Fiqh Wasiat (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wasiat (bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang wasiat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Hukum wasiat
Tentang hukumnya para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
Pendapat pertama, bahwa wasiat hukumnya wajib bagi orang yang meninggalkan harta baik hartanya banyak maupun sedikit. Ini merupakan pendapat Az Zuhriy dan Abu Mijlaz. Pendapat ini dipegang juga oleh Ibnu Hazm. Bahkan ia (Ibnu Hazm) meriwayatkan wajibnya dari Ibnu Umar, Thalhah, Az Zubair, Abdullah bin Abi Aufa, Thalhah bin Mutharrif, Thawus dan Asy Sya'biy. Ia juga mengatakan, bahwa pendapat tersebut juga merupakan pendapat Abu Sulaiman dan semua kawan-kawan kami. Mereka berdalih dengan firman Allah Ta'ala,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ 
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (Terj. QS. Al Baqarah: 180)
Pendapat kedua, bahwa wasiat hanya wajib untuk kedua orang tua dan kerabat yang berada dalam keadaan tidak mewarisi si mati. Ini merupakan pendapat Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az Zuhriy.
Pendapat ketiga, bahwa wasiat tidak wajib bagi semua yang memiliki harta, inilah pendapat imam yang empat dan ulama madzhab Zaidiyyah. Demikian juga tidak wajib untuk orang tua dan kerabat yang tidak menjadi ahli waris sebagaimana dalam pendapat kedua, bahkan hukumnya berbeda-beda tergantung keadaan; bisa wajib, sunat, haram, makruh atau mubah.
Wasiat menjadi wajib
Wasiat menjadi wajib bagi seseorang yang akan meninggal apabila ia menanggung hak syar'i yang dikhawatirkan akan hilang jika ia tidak berwasiat seperti hutang dengan Allah atau dengan anak Adam, titipan atau hak orang lain yang belum ditunaikannya. Contohnya ia menanggung zakat yang belum ditunaikannya atau haji yang belum dilakukannya atau amanah yang harus dikeluarkannya atau ia memiliki hutang yang hanya diketahui olehnya atau ia memegang titipan tanpa mempersaksikan.
Wasiat menjadi sunat
Wasiat menjadi sunat jika sebagai pendekatan diri kepada Allah dan agar ia memperoleh pahala setelah wafatnya, yaitu dengan ia berwasiat untuk memberikan hartanya ke jaur-jalur kebaikan, demikian juga untuk memberikan kepada kerabatnya yang miskin atau orang yang saleh.
Demikian juga berwasiat hukumnya sunat bagi orang yang memiliki harta yang banyak sedangkan Ahli warisnya tidak begitu butuh.
Wasiat menjadi haram
Wasiat menjadi haram apabila dalam wasiat terdapat hal yang memadharatkan ahli waris.
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dengan isnad yang shahih bahwa Ibnu Abbas berkata, "Memadharatkan dalam wasiat termasuk dosa besar."
Nasa'i meriwayatkan atsar tersebut namun secara marfu' dan para perawinya tsiqah.
Wasiat seperti ini, yakni adanya niat untuk membahayakan adalah batal meskipun di bawah sepertiga. Demikian juga diharamkan apabila ia berwasiat menyerahkan khamr atau membangun gereja atau tempat hura-hura.
Wasiat menjadi makruh
Wasiat menjadi makruh apabila pemberi wasiat hartanya sedikit, di mana ia memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang yang butuh kepada harta itu. Demikian juga makruh, jika wasiat diberikan kepada orang-orang yang berbuat kefasikan ketika ia mengetahui atau menurut perkiraan kuatnya bahwa mereka nantinya akan menggunakannya untuk kefasikan dan kemaksiatan. Namun apabila pemberi wasiat mengetahui atau menurut perkiraan kuat bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakannya di atas ketaatan, maka ketika itu wasiat menjadi sunat.
Wasiat menjadi mubah
Wasiat menjadi mubah (boleh) jika kepada orang yang kaya, baik ia kerabat maupun bukan.
Rukun wasiat
Rukun wasiat adalah ijab dari pemberi wasiat. Ijab itu tentunya dengan semua lafaz yang keluar darinya selama lafaznya memang menunjukkan pemberian milik yang dihubungkan nanti setelah meninggal tanpa ganti. Misalnya, "Saya wasiatkan kepada si fulan barang ini setelah saya meninggal," atau, "Saya hibahkan kepadanya barang ini," atau, "saya memberikannya hak milik setelah saya meninggal."
Wasiat sebagaimana sah dengan ucapan, ia juga sah dengan isyarat yang dapat dipahami apabila si pemberi wasiat tidak bisa berbicara sebagaimana sah juga jika dengan tulisan.
Jika wasiatnya tidak ditentukan misalnya untuk masjid-masjid, tempat-tempat perlindungan, madrasah-madrasah atau rumah sakit, maka dalam hal ini tidak perlu adanya qabul (penerimaan) bahkan sudah sempurna dengan adanya ijab saja, karena dalam keadaan ini wasiat menjadi sedekah.
Adapun jika wasiat itu untuk orang tertentu, maka butuh adanya qabul (penerimaan) dari orang yang mendapatkan wasiat setelah mati itu atau qabul dari walinya jika orang yang diberi wasiat tidak cerdas.
Al Muwaffaq berkata, "Kami tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan Ahli Ilmu bahwa wasiat dipandang setelah mati. Jika wasiatnya bukan untuk orang tertentu seperti tertuju kepada kaum fakir-miskin atau orang yang tidak mungkin dibatasi seperti Bani Tamim, atau untuk suatu maslahat seperti masjid-masjid, maka tidak butuh adanya qabul (penerimaan), dan sudah harus diberikan ketika pemberi wasiat meninggal. Adapun jika tertuju kepada orang tertentu, maka wajib dengan adanya qabul setelah mati."
Jika telah dilakukan qabul maka sempurna, namun jika dikembalikan setelah meninggal, maka batallah wasiat itu dan menjadi milik ahli waris si pemberi wasiat.
Wasiat termasuk 'akad yang boleh, di mana sah bagi pemberi wasiat merubahnya atau menarik apa saja yang dikehendakinya atau menarik wasiatnya. Menariknya bisa secara tegas dengan kata-kata, misalnya mengatakan, "Saya tarik wasiat saya," bisa juga dengan perbuatan misalnya pemberi wasiat melakukan tindakan terhadap harta yang hendak diwasiatkan itu dengan tindakan yang mengeluarkannya dari milik pemberi wasiat, misalnya dengan menjualnya.
Umar berkata, "Seseorang boleh merubah wasiatnya sesuai kehendaknya."
Kapankah wasiat menjadi berhak?
Wasiat tidak menjadi hak orang yang diberi wasiat kecuali setelah pemberi wasiat meninggal dan setelah hutang-hutangnya dilunaskan. Jika ternyata hutang-hutangnya menghabiskan harta peninggalan semua, maka orang yang mendapat wasiat tidak memperoleh apa-apa, berdasarkan ayat,
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
"(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya." (Terj. QS. An Nisaa': 11)
Wasiat yang dihubungkan atau dikaitkan dengan syarat
Wasiat yang dihubungkan atau dikaitkan dengan syarat selama syarat itu sahih (benar) adalah sah. Syarat yang sahih adalah syarat yang di sana terdapat maslahat bagi pemberi wasiat atau orang yang mendapatkan wasiat atau selain keduanya dan tidak dilarang serta tidak menafikan tujuan syari'at. Jika syaratnya sahih, maka wajib diperhatikan selama maslahatnya tegak. Jika maslahat yang diinginkan itu hilang atau tidak sahih, maka tidak wajib diperhatikan.
Syarat-syarat wasiat
Wasiat menghendaki adanya pemberi wasiat, orang yang diberi wasiat dan harta yang diwasiatkan. Masing-masing memiliki syarat.
Syarat pemberi wasiat
Pemberi wasiat disyaratkan harus layak bertabarru' (berinfak), yakni dirinya memang kaamilul ahliyyah (sempurna kelayakannya). Sempurna kelayakan ini tentunya dengan berakal, baligh, merdeka, ikhtiyar (memilih sendiri/tidak dipaksa), tidak dihajr karena kedunguan atau karena pelupa. Oleh karena itu, jika pemberi wasiat masih kecil, gila, budak, orang yang dipaksa, atau orang yang dihajr maka wasiatnya tidak sah. Namun dikecualikan dua hal berikut:
1.       Wasiat anak kecil yang sudah tamyiz yang khusus misalnya memerintahkan untuk diurus jenazahnya dan dimakamkan selama dalam batas maslahat.
2.       Wasiat orang yang dihajr karena kebodohan di salah satu jalur kebaikan, misalnya mengajarkan Al Qur'an, membangun masjid dan membangun rumah sakit. Jika ia memiliki ahli waris dan diizinkan oleh para ahli waris, maka diberlakukanlah dari semua hartanya. Demikian juga jika ia tidak memiliki ahli waris sama sekali. Namun jika ia memiliki ahli waris, dan mereka tidak mengizinkan wasiat tersebut, maka hanya diberlakukan dari 1/3 hartanya. Ini adalah madzhab ulama Hanafi. Berbeda dengan Imam Malik, ia membolehkan wasiat dari orang yang lemah akal dan anak kecil yang sudah mengerti makna bertaqarrub kepada Allah Ta'ala, ia berkata, "Perkara yang disepakati menurut kami adalah bahwa orang yang lemah akalnya, atau dungu atau orang yang terkena musibah yang kadang-kadang sadar adalah bahwa wasiat mereka diperbolehkan jika bersama mereka masih ada akal yang dengannya ia dapat mengenali apa yang hendak diwasiatkan. Demikian juga anak kecil jika ia mengerti apa yang diwasiatkannya dan tidak mengeluarkan kata-kata yang munkar, maka wasiatnya boleh dan berjalan."
Bahkan undang-undang di Mesir membolehkan wasiat orang yang dungu dan pelupa apabila diizinkan oleh pihak pengadilan khusus.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger