بسم
الله الرحمن الرحيم
Sumber Hukum Islam
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Sumber hukum
Islam atau yang disebut dengan Mashadir Syar'iyyah lil ahkam, Ushulul Ahkam,
dan Adillatul ahkaam maksudnya adalah sesuatu yang dengan
memandangnya secara benar dapat memperoleh hukum syar'i.
Sumber hukum
Islam menurut jumhur (mayoritas) para ulama adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma',
dan Qiyas.
Maimun bin
Mihran berkata, "Abu Bakar Ash Shiddiq apabila kedatangan orang yang
bermasalah, maka dia melihat kitab Allah Ta'ala. Jika ia menemukan jawabannya,
maka dia memutuskan dengannya. Jika ia belum menemukan dalam kitab Allah, maka
dia lihat sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika ia menemukan
jawabannya, maka ia memutuskan dengannya. Jika ia kesulitan menemukannya, maka
dia mengumpulkan para pemuka manusia (para sahabat) dan bermusyawarah dengan
mereka. Jika pendapat mereka sepakat di atas sesuatu, maka ia memutuskan
dengannya. Dan Umar bin Khaththab juga melakukan hal yang sama." (A'laamul
Muwaqqi'in Juz 1 hal. 51).
Al
Qur'an
Al Qur'an adalah
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, dan dinukilkan kepada kita secara
mutawatir.
Tidak ada perselisihan
di kalangan kaum muslimin, bahwa Al Qur'an adalah hujjah bagi semuanya dan
bahwa ia adalah sumber hukum Islam yang pertama. Yang demikian adalah karena Al
Qur'an berasal dari sisi Allah, sedangkan bukti yang menunjukkan bahwa Al
Qur'an berasal dari sisi-Nya adalah karena kemukjizatannya.
Al Quran
memiliki banyak keistimewaan, di antaranya:
1. Sebagai firman Allah Ta'ala yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Dinukilkan kepada kita secara mutawatir
(jumlah yang banyak pada setiap generasi).
3. Dijaga dari adanya tambahan dan
pengurangan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al Hijr: 9)
4. Penuh dengan kemukjizatan. Oleh
karenanya Allah Subhaanahu wa Ta'ala menantang manusia untuk membuat kitab yang
semisal dengan Al Qur'an (lihat QS. Al Israa': 88), ternyata mereka tidak
sanggup. Kemudian Dia menantang mereka lagi untuk membuat sepuluh surat surat
saja yang semisal dengan Al Qur'an (lihat QS. Huud: 13), ternyata mereka tidak
sanggup. Kemudian Dia menantang mereka lagi untuk membuat satu surat saja yang
semisal dengan Al Qur'an (lihat QS. Huud: 13), ternyata mereka tidak sanggup.
Dan selamanya mereka tidak akan sanggup.
5. Berisi petunjuk agar manusia tidak
tersesat dan agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat (lihat QS.
Thaahaa: 123).
Adapun sisi
kemukjizatan Al Qur'an, maka sangat banyak. Misalnya dari sisi sastranya yang
tinggi, terdapat berita generasi terdahulu yang sebelumnya tidak diketahui
manusia, berita terhadap kejadian di masa mendatang yang sesuai dengan
kenyataan, seperti berita akan dikalahkan bangsa Persia oleh bangsa Romawi yang
sebelumnya kalah (lihat QS. Ar Ruum: 1-4), ternyata sesuai dengan kenyataan.
Demikian pula terdapat pengetahuan-pengetahuan tentang alam semesta ini yang
kemudian dibenarkan oleh pengetahuan modern.
Al Qur'an
mengandung banyak hukum, di antaranya:
Pertama, hukum yang terkait dengan akidah, seperti keimanan kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, surga
dan neraka, taqdir, dan sebagainya.
Kedua, hukum yang terkait dengan perbaikan jiwa atau akhlak, baik
yang lahiriah maupun yang batiniyah.
Ketiga, hukum yang terkait dengan ucapan dan perbuatan manusia
yang sudah terkena kewajiban atau fiqh. Hal ini terbagi dua, yaitu:
a. Fiqh ibadah, seperti bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji. Hal ini
dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
b. Fiqh Mu'amalah, seperti berbagai macam akad (jual-beli, penggadaian, hutang,
dsb.), keluarga (nikah, thalaq, nasab, anak angkat, dan kewalian, dsb.),
hukuman terhadap tindak pidana, tentang pembagian warisan, hubungan antara
pemerintah dengan rakyatnya, hubungan antara negara yang satu dengan negara
yang lainnya, dan lain-lain. Hal
ini dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan antara seorang hamba dengan hamba
yang lain.
Prinsip yang
dibawa Al Qur'an dalam bermu'amalah dengan orang lain adalah prinsip syura
(lihat QS. Ali Imran: 159), keadilan dan ihsan (lihat QS. An Nahl: 90), manusia
diberikan hukuman karena dosanya (lihat QS. Al An'aam: 164), hukuman sesuai
tindak kejahatannya (lihat QS. Asy Syuura: 40), terpeliharanya harta orang lain
(lihat QS. Al Baqarah: 188), tolong-menolong dalam kebaikan (lihat QS. Al
Ma'idah: 2), menepati janji dan akad yang telah dibuat (lihat QS. Al Maidah: 1),
terangkatnya kesulitan (lihat QS. Al Hajj: 78), dan bahwa keadaan darurat dapat
membolehkan hal yang sebelumnya haram (lihat QS. Al Baqarah: 173).
As
Sunnah
As Sunnah adalah
apa yang berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain Al Qur'an,
baik berupa perkataan (qauliyyah), perbuatan (fi'liyyah), dan taqrir
(persetujuannya).
As Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah
Al Qur'an, yang daripadanya digali hukum-hukum syariat. Allah Subhaanahu wa
Ta'ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
"Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah." (QS. Al Hasyr: 7)
Di antara fungsi
As Sunnah adalah:
1. Menguatkan hukum-hukum yang ada dalam
Al Qur'an, seperti perintah berbakti kepada orang tua dan larangan
mendurhakainya, perintah berkata jujur dan larangan berdusta, larangan
membunuh, dsb.
2. Menerangkan maksud Al Qur'an, seperti
maksud "tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman"
(lihat QS. Al An'aam: 82), bahwa maksud zalim di sini adalah syirk.
3. Membatasi kemutlakan Al Qur'an atau
mentakhshis keumumannya, seperti pembatasan wasiat hanya sampai 1/3 dari harta
warisan, dan pengkhususan pembagian warisan hanya di antara yang sama agamanya.
4. Membawa hukum yang baru yang tidak
disebutkan dalam Al Qur'an, seperti larangan memakan keledai negeri, larangan
memakan burung yang menggunakan cakarnya untuk memangsa, dsb.
Catatan:
1.
Sunnah Qauliyyah
(sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam) wajib diikuti sampai ada dalil yang
menunjukkan sunatnya. Sunnah Qauliyyah pada asalnya menunjukkan hakikat
sampai ada dalil yang menunjukkan majaz. Sunnah Qauliyyah lebih kuat
untuk berdalil daripada sekedar perbuatan (fi'liyyah).
2.
Sunnah Fi'liyyah
(perbuatan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam) diikuti sampai ada dalil yang
menunjukkan khusus bagi Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Sunnah
Fi'liyyah lebih kuat daripada taqrir. Tidak rutinnya Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan sesuatu tidak menafikan anjuran melakukannya.
Ketika terjadi pertentangan antara Qauliyyah dengan Fi'liyyah,
maka Qauliyyah lebih didahulukan. Perbuatan Rasul shallallahu 'alaihi wa
sallam yang sifatnya tabi'at manusia seperti makan, minum, berjalan, duduk maka
tidak masuk ke dalam syariat akan tetapi terkadang ada sifat yang disyariatkan,
seperti makan dan minum dengan tangan kanan, buang air dengan tangan kiri, dsb.
3.
Sunnah Taqririyyah (persetujuan
Rasul shallahu 'alaihi wa sallam) menunjukkan kebolehan melakukan perbuatan
tersebut. Dan perlu diketahui, bahwa syariat tidaklah menyetujui perbuatan yang
makruh.
Ijma'
Ijma' maksudnya kesepakatan
para mujtahid umat ini setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap
sebuah hukum syar'i.
Dalil kehujjahan
ijma' adalah firman Allah Ta'ala,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ
أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
"Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu." (QS. Al
Baqarah: 143)
Menjadi saksi di
sini mencakup persaksian terhadap amal manusia, dan hukum-hukum yang terkait
dengan amal-amal mereka, dan saksi itu diterima perkataannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ
أَجَارَ أُمَّتِي أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ
"Sesungguhnya
Allah Ta'ala telah melindungi umatku dari berkumpul di atas kesesatan."
(HR. Ibnu Abi 'Ashim, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no.
1786)
Ijma' terbagi dua:
Pertama, Ijma' Qath'i (pasti), yaitu ijma' yang sudah dimaklumi
secara pasti, seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina, dsb.
Kedua, Ijma' Zhanniy, yaitu ijma' yang tidak diketahui kecuali
dengan jalan mencari dan mempelajari.
Perlu diingat,
bahwa umat ini tidak mungkin sepakat untuk menyelisihi dalil yang shahih, yang
tegas, dan tidak mansukh. Oleh karena itu, jika engkau melihat ijma' yang
engkau kira menyelisihi dalil, maka perhatikanlah dalil itu. Bisa jadi dalil
itu tidak shahih, tidak tegas, sudah dimansukh, atau dalam masalah itu terdapat
khilaf yang engkau tidak ketahui.
Ijma' ditetapkan
dengan beberapa syarat, di antaranya: Pertama, ditetapkan melalui jalur
yang sahih, seperti telah masyhur di kalangan ulama, atau penukilnya orang yang
tsiqah dan luas ilmunya. Kedua, tidak didahului oleh khilaf yang tetap
ada.
Catatan:
Ijma' sukuti (seorang mujtahid mengemukakan pendapatnya, lalu pendapat
ini menjadi masyhur dan tidak diingkari) adalah hujjah, dengan syarat
tidak adanya penghalang untuk mengingkari.
Qiyas
Qiyas maksudnya menyamakan
fara' dengan ashl dalam hal hukum karena adanya 'illat yang sama pada keduanya.
Fara' adalah sesuatu yang diqiyaskan. Sedangkan Ashl
adalah sesuatu yang diqiyaskan dengannya. Hukum adalah keputusan dalil
syar'i seperti wajib, haram, sah, fasid, dsb. Sedangkan illat adalah
makna atau alasan yang karenanya ada hukum
terhadap ashl. Inilah rukun qiyas.
Dalil kehujjahan
qiyas adalah firman Allah Ta'ala,
اللَّهُ الَّذِي أَنزَلَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ
"Allahlah yang menurunkan kitab
dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan)." (QS. Asy Syuuraa: 17)
Umar bin
Khaththab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa Al Asy'ariy, "Kemudian
pahamilah dan pahamilah terhadap masalah yang datang kepadamu yang tidak ada
dalam Al Qur'an dan As Sunnah, lalu qiyaskanlah semua perkara di hadapanmu, kenalilah
permisalan-permisalan, dan pilihlah jawaban yang menurutmu lebih dicintai Allah
dan mirip dengan kebenaran."
Qiyas ini
berlaku dengan beberapa syarat, di antaranya: (1) tidak berbenturan dengan
dalil, (2) hukum pada perkara ashl memang ada berdasarkan nash atau
ijma', (3) illat pada hukum ashl diketahui yang memungkinkan menyamakan
antara ashl dengan fara', (4) illatnya mengandung makna yang
layak dihukumi yang memang dipandang oleh kaedah-kaedah syariat seperti illat
memabukkan pada khamr, (5) illat itu ada pada fara' (sesuatu yang akan
diqiyaskan).
Catatan: Jika 'illatnya diketahui berdasarkan nash disebut qiyas
jaliy, dan jika 'illatnya diketahui berdasarkan istinbath (pengkajian)
disebut qiyas khafiy.
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Wajiiz (Dr.
Abdul Karim Zaidan), Al Ushul min 'Ilmil Ushul (Syaikh M. bin Shalih Al
'Utsaimin), Taujihul Qaari (Hafizh Tsanallah Az Zaahidiy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar