Shalat Tahiyyatul Masjid, Shalat Sunah Setelah Wudhu, Shalat Taubat, dan Sujud Syukur

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫لا يزال عبدي يتقرب الي بالنوافل‬‎
Shalat Tahiyyatul Masjid, Shalat Sunah Setelah Wudhu, Shalat Taubat, dan Sujud Syukur
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang Shalat Tahiyyatul Masjid, Shalat Sunah Setelah Wudhu, Shalat Taubat, dan Sujud Syukur, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Shalat Tahiyyatul Masjid
Dianjurkan bagi seorang yang masuk ke masjid tidak langsung duduk kecuali setelah shalat dua rakaat, yang biasa dikenal dengan shalat Tahiyyatul Masjid. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut:
Pertama, hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila salah seorang di antara kamu masuk ke masjid, maka janganlah ia duduk sampai melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Sulaik Al Ghathfani berdiri untuk shalat dua rakaat saat ia mendatangi shalat Jum’at namun langsung duduk, ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkannya shalat dua rakaat, saat ia mendatangi masjid untuk mengambil bayaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap unta yang Beliau beli darinya (HR. Bukhari dan Muslim)
Perintah dalam hadits di atas menurut jumhur (mayoritas) ulama menunjukkan sunah; bukan wajib. Mereka beralasan dengan hadits seorang Arab badui yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah ada kewajiban lain selain shalat lima waktu?” Beliau menjawab,
لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
“Tidak ada, kecuali jika kamu mau melakukan yang sunah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Demikian pula berdasarkan hadits Abu Waqid Al Laitsiy, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah duduk di masjid sedangkan orang-orang bersama Beliau. Tiba-tiba ada tiga orang; dua di antaranya menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan yang satu pergi, lalu keduanya berdiri menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang satu saat melihat ada celah dalam halaqah, maka ia segera duduk di sana, sedangkan yang satu lagi duduk di belakang. Adapun orang yang ketiga, ia berpaling dan pergi. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai (memberikan ta’lim), Beliau bersabda,
« أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلاَثَةِ ؟ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ ، فَآوَاهُ اللَّهُ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا ، فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَأَعْرَضَ ، فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ » .
“Maukah kamu aku beritahukan tentang tiga orang? Salah satunya berlindung kepada Allah, maka Allah melindunginya, yang kedua malu, maka Allah malu kepadanya, sedangkan yang lain berpaling, maka Allah berpaling darinya.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits tersebut, kedua orang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung duduk dan tidak diperintahkan oleh Beliau untuk shalat dua rakaat, wallahu a’lam.
Catatan:
Telah disebutkan pada pembahasan waktu-waktu terlarang, bahwa shalat Tahiyyatul masjid termasuk shalat yang memiliki sebab, dimana shalat ini dilakukan pada waktu kapan saja meskipun pada waktu-waktu yang makruh, demikianlah menurut pendapat yang rajih (kuat).
Shalat Setelah Wudhu
Dianjurkan bagi seorang yang telah berwudhu melakukan shalat dua rakaat atau lebih pada waktu kapan saja –meskipun pada waktu-waktu yang makruh-. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ: «عِنْدَ صَلاَةِ الفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي: أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا، فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ "
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal radhiyallahu anhu seusai shalat Subuh, “Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar gerakan kedua sandalmu di hadapanku di surga!” Ia menjawab, “Aku tidaklah mengerjakan amalan yang paling aku harapkan selain apabila aku berwudhu baik di malam atau siang hari kecuali aku melakukan shalat karena wudhu itu sejumlah yang ditakdirkan Allah bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Shalat Taubat
Barang siapa yang terjatuh ke dalam dosa atau mengerjakan suatu dosa, maka hendaknya ia segera bertaubat dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penerima taubat.
Shalat karena bertaubat dari suatu dosa adalah dianjurkan berdasarkan kesepakatan madzhab yang empat (Lihat Ibnu Abdin 1/462, Ad Dasuqi 1/314, Asnal Mathalib, dan Kasysyaful Qina’ 1/443). Hal ini berdasarkan hadits Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا، فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ،
“Tidak ada seorang hamba yang mengerjakan suatu dosa, lalu ia memperbagus wudhunya, bangun dan shalat dua rakaat, kemudian meminta ampunan kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuninya.”
Selanjutnya, Beliau membacakan ayat ini,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 135)
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Shalat dua rakaat setelah thawaf di Ka’bah
Menurut jumhur (mayoritas) para ulama dianjurkan[i] melakukan shalat dua rakaat setelah thawaf di belakang maqam Ibrahim, dimana dalam shalat itu ia membaca surat Al Kafirun pada rakaat pertama setelah Al Fatihah, dan membaca surat Al Ikhlas pada rakaat kedua setelah surat Al Fatihah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu dalam ibadah hajinya sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir yang panjang (Shahih Muslim no. 1218).
Kedua rakaat ini dilakukan pada waktu kapan saja meskipun pada waktu-waktu terlarang. Hal ini berdasarkan hadits Jubair bin Muth’im, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا البَيْتِ، وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ»
“Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorang pun melakukan thawaf di rumah ini (Baitullah), dan melakukan shalat kapan saja yang ia mau baik malam maupun siang.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Sujud syukur
Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan seseorang ketika kedatangan nikmat atau terhindar dari musibah.
Dalil disyariatkan sujud syukur adalah hadits Ka’ab bin Malik yang panjang, bahwa dirinya ketika mendapatkan kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya, ia pun bersujud syukur (HR. Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)
Syaikh Abu Malik Kamal As Sayyid Salim berkata, “Telah ada sejumlah hadits –meskipun pada sanad-sanadnya terdapat pembicaraan- dari dua belas orang sahabat lebih yang menyebutkan sujud syukur yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memperoleh sesuatu yang menggembirakan atau mendapatkan kabar gembira, maka Beliau tersungkur sujud karena bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 2774, Tirmidzi no. 1578, Ibnu Majah 1394, dan lain-lain dengan sanad yang layyin/lunak, dan disebutkan syahid-syahidnya secara lengkap dalam Ta’zhim Qadrish Shalah, maka silahkan lihat jika engkau mau).”
Oleh karena syahid-syahidnya, maka Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/226 menyatakan bahwa hadits di atas adalah hasan.
Adapun praktek sujud syukur adalah dengan melakukan sujud sekali seperti sujud ketika shalat, dan tidak disyaratkan harus bersuci dan meghadap kiblat.
Sujud syukur juga bisa dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat. Dan sujud syukur ini tidak disyariatkan ketika sedang melakukan shalat.
Demikian pula menurut pendapat yang rajih (kuat), bahwa dalam sujud syukur tidak wajib bertakbir baik di awal maupun di akhirnya, demikian pula tidak ada tasyahhud dan salam. Inilah yang dinyatakan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berdasarkan salah satu riwayat darinya. Hal itu, karena tidak ada riwayat demikian baik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.
Catatan:
1. Dalam sujud syukur diperbolehkan membaca Subhaana Rabbiyal A’laa sebagaimana diperbolehkan pula memuji Allah Ta’ala dengan kalimat pujian apa saja.
2. Tidak ada dalilnya melakukan sujud syukur setiap selesai melakukan shalat.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Shahih Fiqhis Sunnah (Abu Malik Kamal As Sayyid Salim), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Riwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), Sujudsy Syukr wa Ahkamuhu fil Fiqhil Islami (Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin), Mulakhkhash Ahkam Sujud (Rami Hanafi Mahmud), dll.


[i] Tetapi menurut ulama madzhab Hanafi, hukumnya wajib.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger