Sunah-Sunah Shalat (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سنن الصلاة‬‎

Sunah-Sunah Shalat (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Sunah-Sunah Shalat
3.     Isti’adzah (mengucapkan a’udzu billahi minasy syaithanirrajim)
Dianjurkan membaca isti’adzah bagi orang yang shalat setelah membaca doa istiftah dan sebelum membaca surat Al Fatihah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu hendak membaca Al Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An Nahl: 98)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pernah membaca (isti’adzah) dengan kata-kata,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، وَهَمْزِهِ، وَنَفْخِهِ، وَنَفْثِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk, dari serangannya, kesombongannya, dan syairnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)
Ibnul Mundzir berkata, “Telah ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau membaca “Audzu billahi minasy syaithanir rajim” sebelum membaca surat.”
4.     Mensirrkan bacaan isti’adzah
Dan disunahkan membacanya secara sir (pelan). Dalam Al Mughni disebutkan, “Dan isti’adzah dibaca secara sir; tidak dijahar(keras)kan. Aku tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
Akan tetapi Imam Syafi’i berpandangan boleh memilih antara menjaharkan dan mensirkan dalam shalat yang dijaharkan bacaannya. Memang ada riwayat menjaharkannya dari Abu Hurairah, tetapi melalui jalur yang dhaif.
Dan isti’adzah tidak disyariatkan kecuali pada rakaat pertama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun pada rakaat kedua, memulai dengan membaca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin (surat Al Fatihah) dan tidak diam terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, “Para fuqaha berbeda pendapat; apakah (pada rakaat kedua) merupakan tempat isti’adzah atau bukan? Namun mereka sepakat, bahwa rakaat kedua bukanlah tempat membaca doa istiftah. Dalam hal ini ada dua pendapat, dimana keduanya adalah riwayat dari Ahmad. Sebagian kawan-kawannya (yang semadzhab) menjadikan keduanya dasar, apakah bacaan (Al Qur’an) dalam shalat itu satu kesatuan, sehingga cukup satu isti’adzah atau setiap rakaat berdiri sendiri? Namun tidak ada perselisihan di antara kedua madzhab itu, bahwa doa istiftah cukup (sekali) untuk keseluruhan shalat. Dan mencukupkan diri dengan sekali isti’adzah lebih tampak (kuat) berdasarkan hadits shahih (di atas),” lalu Ibnul Qayyim menyebutkan hadits Abu Hurairah, kemudian berkata, “Sesungguhnya cukup sekali doa istiftah, karena mulut tidak berdiam antara dua bacaan, bahkan disela-selahi dzikr. Oleh karenanya, ia seperti satu bacaan ketika disela-selahi memuji Allah, bertasbih, bertahlil, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dsb.”
Imam Syaukani berkata, “Yang lebih hati-hati adalah membatasi diri dengan apa yang disebutkan dalam As Sunnah, yakni isti’adzah di awal rakaat pertama saja.”
5.     Membaca aamin.
Disunahkan bagi orang yang shalat baik sebagai imam, makmum, atau munfarid (yang shalat sendiri) untuk mengucapkan Aamiin setelah membaca surat Al Fatihah, dimana ia menjahar(keras)kannya pada shalat yang dijaharkan dan mensirkan pada shalat yang disirkan.
Dari Nu’aim Al Mujmir ia berkata, “Aku shalat di belakang Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lalu ia membaca, “Bismillahirrahmaanirrahim,” kemudian ia membaca Ummul Kitab, sehingga ketika ia selesai membaca waladh dhaallin, maka ia mengucapkan Aamiin, dan manusia (para makmum) pun mengucapkan Aamiin. Setelah itu Abu Hurairah berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kalian.” (Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq/tanpa sanad, demikian pula diriwayatkan oleh Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan As Siraj).
Dalam Shahih Bukhari disebutkan, “Ibnu Syihab berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Aamiin.”
Atha berkata, “Aamiin adalah doa. Ibnuz Zubair pernah membaca aamiin berikut para makmum yang berada di belakang sehingga di masjid terdengar suara keras.”
Nafi’ berkata, “Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan ucapan Aamiin dan ia mendorong manusia mengucapkannya. Aku juga mendengar hadits tentang Aamin dari Beliau.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca “Ghairil Maghdhubi ‘alaihim waladh dhaallin” mengucapkan Aamiin sehingga terdengar oleh shaf pertama yang berada di dekatnya. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, ia menambahkan, “sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di shaf pertama dan masjid terdengar suara keras.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim,” dan diriwayatkan pula oleh Baihaqi, ia berkata, “Hasan shahih,” demikian pula diriwayatkan oleh Daruquthni, ia berkata, “Isnadnya hasan.”)
Dari Wa’il bin Hujr ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat membaca “Ghairil Maghdhubi ‘alaihim waladh dhaallin” maka Beliau mengucapkan Aamin dengan memanjangkan suaranya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, namun lafaz Abu Dawud adalah rafa’a bihaa shautah (artinya: Beliau mengeraskan suaranya). Tirmidzi menyatakan hasan dan berkata, “Itulah yang dipegang oleh lebih dari seorang Ahli Ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, dan generasi setelahnya. Mereka memandang, hendaknya seseorang mengeraskan suaranya saat mengucapkan Aamin dan tidak melirihkannya.” Al Hafizh berkata, “Sanad hadits ini shahih.”)
Atha’ berkata, “Aku menjumpai dua ratus para sahabat di masjid ini, saat imam mengucapkan “Waladh dhaaallin” aku mendengar suara keras mereka mengucapkan “Aaamiin.”
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ، مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلَامِ وَالتَّأْمِينِ»
“Tidak ada sesuatu yang diirikan oleh orang-orang Yahudi terhadap kalian daripada irinya mereka terhadap salam dan ucapan aamiin.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Anjuran agar ucapan aamiin makmum bersamaan dengan ucapan aamiin imam
Dianjurkan bagi makmum mengucapkan aamiin bersamaan dengan imam, sehingga ia (makmum) tidak mendahuluinya dan tidak telat mengucapkannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
" إِذَا قَالَ الإِمَامُ: {غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] فَقُولُوا: آمِينَ، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "
“Jika imam mengucapkan “Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhaallin” maka ucapkanlah “Aamiin” karena barang siapa yang ucapannya bersamaan dengan ucapan para malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Abu Hurairah juga meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] فَقُولُوا: آمِينَ؛ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ: آمِينَ، وَإِنَّ الْإِمَامُ يَقُولُ: آمِينَ، فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengucapkan “Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhaalliin” maka ucapkanlah, “Aamiin” karena para malaikat juga mengucapkan “aamiin” dan imam juga mengucapkan aamiin. Barang siapa yang ucapan aamiinnya bersamaan dengan ucapan aamiin para malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam lafaz lain disebutkan,
إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin, karena barang siapa yang ucapan aamiinnya bersamaan dengan aamiin para malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Hadits ini bukanlah berarti imam lebih dulu mengucapkan aamiin. Kalimat “Jika imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin,” adalah seperti ucapan “Jika ketua rombongan telah bersiap-siap berangkat, maka bersiap-siaplah,” yakni agar perjalanan kalian bersamaan dengannya.
Ucapan “Aamin” yakni dengan dipendekkan atau dipanjangkan alifnya bukanlah termasuk surat Al Fatihah, ia hanyalah doa yang artinya, “Ya Allah, kabulkanlah.
6.     Membaca surat atau ayat Al Qur’an setelah Al Fatihah
Disunahkan bagi orang yang shalat membaca satu surat atau beberapa ayat dari Al Qur’an setelah membaca surat Al Fatihah, yaitu pada dua rakaat shalat Subuh dan Jum’at, dua rakaat pertama shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan pada semua rakaat shalat sunah.
Dari Abu Qatadah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam shalat Zhuhur, yaitu dua rakaat pertama dengan membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) dan dua surat, sedangkan pada dua rakaat setelahnya membaca Ummul Kitab (saja). Terkadang Beliau memperdengarkan bacaan ayat kepada kami. Beliau biasa membaca lebih panjang rakaat pertama daripada rakaat kedua. Demikian pula pada shalat Ashar dan shalat Subuh.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, ia (Abu Dawud) menambahkan, “Menurut kami, Beliau melakukan demikian (memanjangkan rakaat pertama) agar manusia memperoleh rakaat pertama.”)
Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Penduduk Kufah mengadukan Sa’ad kepada Umar, lalu Umar menggantinya dengan Ammar (sebagai gubernur). Mereka mengadukan Sa’ad sampai menyebutkan, bahwa Beliau tidak bagus shalatnya, maka Umar pun mengutus seseorang untuk memintanya datang menghadapnya, lalu Umar berkata, “Wahai Abu Ishaq! Sesungguhnya mereka mengatakan, bahwa kamu tidak bagus shalatnya.” Abu Ishaq pun berkata, “Ketahuilah! Demi Allah, aku shalat dengan mereka mengikuti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa menguranginya; aku shalat Isya dengan memanjangkan dua rakaat pertama dan meringankan dua rakaat kedua.” Maka Umar berkata, “Kami juga menganggapnya begitu terhadapmu wahai Abu Ishaq.” Maka Umar mengirimkan bersamanya seseorang atau beberapa orang ke Kufah, lalu orang itu bertanya kepada penduduk Kufah tentang Beliau (Abu Ishaq), dimana ia tidak meninggalkan satu masjid pun kecuali ditanyakan tentangnya, lalu mereka menyebut baik tentangnya, sehingga mereka tiba di masjid milik Bani ‘Abs, maka seseorang dari mereka yang bernama Usamah bin Qatadah yang dipanggil dengan nama Abu Sa’dah bangkit dan berkata, “Jika engkau meminta pendapat kami dengan nama Allah, maka ketahuilah, sesungguhnya Sa’ad tidaklah menjalankan pemerintahan secara adil, tidak membagi secara rata, dan tidak adil dalam memutuskan.” Sa’ad berkata, “Ketahuilah! Demi Allah, aku akan berdoa dengan tiga hal: ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, berdiri menyatakan demikian karena riya dan sum’ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya, dan jatuhkanlah ia ke dalam fitnah.” Setelah doa Sa’ad tersebut, maka ketika ia ditanya tentang keadaannnya kenapa demikian, ia menjawab, “Saya adalah orang yang tua renta dan terkena fitnah akibat doa Sa’ad.” Abdul Malik berkata, “Aku menyaksikannya ternyata kedua alisnya telah panjang menutupi kedua matanya karena tua, namun ia masih saja mendatangi anak-anak perempuan di jalan menyentuhkan jarinya kepada mereka.” (HR. Bukhari)
Abu Hurairah berkata, “Setiap shalat Beliau membaca (surat yang lain setelah Al Fatihah), jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperdengarkan bacaannya kepada kami, maka kami juga memperdengarkannya kepada kalian, jika Beliau melirihkan bacaannya kepada kami, maka kami pun melirihkan bacaannya kepada kalian. Jika engkau hanya membaca Ummul Qur’an (Al Fatihah) saja, maka engkau telah sah. Jika engkau tambahkan, maka itu lebih baik.” (HR. Bukhari)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Makbatah Syamilah versi 345, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger