.”
Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat An Najm, lalu Beliau bersujud dan ikut sujud pula orang-orang yang bersama Beliau selain seorang tua dari kaum Quraisy yang hanya mengambil segenggam pasir atau tanah, lalu ia tempelkan ke dahinya sambil berkata, “Begini sudah cukup.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku melihatnya setelah itu ia terbunuh dalam keadaan kafir.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kepada siapakah tertuju hukum sujud tilawah?
Para ulama sepakat, bahwa hukum sujud tilawah tertuju kepada orang yang membaca ayat sajdah, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang orang yang mendengar ayat sajdah, apakah dianjurkan sujud atau tidak?
Pendapat pertama, orang yang mendengar ayat sajdah dianjurkan sujud secara mutlak meskipun orang yang membaca tidak sujud. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Malik.
Pendapat kedua, tidak melakukan sujud kecuali jika bermaksud mendengarkan, dan ketika yang membaca ayat sajdah itu melakukan sujud, serta termasuk orang yang sah menjadi imam. Ini adalah madzhab Imam Ahmad dan salah satu riwayat dari Malik. Alasannya adalah:
a. Hadits Ibnu Umar ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membacakan surat yang terdapat ayat sajdah di dalamnya, Beliau pun sujud dan kami pun ikut sujud, sehingga salah seorang di antara kami tidak mendapatkan tempat untuk meletakkan dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Ibnu Mas’ud berkata kepada Tamim bin Hadzlam saat membaca ayat sajdah, “Sujudlah, engkau imam kami dalam hal ini.”
Dengan demikian, bagi pendengar disunnahkan bersujud mengikuti sujudnya orang yang membaca ayat sajdah. Jika ia tidak sujud, maka tidak ditekankan untuk pendengar melakukan sujud tilawah, meskipun lebih utama adalah melakukannya, wallahu a’lam.
Letak sujud tilawah
Dari Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepadanya 15 ayat sajdah dalam Al Qur’an, di antaranya ada tiga ayat sajdah dalam Al Mufashshal, dan dua ayat sajdah dalam surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim, Daruquthni, dan dihasankan oleh Al Mundziri dan Nawawi, namun didhaifkan oleh Abdulhaq dan Ibnul Qaththan)[iii].
Ayat-ayat sajdah tersebut adalah:
1. QS. Al A’raaf: 206
2. QS. Ar Ra’d: 15
3. QS. An Nahl: 49
4. QS. Al Isra: 107
5. QS. Maryam: 58
6. QS. Al Hajj: 18
7. QS. Al Furqan: 60
8. QS. An Naml: 25-26
9. QS. As Sajdah: 15
10. QS. Fushshilat: 37-38[iv]
Sepuluh ayat sajdah di atas telah disepakati (Lihat Syarhul Ma’ani karya Ath Thahawi 1/359, At Tamhid 19/131, dan Al Muhalla 5/105).
11. QS. Shaad: 24[v]
12. 13. QS. An Najm: 62[vi]
13. QS. Al Insyiqaq: 21[vii]
14. QS. Al Alaq: 19[viii]
15. QS. Al Hajj: 77[ix]
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), dll.


[i] Syaikh Al Albani rahimahullah berkata, “Sejumlah orang sahabat meriwayatkan sujud tilawah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada beberapa ayat (sajdah) di berbagai kesempatan, namun tidak ada di antara mereka yang menyebutkan takbir Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika akan sujud. Oleh karena itu, kami lebih cenderung berpendapat tidak disyariatkan bertakbir, dan ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.” (Tamaamul Minnah 1/267)
[ii] Tetapi menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu riwayat dari Ahmad, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa sujud tilawah hukumnya wajib dengan beberapa alasan, di antaranya karena celaan Allah kepada mereka yang tidak melakukan sujud tilawah (lihat QS. Al Insyiqaq: 20-21) dan perintah-perintah sujud dalam ayat-ayat sajdah (lihat QS. An Najm: 62 dan Al Alaq: 19), tetapi dijawab oleh jumhur bahwa celaan itu tertuju kepada mereka yang tidak mau sujud karena enggan dan sombong, dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak melakukan sujud dalam ayat sajdah. Zaid bin Tsabit berkata, “Aku pernah membacakan surat An Najm di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Beliau tidak sujud di sana.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Maka tidak ada seorang pun di antara kami yang melakukan sujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
[iii] Menurut Syaikh Al Albani rahimahullah, bahwa hadits tersebut tidaklah hasan, karena di dalam sanadnya ada dua rawi yang majhul. Oleh karena itu, Al Hafizh dalam At Talkhish setelah menukilkan pernyataan hasan dari Al Mundziri dan Nawawi berkata, “Hadits tersebut didhaifkan oleh Abdulhaq dan Ibnul Qaththan. Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Manin seorang yang majhul, demikian pula rawi yang meriwayatkan darinya, yaitu Al Harits bin Sa’id Al ‘Itqiy juga sama tidak dikenal. Ibnu Makula berkata, “Ia tidak memiliki hadits selain ini saja.” Oleh karena itu, Imam Thahawi lebih memilih pendapat bahwa dalam surat Al Hajj tidak terdapat dua ayat sajdah di bagian akhirnya, dan inilah madzhab Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, ia berkata, “Karena tidak ada sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula tidak terdapat ijma, namun telah shahih dari Umar bin Khaththab dan anaknya Abdullah, serta Abu Darda melakukan sujud di sana.”
Selanjutnya Ibnu Hazm berpendapat disyariatkannya melakukan sujud pada ayat-ayat sajdah lainnya yang disebutkan dalam Al Qur’an, dan Beliau menyebutkan, bahwa sepuluh yang pertama itu (QS. Al A’raaf: 206, QS. Ar Ra’d: 15, QS. An Nahl: 49, QS. Al Isra: 107, QS. Maryam: 58, QS. Al Hajj: 18, QS. Al Furqan: 60, QS. An Naml: 25, QS. As Sajdah: 15, dan QS. Fushshilat: 37) disepakati tentang disyariatkannya sujud di sana di kalangan para ulama.
Demikian pula Ath Thahawi menukilkan adanya kesepakatan ulama terhadapnya sebagaimana dalam Syarhul Ma’ani 1/211, hanyasaja ia menjadikan ayat sajdah dalam surat Fushshilat sebagai ganti ayat sajdah dalam surat Shaad.
Selanjutnya keduanya (Ibnu Hazm dan Thahawi) menyebutkan hadits dengan sanad-sanad yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau melakukan sujud pada surat Shaad, An Najm, Al Insyiqaq, dan Iqra (Al ‘Alaq). Tiga surat terakhir ini termasuk surat Al Mufashshal yang diisyaratkan dalam hadits Amr di atas.
Kesimpulannya, hadits di atas meskipun lemah, namun umat telah sepakat mengamalkan sebagian besarnya, dan adanya hadits-hadits shahih yang menjadi syahid (penguat) terhadap ayat-ayat sajdah selebihnya, selain ayat sajdah kedua dari surat Al Hajj, maka tidak ditemukan syahid (penguat) dalam As Sunnah, serta tidak adanya kesepakatan, hanyasaja praktek sebagian sahabat dengan melakukan sujud di sana menunjukkan akan disyariatkannya, apalagi tidak diketahui adanya yang menyelisihi, wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah 1/269)
[iv] Jumhur menganjurkan sujud pada ayat ‘laa yas’amuun’, sedangkan yang masyhur di kalangan ulama madzhab Maliki adalah pada ayat ‘in kuntum iyyahu ta’budun.’
[v] Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Shaad di atas mimbar, ketika sampai ayat sajdah, maka Beliau turun dan melakukan sujud, lalu orang-orang pun ikut sujud bersama Beliau. Pada hari lainnya, Beliau membaca ayat itu, dan pada saat sampai ayat sajdah, maka orang-orang bersiap-siap sujud, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّمَا هِيَ تَوْبَةُ نَبِيٍّ، وَلَكِنِّي رَأَيْتُكُمْ تَشَزَّنْتُمْ لِلسُّجُودِ»
“Sesungguhnya ayat itu berkenaan dengan taubat seorang nabi. Akan tetapi, aku melihat kalian bersiap-siap sujud.”
Maka Beliau pun turun (dari mimbar), lalu sujud dan orang-orang pun ikut sujud.” (HR. Abu Dawud, dan para perawinya adalah para perawi kitab shahih).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Shaad bukanlah termasuk ayat-ayat yang ditekankan sujud, namun aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sujud di sana.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat Umar membaca surat Shaad di atas mimbar, lalu Beliau turun dan melakukan sujud padanya, kemudian ia naik ke atas mimbar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abdurrazzaq, dan Baihaqi, dan dinyatakan isnadnya shahih oleh penyusun Shahih Fiqhis Sunnah).
As Sa’ib bin Yazid berkata, “Aku melihat Utsman sujud pada surat Shaad.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abdurrazzaq, dan Baihaqi, dan dinyatakan isnadnya shahih oleh penyusun Shahih Fiqhis Sunnah).
[vi] Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat An Najm, lalu Beliau bersujud padanya, sehingga tidak ada seorang yang hadir kecuali melakukan sujud (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Zaid bin Tsabit, bahwa ia pernah membaca di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, namun Beliau tidak melakukan sujud padanya (HR. Bukhari dan Muslim).
[vii] Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku sujud padanya di belakang Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terus menerus sampai aku berjumpa dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah juga berkata, “Abu Bakar dan Umar melakukan sujud pada ayat idzas samaa’un syaqqat (QS. Al Insyiqaq) dan ayat Iqra’ bismi Rabbikalladzi khalaq (QS. Al ‘Alaq), demikian pula dilakukan oleh orang yang lebih baik daripada keduanya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (HR. Nasa’i dalam Al Kubra (1037), Thayalisi (2499), dan Abdurrazzaq (5886), dinyatakan shahih oleh penyusun Shahih Fiqhis Sunnah).
Demikian pula telah shahih praktek Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Ammar melakukan sujud pada ayat tersebut.
[viii] Lihat catatan kaki sebelumnya.
[ix] Ada sebuah riwayat dari Uqbah bin Amir, bahwa ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dalam surat Al Hajj ada sujud dua kali?” Beliau menjawab, “Ya, namun barang siapa yang tidak sujud pada keduanya, maka jangan membacanya,” namun hadits ini dhaif. Akan tetapi sejumlah sahabat berpendapat disyariatkannya sujud pada ayat tersebut, di antaranya Umar bin Khaththab, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abu Darda, dan Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhum. Ini juga pendapat Abdurrahman As Sulamiy, Abul ‘Aliyah, dan Zir bin Jaisy. Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya yang menyelisihi mereka di zamannya.”
Hal ini menunjukkan disyariatkannya sujud pada ayat tersebut, bahkan ini juga menjadi pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger