بسم الله الرحمن الرحيم
Adab Seorang Khatib
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut adab yang perlu diperhatikan
oleh seorang khatib Jumat, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Adab
Seorang Khatib
Khutbah termasuk syarat sahnya
ibadah Jumat. Dalam berkhutbah hendaknya khatib memperhatikan hal-hal berikut:
1. Berkhutbah sambil
berdiri yang di sela-selanya ada duduk.
Jabir bin Samurah berkata,
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ
قَائِمًا، فَمَنْ نَبَّأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ،
فَقَدْ وَاللهِ صَلَّيْتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَيْ صَلَاةٍ»
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, lalu berdiri lagi untuk
khutbah. Barang siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa Beliau berkhutbah
sambil duduk, maka ia berdusta. Demi Allah, aku shalat bersama Beliau lebih
dari dua ribu kali shalat.” (Hr. Muslim)
Menurut sebagian ulama,
berdirinya khatib saat berkhutbah ketika mampu adalah syarat khutbah Jumat. Ini
merupakan pendapat ulama madzhab Syafi’i,
pendapat mayoritas ulama madzhab Maliki, dipilih oleh Qurthubi salah
seorang ulama madzhab Maliki, dan menjadi salah satu riwayat Imam Ahmad.
Ada pula yang berpendapat,
bahwa berdiri saat khutbah hukumnya sunah. Ini adalah pendapat ulama madzhab
Hanafi, ulama madzhab Hanbali, salah satu pendapat dalam madzhab Maliki, dan
dipilih oleh Ibnu Utsaimin.
Sedangkan hukum duduk di
sela-sela khutbah adalah sunah, dan tidak wajib. Demikian pendapat jumhur
(mayoritas) para ulama dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan
mayoritas Ahli Ilmu.
2. Dianjurkan bagi khatib
ketika telah menaiki mimbar, menghadap kepada makmum dan mengucapkan salam
kepada mereka, selanjutnya khatib duduk.
Jabir berkata, “Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menaiki mimbar, mengucapkan salam.” (Hr.
Ibnu Majah dan Thabrani dan dihasankan oleh Al Albani)
3. Azan dikumandangkan
ketika imam duduk setelah khatib mengucapkan salam
As Saib bin Yazid radhiyallahu
anhu berkata, “Dahulu di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu
Bakar, dan Umar azan pada hari Jumat dimulai ketika imam telah duduk di atas
mimbar.” (Hr. Bukhari)
4. Berdiri khutbah di
tangga kedua dan duduk di tangga ketiga.
Anas radhiyallahu anhu berkata,
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri pada hari Jumat dan menyandarkan
punggungnya ke batang pohon kurma yang ditegakkan dalam masjid lalu berkhutbah
kepada orang-orang. Kemudian datanglah seorang yang berasal dari Rum (Romawi)
dan berkata, “Maukah aku buatkan untukmu sesuatu yang engkau bisa duduk di
atasnya dan bisa berdiri?” Maka orang itu membuatkan untuk Beliau mimbar yang
memiliki dua tangga, dan Beliau duduk di tangga ketiga.” (Hr. Darimi, As
Shahiihah no. 2174)
Ibnul Qayyim berkata, “Tidak
dihapal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau setelah
dibuatkan mimbar menaikinya dengan pedang, busur maupun lainnya, sebagaimana
tidak juga dihapal sama sekali dari Beliau bahwa Beliau bersandar dengan pedang
sebelum dibuatkan mimbar, bahkan Beliau hanya menggunakan busur atau tongkat.” (Zaadul
Ma’aad 1/141)
Jumhur (mayoritas) para ulama,
baik ulama madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat, bahwa seorang
khatib dianjurkan bersandar dengan busur atau tongkat.
Dari Hakam bin Hazn Al Kulafiy
radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah menjadi utusan untuk menemui
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu kami tinggal beberapa hari dan
hadir dalam shalat Jumat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ketika itu, Beliau bersandar dengan tongkat atau busur, memuji Allah dan
menyanjung-Nya dengan kalimat yang baik, ringan dan penuh berkah.” (Hr. Abu
Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
5. Khatib menghadap ke
makmum.
Ibnu Rajab menukil adanya
ijma (kesepakatan) para ulama terhadap hal ini (disyariatkannya khatib
menghadap makmum). (Lihat Fathul Bari 5/477 dan Umdatul Qari
6/221)
Dan dianjurkan bagi makmum
untuk menghadapkan wajahnya kepada imam. Imam Baihaqi meriwayatkan dari Anas
bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa ketika imam telah mulai berkhutbah, maka ia
menghadapkan wajahnya ke arah imam sampai selesai.” (Dishahihkan isnadnya oleh
Al Hafizh dalam Al Fath 2/467)
6. Dianjurkan bagi
khatib mengeraskan suaranya.
Anjuran khatib mengeraskan
suaranya merupakan kesepakatan para fuqaha yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafi’iyyah, dan Hanabilah). Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu anhu ia
berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ
احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ
مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ: «صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ» ، وَيَقُولُ: «بُعِثْتُ
أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ» ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ،
وَالْوُسْطَى، وَيَقُولُ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا،
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ» ثُمَّ يَقُولُ: «أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ
نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا
فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ»
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
ketika berkhutbah merah kedua matanya, lantang saranya, tampak seperti marah
seakan-akan memberikan peringatan kepada suatu pasukan dengan berkata, “Hendaklah
kalian selalu waspada di pagi dan petang!” Beliau bersabda, “Aku diutus,
sementara antara aku dengan hari Kiamat seperti dua jari ini,” Beliau
merapatkan kedua jarinya, yaitu telunjuk dan jari tengah. Beliau bersabda,
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah
(yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.” Beliau juga bersabda, “Aku lebih
utama bagi setiap mukmin daripada dirinya. Barang siapa yang meninggalkan
harta, maka untuk keluarganya. Sedangkan barang siapa yang mati meninggalkan
utang atau keluarganya yang terlantar, maka akulah yang bertanggung jawab.” (Hr.
Muslim)
7. Dianjurkan memulai khutbah dengan
khutbatul haajah, yakni “innal hamda lillah nahmaduhu wa…dst.”
Hal ini juga berdasarkan hadits
Jabir radhiyallahu anhu ia berkata,
كَانَتْ
خُطْبَةُ اَلنَّبِيِّ r يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ: يَحْمَدُ اَللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ, ثُمَّ
يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذَلِكَ, وَقَدْ عَلَا صَوْتُهُ . وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: مَنْ
يَهْدِه ِ اَللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَلِلنَّسَائِيِّ: وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي اَلنَّارِ
“Khutbah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Jum’at adalah memuji Allah dan
menyanjungNya lalu menyampaikan kalimat setelahnya dengan suara tinggi.” (Hr.
Muslim. Dalam riwayat Muslim lainnya juga disebutkan bahwa Beliau menyampaikan,
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.”) Sedangkan dalam riwayat Nasa’i ada kalimat, “Dan setiap
kesesatan di neraka.” (Lihat Bulughul Maram)
Khutbatul
hajah yang lengkap adalah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا،
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Artinya: Sesungguhnya
segala puji milik Allah kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya,
meminta ampunan kepada-Nya, berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan
keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya
maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. (Hr. Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Kemudian melanjutkan dengan membaca tiga ayat, yaitu
surah Ali Imran: 102, surah An Nisaa’: 1, dan surah Al Ahzaab: 70-71.
Kemudian mengucapkan Amma ba’du:
8.
Membaca syahadat, karena khutbah yang tidak ada syahadatnya seperti
tangan yang kusta.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ،
فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ»
“Setiap khutbah yang tidak ada kalimat
syahadat di dalamnya, maka seperti tangan yang putus.” (Hr. Abu Dawud dan
Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
9. Menjiwai isi khutbah,
sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
berkhutbah merah kedua matanya dan lantang suaranya.
10. Mempersingkat
khutbah dan memperlama shalat
Dari Ammar bin Yasir
radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ
فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ،
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang
dan pendek khutbahnya menunjukkan pemamahannya, maka panjangkanlah shalat dan
pendekkanlah khutbah.” (Hr. Muslim)
Jabir bin Samurah radhiyallahu
anhu berkata, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam. Ketika itu shalat Beliau sedang dan khutbahnya juga sedang.” (Hr.
Muslim)
Dalam sebuah riwayat
disebutkan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memperlama nasihat
pada hari Jumat. Kalimat yang Beliau sampaikan ringkas.” (Hr. Abu Dawud,
dihasankan oleh Al Albani)
11. Berdoa dalam khutbah
Jumat
Dianjurkan mendoakan kaum
muslimin pada khutbah Jumat. Ini merupakan madzhab jumhur ulama, baik
Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan menjadi salah satu pendapat dalam
madzhab Syafi’i.
Dalam berdoa pada khutbah Jumat
cukup bagi khatib mengangkat jari telunjuknya saja.
Dari Umarah bin Ru’aibah, bahwa
ia melihat Bisyr bin Marwan ketika berkhutbah di atas mimbar berdoa dengan
mengangkat kedua tangannya, maka ia berkata, “Semoga Allah mencelakakan kedua tangan itu. Sungguh aku
pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah tidak lebih
dari sekedar berisyarat dengan satu tangannya sebagai berikut." Umarah
(memperagakan) dengan berisyarat menggunakan jari telunjuknya. (Hr. Muslim)
Oleh karena itu, tidak
disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya dalam doa ketika khutbah
Jumat, bahkan cukup dengan satu jari telunjuknya, kecuali jika khatib berdoa
istisqa (meminta kepada Allah agar diturunkan hujan). Inilah madzhab jumhur
ulama, baik dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan menjadi salah
satu pendapat sebagain ulama madzhab Hanafi.
Dalilnya adalah hadits Anas bin
Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Orang-orang pernah tertimpa kemarau
panjang di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ketika Nabi
shallallahu alaihi wa sallam khutbah pada hari Jumat, tiba-tiba ada orang Arab
badui yang berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta habis dan keluarga
kelaparan, maka berdoalah kepada Allah untuk kami!” Maka Beliau mengangkat
kedua tangannya…dst.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji:
0 komentar:
Posting Komentar