بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wasiat (bag. 3)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan lanjutan tentang wasiat, semoga Allah menjadikannya ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Syarat orang yang diberi wasiat
Orang yang hendak diberi wasiat disyaratkan
beberapa syarat berikut:
1.
Bukan ahli waris bagi si
pemberi wasiat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
"Tidak ada wasiat untuk ahli waris." (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya)
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
إِنَّ اللهَ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ
، فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
masing-masing yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris."
Adapun ayat yang berbunyi,
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa." (Terj. QS. Al Baqarah: 180)
Menurut jumhur ulama sudah mansukh. Imam
Syafi'i berkata, "Sesungguhnya Allah Ta'ala menurunkan ayat wasiat dan
menurunkan ayat warisan, bisa saja ayat wasiat masih tetap bersama ayat warisan
dan bisa saja ayat warisan memansukhkan ayat wasiat."
Para ulama telah mencari sesuatu yang
menguatkan di antara dua kemungkinan itu, akhirnya mereka mendapati dalam
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang haditsnya telah disebutkan
di atas.
Mereka juga sepakat untuk memperhatikan keadaan
orang yang diberi wasiat sebagai ahli waris pada hari kematian pemberi wasiat,
sehingga kalau sekiranya ia berwasiat untuk saudaranya yang menjadi ahli waris
di mana si pemberi wasiat tidak memiliki anak, lalu setelah itu lahirlah
anaknya sebelum wafatnya, maka sah wasiat untuk saudara laki-laki yang
disebutkan itu. Jika ia memberi wasiat kepada saudaranya, padahal ia memiliki
anak, lalu anak itu meninggal sebelum wafat si pemberi wasiat, maka itu namanya
wasiat kepada ahli waris.
Ulama
madzhab hanafi menjelaskan, bahwa orang yang diberi wasiat jika ditentukan,
maka disyaratkan untuk sahnya wasiat harus ada wujudnya baik tahqiq (benar ada)
maupun taqdir (diperkirakan ada) pada waktu diadakan wasiat. Misalnya seorang
berwasiat untuk janin si fulanah, dan memang janin tersebut ada saat ijab
wasiat. Adapun jika orang yang diberi wasiat tidak ditentukan orangnya, maka
disyaratkan harus ada wujudnya ketika pemberi wasiat meninggal baik tahqiq
maupun taqdir. Oleh karena itu, jika pemberi wasiat berkata, "Saya
wasiatkan rumah saya untuk anak-anak si fulan, namun ia tidak tentukan mereka
itu," lantas ia meninggal dan tidak menarik wasiatnya, maka rumah itu
menjadi milik anak-anak yang ada saat pemberi wasiat meninggal baik di antara
mereka ada yang wujudnya hakiki (memang ada) maupun taqdiri (diperkirakan ada)
seperti yang ada dalam kandungan meskipun sebelumnya tidak ada saat ijab
wasiat. Dan terwujudnya kandungan itu harus ada saat wasiat atau saat
meninggalnya si pemberi wasiat, dimana lahirnya kurang dari enam bulan dari
sejak waktu wasiat atau dari sejak meninggalnya pemberi wasiat.
Jumhur
ulama berpendapat, "Sesungguhnya orang yang berwasiat memisahkan sepertiga
hartanya, yang nanti diberikan sesuai pandangan yang diberikan Allah kepada washiy
(yang diamanahi wasiat) adalah sah, dan washiy (yang diamanahi wasiat) nanti
membagikannya di jalan kebaikan serta tidak memakan sedikit pun daripadanya
serta tidak memberikannya kepada ahli waris si mati, namun hal ini diselisihi
oleh Abu Tsaur, sebagaimana disebutkan oleh Imam Syaukani dalam Nailul Awthaar."
2.
Demikian juga
disyaratkan orang yang menerima wasiat tidak membunuh pemberi wasiat pembunuhan
yang haram lagi secara langsung. Jika penerima wasiat melakukannya, maka
batallah wasiat itu, karena orang yang terburu-buru terhadap sesuatu sebelum
tiba waktunya, maka ia akan dihalangi dari memperolehnya. Ini adalah madzhab
Abu Yusuf. Namun menurut Abu Hanifah dan Muhammad bahwa wasiat itu tidak batal
dan tergantung izin para ahli waris.
Syarat sesuatu yang hendak
diwasiatkan
Disyaratkan sesuatu yang hendak diwasiatkan
itu harus setelah meninggal pemberi wasiat dan bisa dimiliki dengan salah satu
sebab milik. Oleh karena itu, sah berwasiat dengan semua harta yang bernilai
atau bermanfaat. Wasiat juga sah dengan buah yang akan dikeluarkan oleh
pohonnya. Demikian juga berwasiat dengan kandungan hewannya, karena ia dapat
dimiliki dengan warisan, selama ada wujudnya saat meninggal si pemberi wasiat,
maka orang yang diberi wasiat berhak menerimanya. Hal ini berbeda jika ia
berwasiat dengan sesuatu yang tidak ada.
Demikian juga sah wasiat dengan hutang dan
manfaat seperti menempati sebuah rumah dan berwasiat dengan manisan.
Dan wasiat tidak sah dengan sesuatu yang
bukan harta dan yang tidak bernilai menurut orang-orang yang biasa melakukan
'akad seperti khamr bagi kaum muslimin.
Orang yang mendapat wasiat/pesan
(mushaa ilaih)
Orang yang mendapat wasiat di sini
maksudnya nazhir (pemerhati), yakni orang yang diperintah bertindak terhadap
harta pemberi wasiat setelah meninggalnya. Ia merupakan na'ib (wakil) dari
pemberi wasiat.
Adanya mushaa ilaih atau wakil dari
pemberi wasiat dan menerima amanah itu adalah dianjurkan dan merupakan ibadah.
Namun hal ini disyariatkan bagi orang yang memiliki kesanggupan dan melihat
dirinya dapat menjalankan amanah itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
"Dan tolong-menolonglah di atas kebajikan dan takwa."
(QS. Al Maa'idah: 2)
Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam,
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا دَامَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
"Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya mau
menolong saudaranya." (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu
Majah)
Para sahabat radhiyallahu 'anhum juga
melakukan hal itu. Disebutkan, bahwa jamaah dari kalangan sahabat berpesan
kepada Az Zubair radhiyallahu 'anhu, Abu Ubaidah berpesan kepada Umar
radhiyallahu 'anhuma, Umar berpesan kepada puterinya Hashah radhiyallahu 'anha,
dsb.
Dan disyaratkan untuk mushaa ilaih harus
muslim dan mukallaf. Oleh karena itu, tidak sah mengangkat mushaa ilaih yang
non muslim dan masih anak-anak, akan tetapi sah menggantungkannya, misalnya
sampai anak kecil menjadi baligh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, "Pemimpin kalian adalah Zaid. Jika ia
terbunuh, maka Ja'far."
Dan sah berpesan kepada wanita, jika ia
dapat menjalankan pesan itu sebagaiman Umar berpesan kepada Hafshah.
Demikian juga sah berpesan kepada kepada
orang yang tidak sanggup berbuat, namun ia memiliki ide cemerlang, dan ia bisa
bekerja sama dengan orang yang kuat dan amanah.
Demikian juga sah berpesan kepada lebih
dari seorang.
Dan sah menerima tawaran sebagai mushaa
ilaih baik di masa hidup pemberi wasiat maupun setelah meninggalnya. Ia juga
berhak melepaskan tawaran itu kapan saja baik di masa hidup pemberi wasiat
maupun setelah meninggalnya. Demikian juga pemberi wasiat berhak memecatnya
kapan saja ia mau, karena ia sebagai wakilnya.
Dan disyaratkan untuk sahnya iishaa (pesan)
harus dalam tindakan yang ma'lum (diketahui) agar mushaa ilaih dapat
menjalankannya, dan sah bagi pemberi wasiat mengerjakannya, seperti membayarkan
hutangnya, memisahkan sepertiganya, dan memperhatikan anak-anaknya, dsb.
Ukuran harta yang dianjurkan
dalam memberikan wasiat
Ibnu Abdil Bar berkata, "Kaum salaf
berbeda pendapat tentang ukuran harta yang dianjurkan berwasiat padanya, atau
wajib berwasiat bagi orang yang berpendapat wajib. Diriwayatkan dari Ali
radhiyallahu 'anhu ia berkata, "600 dirham atau 700 dirham bukanlah harta
yang di sana perlu berwasiat." Dan diriwayatkan darinya bahwa 1000 dirham
merupakan harta yang bisa dilakukan wasiat.
Ibnu Abbas berkata, "Tidak ada wasiat
pada harta 800 dirham."
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang
wanita yang memiliki empat anak dan ia memiliki 3000 dirham bahwa tidak ada
wasiat pada hartanya.
Sedangkan Ibrahim An nakha'iy berkata,
"1000 dirham sampai 500 dirham (ada wasiat)."
Qatadah berkata tentang ayat,
إِنْ
تَرَكَ خَيْرًا
Artinya: jika ia meninggalkan harta,
yaitu jika sampai 1000 dirham ke atas.
Sedangkan dari Ali radhiyallahu 'anhu,
bahwa baran gsiapa yang meninggalkan harta sedikit, maka hendaknya ia
meninggalkannya untuk ahli warisnya saja, itulah yang lebih utama."
Sedangkan dari Aisayh radhiyallahu 'anha
tentang orang yang meninggalkan 300 dirham, maka ia dianggap tidak meninggalkan
harta, sehingga tidak perlu berwasiat."
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar