بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (17)
(KETIDAKBERHAKAN SELAIN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
UNTUK DISEMBAH)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang
kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab:
Firman Allah Ta’ala:
أَيُشْرِكُونَ مَا لاَ
يَخْلُقُ شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ،-وَلاَ يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا
وَلاَ أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ
“Apakah
mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tidak dapat
menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan manusia.--Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada
penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak
dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raaf: 191-192)
**********
Penjelasan:
Pada
bab ini, penyusun menyebutkan dalil batilnya perbuatan syirik dan menerangkan
keadaan sesembahan selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dimana di dalamnya
terdapat hujjah yang pasti terhadap kebenaran tauhid.
Dalam
ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menggunakan kalimat pertanyaan untuk
mengingkari orang-orang yang menyekutukan-Nya dengan sesuatu seperti patung dan
berhala, bahwa patung-patung dan berhala-berhala tidak dapat menciptakan,
sedangkan mereka sendiri diciptakan. Demikian pula tidak dapat menolong para penyembahnya,
bahkan menolong diri mereka sendiri mereka tidak bisa.
Perhatikanlah
kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam seorang diri menghancurkan patung-patung!
Kalau sekiranya mereka bisa menyelamatkan diri mereka sendiri tentu mereka
tidak hancur.
Kesimpulan:
1.
Batilnya perbuatan syirik
(menyektukan Allah Subhanahu wa Ta’ala).
2.
Yang menciptakan itulah
yang berhak disembah, yaitu Allah Azza wa Jalla.
3.
Tauhid Rububiyyah
menghendaki tauhid Uluhiyyah.
4.
Disyariatkan berdebat
dengan kaum musyrik untuk menjunjung kebenaran dan mengalahkan kebatilan.
**********
Firman
Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن
دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ - إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ
وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ
بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Dan
yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari.--Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar seruanmu; dan
kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Pada
hari kiamat, mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat
memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh yang Maha
Mengetahui.” (QS. Fathir: 13-14)
**********
Penjelasan:
Dalam
ayat di atas, Allah Subhanahau wa Ta’ala menerangkan keadaan sesembahan kaum
musyrik berupa patung-patung dan berhala yang menunjukkan kelemahan mereka, dan
bahwa sesembahan itu tidak memiliki apa yang mereka (para penyembah) minta,
tidak mendengar, dan tidak berkuasa mengabulkan permohonan mereka.
Dalam
ayat ini juga terdapat bukti batilnya perbuatan syirik, serta terdapat bantahan
terhadap kaum musyrik.
Kesimpulan:
1.
Batilnya perbuatan syirik.
2.
Alasan ketidakberhakan
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk disembah.
3.
Akidah yang benar didasari
dalil wahyu dan akal; bukan hanya kira-kira dan taqlid buta (ikut-ikutan).
4.
Menetapkan ilmu bagi Allah
terhadap kesudahan segala sesuatu.
**********
Dalam kitab
Shahih dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Wajah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah terluka pada perang Uhud, dan gigi seri Beliau pecah,
lalu Beliau bersabda,
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ
شَجُّوْا نَبِيَّهُمْ
“Bagaimana
suatu kaum akan beruntung, sedangkan mereka melukai wajah Nabi mereka?”
Selanjutnya
turunlah firman Allah Ta’ala,
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ
شَيْءٌ
“Tidak
ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (QS.
Ali Imran: 128)
**********
Penjelasan:
Hadits
di atas disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dalam Al
Maghazi, dan dimaushulkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa’i dari beberapa
jalan dari Humaid sebagaimana dalam Al Fat-h (7/365), adapun hadits Tsabit
dimaushulkan oleh Muslim dalam Al Jihad was Siyar (1791), Bab Ghazwah
Uhud dari riwayat Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas radhiyallahu ‘anhu.
Demikian takhrij Syaikh Ali bin Sinan.
Dalam
hadits di atas, Anas radhiyallahu ‘anhu menyampaikan hal yang menimpa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Uhud, yang kemudian Beliau
merasa bahwa kaum kafir Quraisy tidak akan beruntung lagi, lalu Allah Azza wa
Jalla menurunkan ayat di atas yang menunjukkan, bahwa hal itu adalah
urusan-Nya; bisa saja Dia menerima taubat mereka atau mengazab mereka, karena
mereka adalah orang-orang zalim.
Hubungan
ayat di atas dengan bab ini adalah, bahwa dalam ayat ini terdapat dalil
batilnya berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan para nabi dan para wali,
karena jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang Rasul pilihan saja tidak
berkuasa menghindarkan musibah dari diri Beliau, apalagi selain Beliau.
Kesimpulan:
1.
Batilnya berbuat syirik
(menyekutukan Allah) dengan para nabi dan orang-orang salih.
2.
Para nabi dan rasul
sebagaimana manusia yang lain merasakan sakit.
3.
Wajibnya mengikhlaskan
ibadah kepada Allah Azza wa Jalla saja.
4.
Disyariatkan bersabar dan
siap memikul gangguan di jalan Allah.
5.
Larangan berputus asa dari
rahmat Allah meskipun seseorang melakukan berbagai kemaksiatan besar selain
syirik.
**********
Dalam
kitab Shahih pula dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa saat bangun dari ruku pada
rakaat terakhir shalat Subuh,
اَللَّهُمَّ الْعَنْ فُلاَناً
وَفُلاَناً
“Ya
Allah, berilah laknat kepada si fulan dan si fulan!”
Setelah
Beliau mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah – Rabbana walakal hamdu,”
maka Allah Ta’ala menurunkan firman, “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu.” (QS. Ali Imran: 128)
Dalam
sebuah riwayat disebutkan, “Beliau mendoakan keburukan terhadap Shafwan bin
Umayyah, Suhail bin Amr, dan Harits bin Hisyam, lalu turunlah firman Allah
Ta’ala, “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.”
(QS. Ali Imran: 128)
**********
Penjelasan:
Riwayat
yang pertama disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 4069, sedangkan riwayat
kedua disebutkan dalam kitab yang sama no. 4070.
Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang sahabat mulia dan termasuk ulama
di kalangan sahabat, ia wafat pada tahun 73 H.
Dalam
hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan keadaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya melakukan qunut
nazilah (karena musibah yang menimpa kaum muslimin); mendoakan keburukan kepada
beberapa orang kafir yang menjadi pemimpin kaum musyrik dalam perang Uhud,
namun kemudian Allah menerima taubat mereka, mereka pun masuk Islam dan
keislaman mereka menjadi baik.
Hadits
di atas juga menunjukkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu
menghilangkan derita yang menimpa Beliau sendiri shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, bahkan Beliau kembali kepada Allah Azza wa
Jalla meminta pertolongan-Nya. Hal ini menunjukkan batilnya keyakinan para
penyembah kubur terhadap para wali dan para nabi, yaitu bahwa mereka (para wali
dan para nabi) dapat menghindarkan bahaya dan musibah.
Kesimpulan:
1.
Batilnya bergantung kepada
para wali dan para nabi dalam memenuhi hajat dan menghilangkan derita.
2.
Bolehnya mendoakan
keburukan kepada kaum musyrik dalam shalat.
3.
Disyariatkannya qunut
nazilah, dan bahwa lafaznya menyesuaikan kondisi.
**********
Dalam kitab
Shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (di atas bukit Shafa) ketika Allah telah menurunkan
kepada Beliau,
وَأَنذِرْ
عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS.
Asy Syu’ara: 214)
Beliau
bersabda, “Wahai kaum Quraisy! –atau mengucapkan kalimat yang semisalnya- Tebuslah
diri kalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Aku tidak
dapat berbuat apa-apa untuk kalian di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul
Muththalib! Aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah. Wahai
Shafiyyah bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Aku tidak dapat
berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah. Wahai Fatimah binti Muhammad!
Silahkan minta kepadaku harta yang kumiliki sesuai kehendakmu. Tetapi, aku tidak
dapat berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah.”
**********
Penjelasan:
Nama Abu
Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakhr, berasal dari suku Daus. Ia termasuk
sahabat utama, penghapal ilmu, dan termasuk ulama di kalangan sahabat. Ia meriwayatkan
hadits lima ribu hadits lebih, wafat pada tahun 59 atau 58, atau 57 H.
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Bukhari no. 2753, Muslim no. 206, dan Tirmidzi no.
3184.
Dalam
hadits di atas, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan tentang sikap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendapat perintah Allah untuk
memberikan peringatan kepada kerabatnya, dimana Beiau langsung melaksanakannya.
Beliau juga menyeru kaum Quraisy berikut suku-sukunya, menyeru pula paman,
bibi, dan puteri Beliau. Beliau menyuruh mereka menebus diri mereka dari siksa
Allah dengan mentauhidkan dan menaati-Nya, dan menyampaikan bahwa Beliau tidak
dapat berbuat apa-apa di hadapan Allah, dan bahwa kedekatan nasab mereka dengan
Beliau tidaklah bermanfaat apa-apa tanpa diiringi keimanan kepada Allah dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadits
di atas juga terdapat dalil, bahwa tidak boleh meminta pertolongan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi kepada selain Beliau dari kalangan para
nabi dan para wali yang telah wafat. Demikian pula terdapat bantahan terhadap para
penyembah kubur yang meminta-minta kepada orang-orang yang telah mati untuk
menghilangkan derita dan memenuhi hajatnya.
Kesimpulan:
1.
Bantahan terhadap para
penyembah kubur yang meminta kepada para nabi dan para wali yang telah wafat.
2.
Tidak diperbolehkan
meminta pertolongan kepada seseorang kecuali jika orang itu mampu melakukannya,
ada di hadapannya, dan masih hidup.
3.
Segeranya Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dalam menyambut perintah Allah Azza wa Jalla dan menyampaikan
risalah-Nya.
4.
Tidak ada yang dapat
menyelamatkan seseorang dari azab Allah kecuali iman dan amal saleh.
5.
Sekedar sebagai kerabat
tidaklah bermanfaat bagi seseorang tanpa diiringin iman dan amal saleh.
Bersambung...
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar