بسم
الله الرحمن الرحيم
Antara Syura dan Demokrasi
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan
tentang demokrasi sambil menimbangnya dengan ajaran Islam. Semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
Ta'rif
(definisi) demokrasi
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu demokratia, dimana demos berarti
rakyat, sedangkan kratos berarti pemberintahan. Berdasarkan arti secara
bahasa ini, maka demokrasi bisa maksudnya pemerintahan di tangan rakyat, atau
semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan
keputusan pemerintahan.
Ajaran
Islam dan demokrasi
Jika kita
memperhatikan pengertian demokrasi di atas, kita dapat mengetahui bahwa dalam
demokrasi terdapat hal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini dapat
diketahui dari dua sisi:
Sisi
pertama, yaitu pemerintahan di tangan rakyat,
dalam arti semua kebijakan pemerintah tergantung oleh rakyat. Oleh karena itu, pada
tahun 1920 saat pemerintah Amerika melarang rakyatnya mengkonsumsi minuman
keras, tetapi karena mayoritas rakyatnya tidak setuju, maka
larangan ini akhirnya dicabut.
Sedangkan dalam
Islam, apabila sudah ada kebijakan dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi
wa sallam, maka tidak ada hak bagi kaum muslim atau rakyat untuk menolak atau
menggantinya. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُّبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al Ahzab: 36)
Sisi
yang kedua, kebijakan berdasarkan keputusan
banyak orang (ra'yul 'aammah).
Kita mengetahui,
dalam Islam tolok ukur kebenaran tidak melihat banyaknya orang. Bahkan keadaan
kebanyakan orang adalah seperti yang disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam
beberapa ayat berikut ini:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ
فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا
الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
"Dan jika
kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al An’am: 116)[i]
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ
"Akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. An Nahl: 38)
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَشْكُرُونَ
"Tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur." (QS. Al Baqarah: 243)
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا
لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِن كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ
إِلاَّ كُفُورًا
"Dan sesungguhnya Kami telah
mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Quran ini macam-macam perumpamaan,
tetapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari-(nya)." (QS. Al Israa: 89)
Oleh karenanya
kebenaran tidak melihat kepada banyaknya orang.
Syura
Ajaran yang
dibawa oleh Islam adalah syura (musyawarah). Ini lebih baik daripada demokrasi.
Syura artinya
adalah,
طَلَبُ الرَّأْيِ
مِنْ أَهْلِهِ، وَإِجَالَةُ النَّظَرِ فِيْهِ، وُصُوْلًا إِلَى الرَّأْيِ الْمُوَافِقِ
لِلصَّوَابِ
"Meminta pendapat dari Ahlinya dan
memusatkan perhatian terhadap masalah itu dengan maksud mencari pendapat yang
sesuai dengan kebenaran."
Syariat syura
ini disebutkan dalam Al Qur'an. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ
اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ
حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu[ii]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya."
(QS. Ali Imran: 159)[iii]
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا
لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
"Dan orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy Syuuraa: 38)
Al Hasan
berkata, "Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah, melainkan mereka akan
ditunjuki kepada perkara yang lebih lurus."
Ibnul Jauziy
berkata, "Di antara faedah musyawarah adalah mungkin saja seseorang telah
menetapkan suatu keputusan, ternyata pendapat yang benar ada pada orang
lain." (Zaadul Masiir 1/488)
Dhawabith
(rambu-rambu) dalam syura
Dalam hal syura atau
musyawarah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
1. Rukun syura ada tiga; mustasyir
(peminta nasihat), mustasyar (penasihat), amr mutasyawar fih (masalah yang dicarikan
solusi)[iv].
2. Bagi mustasyir hendaknya bermusyawarah
dengan seorang yang muslim, baligh, berakal, adil (mengerjakan kewajiban agama
dan meninggalkan dosa-dosa besar), berilmu, dan amanah (terpercaya).
Imam
Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Maimun bin Mihran, bahwa
Abu Bakar ketika kesulitan menghadapi masalah, maka ia memanggil para pemimpin
kam muslim, para ulama mereka, dan bermusyawarah dengan mereka.
3. Syura berlaku dalam masalah-masalah
ijtihadiyyah (yang tidak ada nashnya). Apabila ada jawabannya dalam nash, maka
tidak berlaku syura dan ijtihad, bahkan nash itulah jawabannya. Demikian pula
jika ada nash yang dilalah(kandungan)nya qath'i (jelas dan pasti), maka ruang
lingkup syura tertuju pada sarana pelaksanaannya dan praktiknya. Ini adalah syura
khusus (syura muqayyadah) yang dikaji oleh para ulama mujtahid.
Ruang
lingkup Ijtihad ada dua: yaitu dalam masalah yang tidak ada nashnya dan dalam
memahami dilalah (kandungan) nash yang zhanniy (tidak qath'i).
Maimun
bin Mihran berkata, "Abu Bakar Ash Shiddiq apabila kedatangan orang yang
bermasalah, maka dia melihat kitab Allah Ta'ala. Jika ia menemukan jawabannya,
maka dia memutuskan dengannya. Jika ia belum menemukan dalam kitab Allah, maka
dia melihat sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika ia menemukan
jawabannya, maka ia memutuskan dengannya. Jika ia kesulitan menemukannya, maka
dia mengumpulkan para pemuka manusia (para sahabat) dan bermusyawarah dengan
mereka. Jika pendapat mereka sepakat di atas sesuatu, maka ia memutuskan
dengannya. Dan Umar bin Khaththab juga melakukan hal yang sama." (A'laamul
Muwaqqi'in Juz 1 hal. 51).
4. Permasalahan terbagi dua: pertama,
masa'il diniyyah (permasalahan agama), kedua, masa'il dunyawiyyah (permasalah
duniawi). Masa'il diniyyah dijalankan berdasarkan konsekwensi dalil
syar'i dan tidak melihat banyaknya orang yang melakukan atau sedikit. Adapun dalam
masa'il dunyawiyyah, maka diberlakukan musyawarah di sana, dan
diperbanyak melakukannya.
5. Dalam Syura keputusan yang dihasilkan
tidak boleh bertentangan dengan mabadi (dasar-dasar) ajaran Islam.
6. Dalam syura dipilih orang-orang yang
berilmu dan berpengalaman (Ahlul halli wal 'aqdi/ulama yang bertakwa dan
cendekiawan yang saleh); tidak semua masyakarat ikut di dalamnya.
7. Menurut jumhur ulama, waliyyul amri
(pemerintah) tidak wajib meninggalkan pendapatnya karena mengikuti pendapat Team
Ahli Syura atau selain mereka. Penyusun Syarah Ath Thahawiyyah berkata, "Nash-nash
Al Qur'an dan As Sunnah serta ijma' Salaful Ummah menunjukkan, bahwa Waliyyul
amri, imam shalat, hakim, pemimpin perang, dan amil zakat berhak ditaati dalam
masalah ijtihad. Orang-orang tadi tidak harus mengikuti para pengikutnya dalam
masalah ijtihad, bahkan mereka yang harus mengikutinya dan meninggalkan
pendapat mereka." (Syarh Ath Thahawiyyah 2/534 cet. Dar Hajar).
Berdasarkan
keterangan ini, maka syura bersifat mu'limah (memberikan saran dan
masukan) bukan mulzimah (mengharuskan).
8. Kaifiyat (tata cara) syura tidak
dibatasi dalam Islam, bahkan Islam menyerahkannya kepada umat sesuai situasi,
kondisi, dan perkembangan zaman mereka.
9. Di antara hal yang perlu diperhatikan
dalam syura, seperti dalam politik yang dilakukan pemerintah adalah tetap
merujuk kepada Kitabullah dan sunnah rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, menyadari
bahwa tugas pemimpin adalah menjaga agama ini (Islam) dan mengatur/mengurusi rakyat,
memberikan maslahat bagi umat, menyampaikan kebenaran, menyebarkannya, dan
mengamalkannya.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa
'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhul Istisyarah (Nashir bin Sulaiman Al Umar), Program
Qaalun versi 1.0 (Noor.com), http://www.alukah.net, http://mirajnews.com (tulisan Drs. Yakhsyallah
Mansur, Ma tentang Islam dan Demokarasi) http://www.ahlalhdeeth.com (tulisan Abu
Abdillah Adil), http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, dll.
[i] Dalam ayat ini juga
terdapat bantahan terhadap beberapa pemikiran yang dibuat manusia, yang
kemudian dianut oleh sebagian orang atas dasar ikut-ikutan, seperti liberalisme,
sosialisme, komunisme, pluralisme, kapitalisme, sekularisme dan sebagainya.
[ii] Yakni dalam urusan
perang dan urusan-urusan dunia lainnya, seperti urusan
politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan lain-lainnya.
[iii] Imam Thabari menjelaskan, bahwa sebagian ulama
berkata, "Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan firman-Nya, "Bermusyawarahlah dengan mereka," yakni bermusyawarah dengan para
sahabatnya dalam mengatur siasat perang, ketika menghadapi musuh untuk
menenteramkan hati mereka, mendekatkan mereka di atas agama mereka, demikian
pula agar mereka menyaksikan bahwa Beliau mendengar pendapat mereka dan meminta
bantuan mereka, meskipun Allah Azza wa Jalla telah mencukupkan Beliau dengan
pengurusan dan pengaturan-Nya, serta menyiapkan sebab-sebabnya."
Ibnul
jauziy menyebutkan tiga pendapat ulama, mengapa Allah memerintahkan Beliau
bermusyawarah, yaitu agar diikuti oleh umatnya setelahnya, untuk menenteramkan
hati mereka, dan untuk memberitahukan berkahnya musyawarah.
[iv] Syura
tegak di atas perbedaan pendapat, maka seorang mustasyir memperhatikan perbedaan
itu dan melihat pendapat yang lebih dekat dengan Al Qur'an dan As Sunnah jika
ia sanggup menilainya. Jika Allah telah mengarahkannya kepada suatu pendapat,
maka ia tetap di atasnya dan memberlakukannya sambil bertawakkal kepada Allah
Azza wa Jalla.
0 komentar:
Posting Komentar