بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Shalat Dengan Tidak
Thuma’ninah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Pada bulan Ramadhan
yang lalu dishare sebuah video melalui media sosial dan internet tentang
pelaksanaan shalat tarawih berikut witir dengan jumlah dua puluh tiga rakaat
yang hanya memakan waktu 7 sampai 10 menit atau sampai 15 menit, di salah satu
pondok Pesantren di Blitar Jawa Timur. Di video tersebut kita saksikan,
bagaimana mereka melakukan shalat secara cepat sekali. Yang ingin kita kaji
adalah, apa hukum melaksanakan shalat secara cepat seperti ini dalam pandangan
hukum Islam (fiqh)?
Thuma’ninah
merupakan rukun shalat
Perlu diketahui,
bahwa thuma’ninah dalam shalat termasuk rukun shalat. Ini adalah pendapat ulama
madzhab Syafi’i[i],
ulama madzhab Hanbali[ii],
pendapat Abu Yusuf salah seorang ulama madzhab Hanafi[iii],
salah satu pendapat ulama madzhab Maliki[iv],
pendapat Dawud[v], pendapat
pilihan Ibnul Hammam dan muridnya Ibnu Amiril Haaj[vi],
demikian pula menjadi pilihan Ibnu Abdil Bar[vii],
Ibnu Taimiyah[viii],
Ibnu Baz[ix],
Ibnu Utsaimin[x],
bahkan ada pernyataan ijma’ tentang hal ini[xi].
Dengan demikian,
jumhur (mayorotas) fuqaha dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan
menjadi pendapat Abu Yusuf kawan Abu Hanifah, berpendapat bahwa thuma’ninah
merupakan fardhu atau rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpanya[xii].
Dalil bahwa
thuma’ninah merupakan rukun shalat adalah hadits-hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِ المَسْجِدِ، فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ
عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَلَيْكَ
السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ
جَاءَ فَسَلَّمَ، فَقَالَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، فَارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ
لَمْ تُصَلِّ» فَقَالَ فِي الثَّانِيَةِ، أَوْ فِي الَّتِي بَعْدَهَا: عَلِّمْنِي
يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ
الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا
تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا،
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ
ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا»
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anha, bahwa ada seorang laki-laki masuk masjid, sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk di pojok masjid. Lalu orang
itu shalat, kemudian datang kepada Beliau sambi mengucapkan salam, maka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Wa alaikas salam,” dan
bersabda, “Kembalilah lagi dan lakukan shalat karena engkau belum shalat.”
Maka orang itu kembali shalat, kemudian datang kepada Beliau sambi mengucapkan
salam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Wa alaikas salam,”
dan bersabda, “Kembalilah lagi dan lakukan shalat karena engkau belum
shalat.” Orang itu pun berkata pada kedua kali atau ketiga kalinya, “Ajarilah
aku wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka
sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat, kemudian bertakbirlah. Lalu
bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukulah sehingga engkau
thuma’ninah ketika ruku. Lalu bangunlah, sehingga engkau berdiri lurus,
kemudian sujudlah sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud. Kemudian
bangunlah sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan duduk, lalu sujudlah
sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud, dan bangunlah sehingga engkau
thuma’niah dalam keadaan duduk. Lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu.” (HR.
Bukhari (6251) dan Muslim (397))
عَنْ زَيْدِِ بْنِ وَهْبٍ الْجُهَنيِّ
قَالَ : رَأَى حُذَيْفَةُ رَجُلًا لَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ، قَالَ:
«مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ
اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا»
Dari
Zaid bin Wahb Al Juhanniy, ia berkata, “Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah melihat
seseorang yang tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya, maka ia berkata, “Engkau
belum shalat. Jika engkau mati (dalam keadaan seperti ini), maka engkau mati
tidak di atas agama yang Allah ciptakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam di atasnya. “ (HR. Bukhari (791))
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ
الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ»
Dari Abu Mas’ud ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat
seseorang yang tidak menyempurnakan tulang belakangnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Abu Dawud (855) namun lafaznya “Laa
tujzi’u shalatur rajul hattaa yuqiima zhahrahu fir ruku was sujud”,
Tirmidzi (265), Nasa’i (1027), Ibnu Majah (870), Tirmidzi berkata, “Hasan
shahih.” Ibnu Hazm berhujjah dengannya dalam Al Muhalla (3/257), dan
dishahihkan oleh Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’an (1/643), Syaukani
dalam Nailul Awthar (2/280), dan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah
(870)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ
مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟
قَال: لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا
“Manusia yang
paling buruk melakukan pencurian adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencuri shalatnya?”
Beliau bersabda, “Yaitu ketika ia tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya.” (HR.
Ahmad 5/310 cet. Al Maimaniyyah, Hakim (1/229) cet. Darul Ma’arif Al
Utsmaniyyah dari hadits Abu Qatadah, dan dishahihkan oleh Hakim, serta
disepakati oleh Adz Dzahabiy)
Hakikat dan Hikmah
Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah
tenang dan diam sejenak seukuran sekali tasbih setelah tetapnya anggota badan.
Thuma’niah dalam ruku berarti diam sejenak setelah benar-benar ruku seukuran
sekali tasbih, dst.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya shalat adalah makanan bagi hati
sebagaimana gizi merupakan makanan bagi jasad. Jika jasad tidak mendapatkan
gizi dengan sedikit makanan, maka hati juga tidak mendapatkan asupan makanan
dengan shalat yang begitu cepat. Oleh karena itu, harus dilakukan shalat secara
sempurna yang dapat membuat hati menjadi bersih.” (Majmu’ Fatawa 22/538)
Kesimpulan
1. Thuma’ninah adalah rukun shalat,
maka jika ditinggalkan menjadi TIDAK SAH shalatnya.
2. Orang yang melakukan shalat secara
tidak thuma’ninah dipandang menurut hukum Islam sebagai orang yang belum
shalat.
3. Memberikan contoh yang tidak baik
dalam Islam adalah dosa, maka hendaknya orang yang mencontohkan shalat secara
tidak thumani’nah apalagi memfatwakan bolehnya bertaubat darinya, karena yang
demikian termasuk mencontohkan praktek yang tidak baik dalam agama ini,
sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»
“Barang siapa yang mencontohkan sunnah yang baik dalam
Islam (seperti menghidupkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
setelah dimatikannya), maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya
setelahnya tanpa dikurangi seikit pun pahala mereka. Dan barang siapa yang
mencontohkan sunnah yang buruk (seperti mencontohkan tatacara ibadah yang tidak
dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka ia menanggung
dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya seelahnya tanpa dikurangi
sedikit pun dosa mereka.” (HR. Muslim (1017) dan Nasa’i (2554)).
Dalam lafaz Ibnu
Majah disebutkan,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي،
فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ
مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً، فَعُمِلَ بِهَا، كَانَ عَلَيْهِ
أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا
"Barang
siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku, lalu dilakukan oleh manusia, maka
dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa
dikurangi dari pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mengadakan
sebuah bid'ah, lalu dikerjakan oleh yang lain, maka ia akan menanggung dosa
seperti dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa
orang yang melakukannya." (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih
lighairih oleh Al Albani).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah
Syamilah versi 3.45, http://www.dorar.net/enc/feqhia/3381, http://www.alukah.net/sharia/0/68327/#ixzz3gpBrIrwx, Al
Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim
Ahli Fiqh, KSA), Al Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah (Abdurrahman Al
Jaziri), Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah
(Kementrian Waqaf dan Urusan Keislaman, Kuwait), dan lain-lain.
[i] Al Majmu’ 3/410 karya An Nawawi.
[ii] Al Furu’ 2/246 karya Ibnu
Muflih dan Kasysyaful Qina’ 1/387 karya Al Bahuti.
[iii] Fathul Qadir 1/300 karya Al
Kammal bin Al Hammam dan Hasyiyah Ibnu Abidin 1/464.
[iv] Syarh Mukhtashar
Khalil 1/274 karya Al Kharsyi dan Hasyiyah Ash Shaawiy ‘ala
Asy Syarhish Shaghir 1/316.
[v] Imam Nawawi
berkata, “Wajib thuma’ninah ketika ruku, sujud, i’tidal setelah ruku, dan
duduk antara dua sujud. Demikianlah yang dikatakan Malik, Ahmad, dan Dawud.”
(Al Majmu’ 3/410)
[vi] Hasyiyah Ibnu Abidin 1/464.
[vii] Al Kaafi fii Fiqhi
Ahlil Madinah 1/227.
[viii] Ibnu Taimiyah
berkata, “Thuman’inah dalam shalat adalah wajib. Orang yang meninggalkannya
telah melakukan kesalahan berdasarkan kesepakatan para imam, bahkan jumhur para
imam dalam Islam, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Yusuf kawan Abu
Hanifah. Abu Hanifah dan Muhammad tidak berbeda pendapat bahwa orang yang
meningalkan thuma’ninah telah melakukan kesalahan dan tidak baik shalatnya. Ia
telah berdosa dan bermaksiat karena meninggalkan kewajiban.” (Majmu’ Fatawa
22/601).
[ix] Ibnu Baz berkata,
“Hadits yang shahih ini menunjukkan bahwa thuma’ninah adalah rukun shalat dan
kewajiban yang besar di dalamnya, dimana shalat tidak sah tanpanya. Barang
siapa yang shalatnya cepat-cepat, maka tidak ada shalat baginya.” (Majmu
Fatawa Ibnu Baz 25/163)
[x] Ibnu Utsaimin
berkata, “Thuma’ninah pada rukun-rukun shalat termasuk rukun yang harus
dikerjakan. Barang siapa yang tidak thumaninah ketika shalat, maka shalatnya
batal.” (Majmu Fatawa wa Rasa’il Al Utsaimin 13/159)
[xi] Ibnu Taimiyah
berkata, “Ini adalah ijma para sahabat radhiyallahu anhum, karena mereka shalat
selalu thuma’ninah. Jika salah seorang di antara mereka melihat ada orang yang
tidak thuma’ninah, maka ia segera mengingkari dan melarangnya, dan di kalangan
mereka tidak ada yang mengingkari sahabat yang mengingkari orang yang tidak
thuma’ninah. Ini menunjukkan kesepakatan mereka akan wajibnya tenang dan
thuma’ninah dalam shalat. Mereka sepakat baik secara ucapan maupun tindakan
mereka. ” (Majmu Fatawa 22/569)
[xii] Mausu’ah Fiqhiyyah
Kuwaitiyyah 22/127.
0 komentar:
Posting Komentar